VII.

3.1K 1.3K 678
                                    

Kukira kau obat,
ternyata penyakit terhebat.

⭐⭐⭐⭐⭐

Chik, lo mending jadi anak rumahan aja, dah. Percaya sama gue. Masa depan lo, bakal jadi malapetaka kalo sama dia.”

Apaan sih, Drun? Lu, kayak ormas, hobi banget menghakimi seseorang. Mas Aran itu, ngga seburuk yang lu pikir!

Yaudahlah.”

Badrun memalingkan muka frustasi, sementara Chika melirik muak ke arahnya.

Apanya yang udah?

Yaudah, gua anterin lo pulang, ayo!

Gausah, langsung berubah mood gue gara-gara elu.”

Gadis itu menepak tangan Badrun yang coba menggandengnya.

Kita emang mantan pacar. Tapi lo, ngga berhak larang gue, buat bahagia sama orang lain.”

Chika melesat melewati gerbang sekolah, lalu masuk ke mobil sang ayah yang sudah lama menunggunya.

Kasihan banget lo. Udah diputusin demi gua, dicampakkan lagi.”

Maksud lo apa, hah? Badrun mencekam leher Aran yang ujug-ujug sudah berdiri di sampingnya.

Aran dengan napas bengeknya coba memberitahu sesuatu. Di sudut parkiran ada CCTV. Pukul gua, dan lo nggak bakal bisa lindungi Chika lagi!

Gue pastiin, lo nggak bakal bisa nyentuh dia.”

Badrun menurunkan tangannya, lalu menyepak perut Aran hingga terpental beberapa langkah.

Oya, kita liat aja nanti siapa yang bakal Chika pilih? Lo yang bodoh, terus bertahan mesti udah nggak dibutuhin. Atau gua, yang diem-diem. Tapi selalu bikin dia penasaran.”

Aran menyangga tubuh dengan kepalan tangannya, berusaha bangkit meski isi perutnya serasa di remas-remas.

Gua yakin, Chika itu tipe cewek gampang disetir. Dan dia, gaakan bisa nolak, semua permintaan gua.”

Bangsat!

Badrun mengaplok kepala Aran dengan helm, hingga darah mengucur dan melumuri wajahnya. Namun, adegan itu hanya delusi. Sebab kenyataanya, Badrun lebih memilih pulang, ketimbang meladeni Aran yang terus merepet tidak jelas.

⭐⭐⭐⭐⭐

Deru motor dan gemuruh knalpot mahal saling beradu di jalur lingkar nagreg, Bandung, Jawa Barat.

Bagi Aran, lomba di sirkuit Sentul itu sudah biasa. Akan tetapi, balapan di bawah terowongan yang membelah gunung dan menimbun tebing, ini baru luar binasa.

Melesat dengan kecepatan tinggi bukan hal baru baginya. Perasaan liar tempo menunggangi motor, masih menimbulkan sensasi yang wow, meski dilakukan berulang kali.

Pemuda itu menaikkan gigi persneling, mempercepat laju motornya di jalur menanjak. Bukan ingin menyalip dua lawannya, melainkan lebih untuk kepuasaan batin.

Aran tersenyum miring, manik hitamnya mencerling speed motor yang nyaris menembus angka 190 kilometer/jam. Tekanan angin ribut, rerumputan liar di pinggir jalan melambai-lambai, seolah mengajaknya bergoyang.

Remaja tujuh belas tahun itu, menikmati pompaan adrenalin dalam darah, kala kuda besinya melaju super kencang. Desiran aneh di jantungnya, mampu membuyarkan kilasan senyum Chika yang terasa menganggu.

RAHASIA CHIKA (Chikara, Fiora, Vikuy) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang