Sirene ambulans membelah kedamaian kota. Kendaraan itu berdesing cepat, melintasi belokan tajam dengan brutal. Sementara petugas di dalamnya terus mempertahankan Ambu Bag, tetap terhubung baik pada sesosok pemuda berambut hitam pekat.
Wajah Aran bercampur amis darah dan bau pesing. Luka memar di kantung air matanya mencuat memilukan. Semua petugas tidak menginginkan hal buruk terjadi, karena kondisi pasien sudah lebih dari kata celaka.
Si sopir menginjak rem ketika tiba di pelataran rumah sakit yang luas, serta dinaungi oleh tembok-tembok kuat bercat putih.
“Mas, anda bisa mendengar saya? Kita berada di rumah sakit sekarang.”
Dua orang paramedis segera melompat turun dan memeriksa keadaan Aran. Namun, tak ada reaksi dari sang pemuda yang tergolek di atas stretcher yang didorong. Sementara ambulance yang masih mengaung itu mengejutkan seisi gedung.
Dari balik pintu Instalasi Gawat Darurat yang tebal dan kaya oleh aroma antiseptik, pria berusia empat puluh tahunan memasang raut wajah khawatir, serta gurat ketakutan. Stetoskop yang tergantung dilehernya terguncang, kacamatanya melorot begitu dia sampai di tepi ranjang tidur beroda.
“Bagaimana keadaan pasien?”
“Tekanan darahnya melemah 60/40 mmHG, denyut nadi 71 kali permenit, dan frekuensi pernapasannya semakin menurun. Serta terdapat luka benturan di kepala.”
Sang dokter mengangguk paham.
“Pasien mengalami henti jantung dan nafas saat di perjalanan,” jawab petugas lain, “makanya kami sempat melakukan CPR.”
“Lalu, bagaimana dengan keluarganya?”
“Kami sudah mengontak ibunya, beliau sedang dalam perjalanan.”
Derap langkah terburu-buru memenuhi lorong rumah sakit yang terang-benderang. Derikan kasur beroda membuat orang-orang seketika menyingkir.
Pintu UGD menganga lebar. Mereka dengan sigap mengukur kembali tensi darah, serta membersihkan luka dan kotoran sepatu yang menempel di badan Aran.
“Kondisi pasien kritis, butuh tindakan cepat.”
Dokter kepala menyalakan lampu besar dan meneriakkan beberapa perintah. Instrument Table yang penuh oleh peralatan bedah. Salah satu dokter khusus segera memberikan Anestesi Umum yang disuntikkan melalui infusan, sembari menghubungkan organ vital Aran dengan Bed Side, monitor yang berkedip nyaring ketika ditekan tombol ON.
Hingga akhirnya seluruh detak jantung, respirasi, tensi darah juga tekanan oksigen berlomba mengirimkan pemberitahuan. Sementara para dokter sibuk memakai sarung tangan, serta menyiapkan peralatan dengan dibantu asisten dan beberapa orang suster.
Namun, mendadak mereka dikejutkan dengan keadaan Aran yang kini mulai kejang-kejang di atas ranjang. Kardiogram yang terhubung di tubuhnya telah mengukir garis lurus. Dengan sigap Dokter Lintang langsung meraih alat kejut jantung, untuk menyadarkannya.
“Suster, tolong ambilkan Gel!”
“Dokter Wulan, segera suntikan injeksi pada lengannya. Periksa juga keadaan pasien setelah hitungan satu sampai tiga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA CHIKA (Chikara, Fiora, Vikuy)
Teen Fiction🔞 BENCI JADI CINTA Berkisah tentang Chika, siswi cantik yang jatuh hati dengan kakak kelasnya yang terkenal 'super dingin' bernama Aran. Di sisi lain, Chika ini juga memiliki mantan pacar Vito Fadrin namanya alias Badrun yang gagal move on dan masi...