Sakit

507 77 3
                                    

Selamat Pagi 😊
.
Padahal sudah janji malam Up
Semalam pulang piket, habis bersih - bersih rebahan bentar malah ketiduran sampai gak sahur 😁🤦‍♀️
Maafkeun baru up sekarang 🙏😊
.
Up dr. Reno yg lg galau
.
Semoga suka
.
Jangan lupa Votement'a
Agar author tahu kalian semua suka ceritanya atau nggak
Nggak sulit kok cuman tekan ☆ doang
Kalau sudi comment  juga boleh, biar author makin semangat 😊
.
Happy reading 😘
.
.
.
.

Sampai di kamar, aku segera mengunci pintu, rasanya sungguh menyakitkan dan menyesakkan dada, tak mungkin aku menangis di depan mereka, biarkan rasa sakit ini dan air mata yang saat ini tak lagi bisa aku bendung, mengalir dengan tak tahu dirinya, cukup hanya aku yang tau, aku butuh waktu sendiri, tuk meratapi kisah cinta yang tak seindah dengan anganku.

Kenapa dengan Abell? Kenapa dia begitu jahat dan tega mematahkan hatiku, menghancurkan kepercayaan yang sudah aku berikan padanya, aku rela menunggunya bertahun - tahun, memberikan seluruh hatiku hanya untuknya, tapi balasan apa yang dia berikan padaku? Aku di sini menjaga semuanya hanya untuknya, aku di sini menanti kabarnya dengan cemas, tapi dia? Dia justru menikah dengan pria lain dan dengan teganya memberiku undangan resepsi pernikahannya.

Cinta macam apa yang Abell berikan untukku? Kenapa cinta harus menyakiti sedemikian hebatnya, aku hampir gila karena mencari keberadaan Abell, apa dia tidak merasakan apa yang aku rasakan? Inikah balasan dari rasa cinta dan tulus yang aku berikan untuknya?

"Aaarrrghhh, sial! Sial! Sial! Brengsek! Jahat sekali kamu Abell, kenapa harus menyambut cintaku, jika kamu akan menghancurkannya hingga berkeping - keping seperti ini!"

Sakit, sungguh sakit tiada terkira, bahkan rasanya lebih sakit dari luka sayatan yang pernah aku dapatkan saat menyelamatkan anak Dimas, luka yang tak terlihat dan tak berdarah lebih menyakitkan dibanding luka yang bisa dilihat, lebih baik Abell menyakitiku dengan memberikan luka fisik dari pada seperti ini, sungguh di khianati benar - benar menyakitkan.

Kenangan terakhir saat di bandara kembali terngiang, janji yang aku ucapkan untuknya benar - benar aku buktikan, tak ada sedikitpun keraguan pada setiap kata yang aku ucapkan pada Abell saat itu, semua tulus dari hati terdalamku, karena Abell gadis pertama yang sudah mampu membuatku tak berkutik, dia gadis pertama yang memberiku rasa bahagia dan juga rasa sakit yang tiada terkira.

Tidak cukupkah kesabaranku dalam menantinya? Kenapa takdir cintaku menyedihkan seperti ini?

Tok tok tok

"Ren, buka pintunya!"

Panggilan dari luar pintu kamar, membuatku mau tak mau menatap pintu, tapi tak ada keinginanku untuk membukanya, aku masih ingin sendiri merasakan sakit ini.

"Gue nggak papa, kalian nggak perlu khawatir."

"Gue nggak butuh jawaban, gue butuh lu buka pintunya sekarang juga!"

"Gue nggak papa Dhik, kalian pulang saja, gue mau istirahat."

"Lu buka pintunya sekarang apa gue dobrak? Gue hitung sampai tiga."

"Gue nggak papa Dhika!"

"Satu."

"Dua."

Sial!, Dhika tak pernah main - main dengan ucapannya, jika aku tidak membukanya sekarang, maka bisa dipastikan pintu kamarku hancur, tak ada pilihan lain selain membuka pintu, perlahan aku berdiri, mengahapus air mata yang sudah membasahi pipiku dan membuka pintu kamar, menatap Dhika dan Dimas yang sudah berdiri di depanku.

"Gue nggak papa Dhik, lu lihat 'kan?" Kataku saat pintu kamar sudah aku buka, Dhika menatapku, tak aku sangka dia langsung menarik tubuhku, memeluk tubuhku dengan sangat eratnya.

"Menangislah Ren, jika dengan itu bisa mengurangi rasa sakit yang lu rasakan saat ini, gue dan Dimas akan selalu ada untuk lu, menangislah tak perlu malu pada kita Ren." Ucapan Dhika dan juga pelukannya yang makin erat membuat air mata yang sudah sekuat mungkin aku tahan akhirnya lolos kembali, mengalir dengan tak tahu dirinya, aku membalas pelukan Dhika.

"Sakit Dhik, kenapa Abell tega Dhika, kenapa! Apa salah gue Dhik!" Teriakku, tak lagi bisa aku bendung, sakit sekali.

"Lu nggak salah brother, lu nggak salah." Dhika melepas pelukannya, kedua tangannya dibahuku, beberapa kali menepuk.

"Kita janji Ren, kita nggak akan datang ke resepsi itu." Kata Dhika, aku menatapnya dan langsung menggeleng.

"Kalian harus datang, bagaimanapun Abell sahabat Forza san Nadia, gue juga bakal datang."

"Buat apa? Biar hati lu makin sakit lihat dia berada di pelaminan bersama pria lain? Jangan gila lu Ren, apa jangan - jangan ada yang lu rencanakan buat hancurin pesta itu?" Kata Dimas membuatku berdecih.

Aku mengusap air mata yang tak tau dirinya sudah keluar, menyandarkan tubuhku pada tembok, "Gue masih waras Mas, gue nggak akan serendah itu, gue hanya ingin melihat wajah Abell untuk yang terakhir kalinya, sebagai penutup kisah cinta gue yang tragis ini."

"Tapi Ren."

"Gue mohon."

"Baiklah kalau itu yang lu mau, besok pagi kita semua akan menemani lu."

"Oke, thanks."

"Kalau begitu, kita balik dulu, besok kita kesini." Kata Dhika dan aku mengangguk.

Menatap kepergian mereka yang semakin menjauh dari kamarku, semakin menghilang seiring dengan langkah mereka menuruni tangga. Aku kembali menutup pintu kamar, berjalan menuju ranjang, menyandarkan tubuhku, menatap foto yang berada di atas pintu kamar, foto gadis manis mengenakan seragam loreng kebanggannya tengah tersenyum dengan sangat manisnya, aku sengaja mencetak fotonya dengan ukuran besar dan aku pasang di atas pintu.

Tak ada yang asli, fotopun aku sudah sangat beryukur, setiap akan memejamkan mata ataupun baru membuka mata selalu mendapat senyum manisnya, Abell selalu menjadi penyemangat hari - hariku, tapi sekarang? Entahlah, akan seperti apa hari - hariku selanjutnya, cinta yang bertahun - tahun aku jaga hanya untuknya, kini pupus dan hancur sudah, tak ada yang bisa aku harapkan lagi.

Menunggu jandanya? Itu pemikiran gila, aku tak sejahat itu, mendoakan agar Abell menjadi janda dan bisa aku miliki, meski dia sudah menyakitiku, tetap saja aku akan mendoakan kebahagiaannya, meski aku bukan bagian dari kebahagiaannya.

Bukankah titik tertinggi mencintai itu mengikhlaskan? Ya, aku harus bisa ikhlas menerima kenyataan ini, Abell bukan takdirku, Abell bukan jodohku, meski tak bisa aku pungkiri, jika aku masih memiliki sedikit harapan untuk bisa memilikinya, aku masih berharap jika apa yang terjadi saat ini hanya mimpi buruk yang akan musnah saat aku membuka mata, tapi sayangnya ini bukan mimpi dan aku harus merasakan ini semua.

Kenapa takdir sebecanda ini mempermainkan perasaanku? Apa aku tak berhak bahagia dengan wanita yang aku cinta? Kenapa harus menyambut, jika pada akhirnya meninggalkan? Selucu inikah hidup? Tak pantaskah aku seperti kedua sahabatku?

Rasanya ingin marah, ingin berteriak, melampiaskan rasa yang menyesakkan dada, jika aku tak berhak bahagia karena cinta, kenapa harus ada rasa cinta yang tumbuh dan begitu kuatnya dalam diriku? Kenapa rasa ini harus hadir jika hanya akan membuatku merasakan sakit? Tuhan, tak pantaskah aku mencinta dan dicinta?

💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
🥰💞

Abella My Beautiful Dokmil Kowad (E-book Tersedia Di Playstrore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang