BAB VI : PANGERAN PESAKITAN

18 11 0
                                    

BAB VI : PANGERAN PESAKITAN

☆☆☆

Aku baik-baik aja, tapi itu kemarin. Sebelum kamu hadir.

☆☆☆


Banyak yang bicara seperti ini, "enak ya, Al, jadi lo. Udah pinter, keren, dimanja lagi." Padahal mereka tau kalau dirinya mengidap penyakit langka, kenapa masih berani bicara seperti itu?

Menjadi Alfarezi tidak pernah mudah. Jatuhnya malah menyedihkan. Andai saja mereka semua tau, hidup bersama kekurangan yang ada dengan segala aturan ketatnya, dibenci oleh adik sendiri pun hidup tanpa seorang ayah—itu tidak pernah enak. Enak dibagian mananya?

Pagi ini, Alfarezi kembali duduk di tepi lapangan dengan buku paket dan buku tulis. Merangkum seorang diri disaat semua siswa-siswi kelas XI MIPA-1 sedang berolahraga basket. Penyakit jantung yang ia derita—meski sudah dipasangi implan—membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal berat. Lucu sekali jika Alfarezi mati karena bermain basket. Disaat yang lain olahraga menjadi sehat, Alfarezi olahraga untuk menemui maut.

Bagi Alfarezi, mati itu mudah.

"Enak ya, Al, enggak olahraga tapi tetep dapat nilai tinggi." Ejek Agung Gunawan, sosok dengan tubuh tinggi besar, salah satu anak populer yang tampan. Dia mendudukan diri disamping Alfarezi.

Alfarezi menghela napas, "tapi nilai ulangan tertulisnya harus tinggi." Responnya dingin.

Agung tidak peduli. "Yaa, hidup dengan segala kelemahan yang ada. Menyedihkan." Anak itu menangkap bola basket yang mendekat kearahnya lalu memainkannya sendiri.

Dia Agung Gunawan, salah satu anak dari donatur tetap disekolah ini. Menyukai kepopuleran dan rival tetap Alfarezi sejak kelas sepuluh. Jika kalian pikir karena mereka rival, mereka sering bertengkar dan adu fisik, maka kalian salah. Mereka hanya saling melontarkan kalimat pedas, beradu melalui nilai dan prestasi, Agung tidak akan membiarkan Alfarezi menang meski Alfarezi tidak pernah kalah.

Agung bangkit, sebelum pergi dia berbisik. "Seharusnya lo sadar diri. Kembali homeschooling lebih baik. Anak emas, nyawanya berharga lho." Anak itu tersenyum miring sebelum akhirnya dia bergabung bermain bersama anak-anak lain.

Sekilas, hidup Alfarezi memang sempurna. Dia lahir dengan otak yang cemerlang, tidur dikelaspun dan tiba-tiba diberi soal, anak itu mampu menjawabnya—sebab ia sudah mempelajari materinya di rumah. Selain cerdas, dia juga dikelilingi orang-orang yang siap melindunginya, ini bukan suatu kebohongan, orang-orang takut nyawa berharga itu melayang sia-sia. Bahkan sosok yang selalu koar-koar benci padanya, tanpa mereka sadari, mereka takut Alfarezi mati. Itu sebabnya Agung tidak pernah berani bermain fisik dengan Alfarezi, Alfarezi mungkin lemah tetapi tetap saja banyak pelindung disekitarnya.

Meski telihat sempurna, sayang sekali jiwanya tidak. Anak itu kesepian. Ingin mencari tempat bercerita, tetapi tidak pernah benar-benar menemukannya. Selama ini, hanya Alvian yang tau segala hal tentang Alfarezi, hanya Alvian yang mau mengerti dan menemaninya berbincang. Tetapi, bukan Alvian yang Alfarezi mau. Dia ingin Altezza yang menjadi temannya, pendengar ceritanya dan berbincang dengannya. Manusia memang selalu meminta lebih, ya?

Percaya tidak, mengobrol dengan Alfarezi atau Alvian tidak pernah asik. Mereka membicarakan sesuatu yang remeh sampai-sampai yang sengaja menguping pusing sendiri.

"Kenapa langit berwarna biru?" Tanya Alvian seraya menatap langit cerah hari ini. Sejujurnya, ini termasuk obrolan receh ala mereka.

"Simpel. Itu terjadi karena efek kuantum yang melibatkan Hamburan Rayleigh dan dikombinasikan dengan kurangnya warna violet photon reseptor pada mata retina kita." Jawab Alfarezi dengan mudah.

𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang