BAB XXVII : PERPISAHAN DUA JIWA

9 7 0
                                    

BAB XXVII : PERPISAHAN DUA JIWA

☆☆☆

☆☆☆

Hari yang membosankan seperti biasa. Pada pelajaran kedua ini Altezza, Rayyan, dan beberapa siswi AP-3 mendapat kelas kosong, sebab, guru yang mengurus mapel Otomatisasi Tata Kelola Sarana dan Prasarana sedang sibuk mengurus beberapa siswi yang belum praktek telepon di lap AP. Kelas terasa sangat hampa, tidak menyenangkan sama sekali, apalagi karena sekolah ini di dominasi oleh perempuan yang membuat sekolah ini terasa semakin sepi.

Sebuah cemilan ringan melayang ke udara, lalu akibat efek grafitasi cemilan itu jatuh ke bawah dan masuk dengan cepat ke dalam mulut Altezza yang kepalanya mendongak. Dia mengunyah kulpinya dengan raut wajah tidak sedap dipandang.

"Sedang menunggu, Rafi Ahmad nemuin gue terus dia bilang; kemarilah, nak, kamu adalah anak saya yang hilang. HAHAHAHA!" Dia tergelak menyadari pikiran randomnya. Altezza terus saja memasukkan tiap butiran kulpi ke dalam mulutnya.

Seorang pemilik rambut yang sedikit kemerahan karena diterpa sinar matahari itu berdecak ringan. "Rafi Ahmad nikah taun berapa anjir? Lo aja 02 line!" Rayyan harus terbiasa dengan ucapan tidak terduga dari sahabatnya.

"Eh, iya, ya. Kalo gitu, menunggu Nyai Soman datang aja deh; kemarilah, nak, kamu adalah anak saya yang hilang, saya adalah ayah kandungmu dan kamu adalah ahli waris atas seluruh aset milikku." Dia tertawa lagi. Membayangkan Nyai datang menemuinya dan mengatakan hal itu, ia pasti akan melongo seperti orang bodoh.

Rayyan menghela napas pasrah, dia merebahkan kepala dan menggunakan tangannya sebagai bantal di atas meja. "Enggak tentu dengan jadi anaknya mereka lo bahagia." Gumamnya dengan mata terpejam. "Kebahagiaan itu bukan dicari, tapi diciptakan." Dia bergumam lagi seperti orang ngingau.

Rayyan benar ya? Altezza nampak sedang tidak mensyukuri hidupnya.

Altezza menatap papan tulis, ia menerawang jauh. Mengingat detail di mana Sang Papa menemuinya dan mengajaknya tinggal bersama di sebuah rumah yang katanya beliau sewa. Sang Papa bilang, beliau rindu dan ingin berhabiskan waktu berdua. Altezza tau itu bohong, meski tidak sepenuhnya. Sang Mama pasti mengusirnya dari rumah setelah nyaris menyebabkan Alfarezi tewas.

Napas berat keluar dari lubang hidungnya. Ia memakan kulpi dengan tidak bersemangat, rasa pedas pada cemilan ringan itu bahkan jadi tidak terasa. Anak itu memutar kembali saat dimana Alfarezi menatapnya dengan punggung tangan di infus.

Ia ingat, saat itu Altezza sedang memasukkan pakaian sekolahnya ke dalam koper dan Alfarezi datang menemuinya. Ia putuskan untuk ikut Sang Papa. Bersama Mama pun percuma, ia tidak dianggap, bukankah lebih baik dengan Papa Damar yang jelas-jelas sudi memberikannya kasih sayang?

"Lo ... mau kemana?" Alfarezi berdiri kaku menatap kembarannya yang memasukkan seragam OSIS ke dalam tas koper miliknya.

Yang ditanya tidak menjawab, ada rasa kesal dalam dirinya. Ini semua memang salah Alfarezi bukan? Dia terlalu lemah, dan Altezza benci hal itu. Masa karena dia tanya hal sepele saja dia kumat dan nyaris mati. Benar-benar payah. Altezza nampak jelas sedang marah.

"Lo mau minggat?"

"Berisik!" Alfarezi di usir. Dengan nada ketus, dingin, dan penuh benci. Si bungsu membuka almari pakaiannya yang lain, mengeluarkan banyak jaket, kaos kaki, celana, kemeja, dan apa pun yang menurutnya penting kemudian dimasukkan ke dalam koper.

Karena dirundung rasa bersalah, Alfarezi menunduk. "Maaf." Kedua tangannya ditautkan, jari-jarinya tampak bergerak tidak nyaman. "Maaf karena gue lo di omelin."

"Huh," Altezza masih belum dapat di sentuh. Dia menutup koper setelah memasukkan celana dalam. "Gue pergi. Dan selepas ini, gue pastikan hidup lo tenang dan semakin sulit mati." Pemuda itu berdiri di depan kakaknya. Menatapnya datar dan penuh permusuhan. Karena sosok inilah, ia jadi tertimpa banyak kesialan. Sesungguhnya, Altezza yang sial punya kakak kembar seperti Alfarezi yang selain lemah, ia juga merepotkan.

𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang