BAB XXXII : YANG TIDAK KAU MENGERTI
☆☆☆
Yang tidak kau mengerti adalah bagaimana kuatnya aku berusaha berdiri diatas kakiku sendiri saat ada saja orang yang mendorong agar aku kembali jatuh tersungkur.
☆☆☆
Yang tidak kau mengerti adalah saat Alfarezi menangis diam-diam tiap malam ketika rasa sakit menyapa dada kirinya.
Yang tidak kau mengerti adalah saat Alfarezi mencoba menarik napas berharap energi kehidupan miliknya akan bertambah dan ia hidup lebih lama.
Yang tidak kau mengerti adalah saat Alfarezi selalu merasa ketakutan setengah mati sebelum ia memejamkan mata. Rasanya, tidur seperti bersiap untuk mati saja.
Sudah terlalu lama Alfarezi berlindung dalam kastil megahnya. Meletakkan kepala ditepi jendela, memandangi langit dan menikmati awan-awan yang melayang diatas sana. Bagi anak kecil, mungkin awan nampak seperti kelinci, namun bagi Alfarezi mereka seperti pikiran-pikiran acak dalam kepala.
Pohon rambutan itu masih tampak kokoh, pasti dihuni oleh ribuan semut dan ulat. Daun-daunnya melambai-lambai, seperti menyapa sosok pucat yang bersantai di jendela lantai dua.
"Kenapa ya bersyukur itu susah?" Gumamnya lirih. Telinganya sering kali mendengar kalimat yang menyuruhnya bersyukur. Namun Alfarezi tidak mengerti, mengapa bersyukur itu sangat sulit dilakukan.
Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok Ibu berhati lembut, ia menyentuh pundak putra sulungnya. "Makan obatnya, katanya besok mau sekolah."
Alfarezi menoleh, manik mata cokelat gelapnya berkedip, lalu terbentuk senyuman hangat pada bibirnya yang pucat. "Mama hari ini enggak kerja lagi?"
"Mama masih dikasih cuti. Kalau besok kamu belum bisa sekolah, mama bakalan mempekerjakan babysitter." Duduk di tepi ranjang empuk, ia mulai mengeluarkan banyak obat-obatan yang Alfarezi harus konsumsi.
Sejujurnya muak sekali membiarkan sesuatu yang pahit itu memasuki tubuhnya. Namun mau bagaimana lagi, daripada ia mati. "Ma, aku enggak akan bawa ini ke sekolah 'kan?" Di tatapnya slang yang menjadi jalan cairan ke dalam tubuhnya.
"Enggak." Wanita itu menyodorkan berbagai jenis obat. Alfarezi menerimanya, ia menelan hanya dalam beberapa kali teguk.
Anggun tersenyum prihatin. Anak sulung kebanggaannya berhasil membuat hatinya nyeri. Sakit sekali. Rasanya ia ingin membuat segala rasa sakit di tubuh Alfarezi berpindah padanya, sungguh, ia rela jika dirinya yang harus sakit! Asalkan jangan putra-putranya.
"Aku kangen Ezza." Gumaman lirih itu terucap. Ia menoleh pada pohon rambutan yang selama ini di klaim sebagai milik Altezza.
Dekapan hangat menyelingkupi Alfarezi, Anggun memeluknya lembut. "Kamu harus sehat, Nak." Anggun tidak merespon gumaman Alfarezi ternyata. Wanita itu mencoba menyembunyikan rasa kangennya pada si bungsu.
Pelukan terlepas, Anggun memberikan sebuah benda layaknya jam tangan. Fungsinya untuk mengetahui degup jantung Alfarezi sendiri. "Kamu pakai ini. Akan ada bunyi 'nit-nit-nit' kalau keadaan jantung kamu enggak stabil."
"Kenapa aku harus pakai? Bukannya Mama punya monitor tersendiri untuk tau keadaanku?"
"Biar kamu tau keadaanmu sendiri, Ezi. Biar kamu bisa nenangin diri secepatnya." Wanita itu tersenyum. Menyembunyikan rasa khawatir. Ia tidak ingin Alfarezi tersinggung. "Pakai ya?"
Dan dalam sekejam benda mirip jam tangan itu sudah melingkar di pergelangan kirinya.
Waktu terus bergulir. Alfarezi terkadang semakin gelisah, tanda kalau ia berada di situasi terendah. Ia ketakutan. Lambat laun maut semakin mendekatinya, entah kapan bisa akan kalah oleh penyakit yang ia derita.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓
Fiksi Remaja[ SUDAH TAMAT TAPI DIMOHON UNTUK TETAP VOTE YA ] Alfarezi dan Altezza, si kembar yang telah sampai pada kesimpulan bahwa hubungan mereka itu benar-benar tidak baik. Penuh racun dan mematikan. Mereka bahkan berpikir untuk saling menghindar, memberi j...