BAB XXVI : DI BALIK PUNGGUNG KOKOH

12 8 0
                                    

XXVI : DIBALIK PUNGGUNG KOKOH

☆☆☆

Aku masih terjerat masa lalu. Sulit melepaskan diri. Sebab kuncinya bukan lupa, melainkan rela. Dan rela tidak pernah semudah kata.

☆☆☆

Anggun tidak akan kehilangan apa pun lagi. Terlebih kedua anaknya, itu sebabnya dirinya harus bertindak tegas. Jika Alfarezi melindungi Anggun dengan lembut, maka sebaliknya, Anggun akan menjadi benteng paling kokoh untuk sang putra sulung. Tidak akan ia biarkan salah satu anaknya mati. Mereka itu miliknya, dan artinya; tidak akan bisa hilang tanpa seizinnya.

Alfarezi mengerti itu. Ia tau seberapa sayangnya sang Mama terhadap dirinya pun sang adik. Mamanya hanya terlalu khawatir. Khawatir yang sebenarnya wajar, sebab beliau selalu melihat anaknya diambang kematian.

Jarum pada jam dinding bundar dengan tema kucing itu terus berputar, menandakan waktu terus bergulir tiada henti. Pada kamarnya yang remang-remang, Alfarezi termenung. Ia ingin sekali mengunci pintunya namun tidak mungkin, sang Mama akan rutin mengeceknya dan memastikan dirinya masih bernapas. Apalagi setelah terpasang infus di punggung tangan kanannya. Dokter Lina bilang, ia butuh sedikit cairan. Entahlah, Alfarezi sudah terbiasa jadi diam saja, ia tak perlu tau nama obat dan fungsinya, yang ia tau, dengan ini dirinya mungkin bisa bertahan hidup lebih lama.

Altezza belum juga pulang. Dan ia tau betul ini sudah terlalu larut. Sejak pagi tadi, ia tidak berkesempatan untuk menemui Altezza dan meminta maaf padanya. Bahkan, setiap kali ia mencoba bertanya pada sang Mama, beliau akan membuatnya diam.

Si pintar itu memeluk lutut sendiri, dia kini duduk di dekat kepala ranjang, bersiap terisak dan meratapi nasibnya lagi. Alfarezi kembali berada dititik terendahnya. Ia kembali kehilangan arah dan semangat hidupnya. Anak itu tidak mengerti, hanya karena sesuatu yang berhubungan dengan Kia dampaknya bisa seburuk ini.

Tangan ringkih itu kembali meraih ponsel. Dia menatap layarnya yang bersinar terang pada gelapnya kamar. Pesannya belum juga terbalas. Kini bahkan, foto profil, terakhir dilihat, dan infonya sudah tidak nampak. Kemungkinan besar dia di blokir karena terlalu berisik menyepam.

Anak itu tidak bisa menahan rasa sakit pada hatinya. Sesak yang menyerang dada tidak ia hiraukan, dia terisak lirih, lagi-lagi hatinya tersakiti oleh adiknya sendiri.

"Ezza~" Suara parau itu terdengar. Ia memberikan pesan suara. "Pulang. Aku minta maaf. Aku sakit, Za, kamu enggak mau nemenin aku?" Pesan itu terkirim dan berakhir dengan ceklis satu abu-abu.

"Ezza maaf." Gumamnya lirih setelah melempar ponsel. Tubuhnya melemas, dia lalu meringkuk layaknya bayi dalam janin. Matanya tertutup rapat dan keluarlah air bening dari sana, merosot turun dan mendarat pada sarung bantal.

☆☆☆

Damar nyaris frustasi kala melihat Alfarezi yang menjadi amat lemas. Niatnya untuk liburan bersama dan bersenang-senang telah kandas, semua rencananya gagal total!

Selepas membaringkan tubuh si sulung pada ranjangnya yang nyaman, ia keluar dan mendapati Anggun yang menangis pelan—seakan tidak ingin diketahui. Dan benar saja, saat Damar mendekat, wanita itu kembali bersikap tegar.

Pria yang telah gagal dua kali itu mendudukan diri disofa, menarik napas begitu panjang lalu memijat keningnya, mengeluarkan sebilah rokok dan koreknya.

𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang