BAB II : SI PRIORITAS DAN SI NOMOR DUA

18 12 5
                                    

BAB II : SI PRIORITAS DAN SI NOMOR DUA

☆☆☆

Bukan aku yang meminta dilahirkan,
Anda sendiri yang memintaku pada Tuhan.
Lantas, ketika aku kini hadir, anda menganggap aku beban?

☆☆☆

Altezza selalu ramah pada perempuan. Dan ramahnya itu kadang menjadi boomerang baginya. Altezza sering di jauhi oleh kaum adam yang merasa iri-dengki, sebab Altezza dengan mudah bermain bersama para perempuan cantik.

Anak laki-laki itu benar-benar baik. Dia selalu ada untuk mereka yang keluarganya rapuh. Dia selalu mendengarkan cerita mereka tanpa menghujat, itu yang membuat para perempuan nyaman berkeluh-kesah dengannya. Karena pada dasarnya, perempuan hanya ingin dimengerti, didengarkan dan dipahami.

"Ahh, begitu." Altezza mengangguk-angguk mengerti seusai mendengarkan cerita gadis cantik didepannya. Namanya Mona—teman satu sekolahan yang sayangnya hidup diantara keluarga beraturan ketat. "Lo butuh saran? Gue rasa, cara pikir lo perlu dirubah."

Mona menghela napas. "Pasti lo mau bilang kalo gue emang anak nakal." Mona meminum es kopinya. Kini mereka memang ada di sebuah caffe yang buka 24 jam.

"Bukan-bukan. Cara lo emang salah, tapi lo enggak sepenuhnya salah. Ngerti enggak si?"

"Gue tau apa yang lo rasain. Gue mengerti. Pasti berat saat lo dituntut untuk sesuatu yang enggak lo suka. Tapi, pelarian lo itu salah."

"Ya, apa sarannya?"

"Pertama, kurangi pergaulan malam lo. Setertekan apa pun lo, kurangi mabok-mabokan deh. Enggak baik. Percaya sama gue. Logikanya gini, lo anak perempuan, jelaslah punya aturannya sendiri. Kedua, coba lihat dari sudut pandang lain. Papa lo mungkin ngelarang karena punya alasan kuat. Lo enggak pernah tau apa yang ada dipikiran orang tua." Altezza terdiam, dia teringat pada mamanya.

"Bukan maksud gue nge-judge ya. Tapi, lo salah pilih teman cerita, gue rasa. Lo cerita sama teman-teman yang suka mabok, otomatis mereka bakal ngajak lo kejurang yang sama." Altezza menelan ludah. Dirinya takut salah bicara. "Coba nyari temen yang ngasih saran yang baik. Lingkungan lo akan membentuk karakter lo. Kalo lo temanan sama orang-orang yang ngasi saran buruk, lo bakalan jadi buruk juga."

"Katanya, berteman enggak boleh pilih-pilih." Mona tersenyum miring, dia berdecih.

"Emang. Tapi kalau saran, lo harus pilih-pilih. Lo punya otak 'kan? Bisa mikir 'kan?"

"Gila! Curhat sama lo membagongkan! Antara ini lagi dikasih saran apa lo lagi body shaming sana otak gue yang kecil?!" Mona jengkel. Altezza menamparnya terlalu keras.

Yang dijengkeli malah tertawa. "Ya abisnya. Kalo lo punya otak, ya mikir. Lo tau mabok itu salah, justru, kalo lo pulang dalam keadaan mabok, bokap lo makin marah bego! Bego banget si lo. Tolol."

"Cukup."

"Udah tau bokap lo keras, malah makin nantang. Coba ambil kepercayaannya."

"Ngomong doang mudah."

"Lo butuh saran enggak si?"

"Butuh."

"Nah, udah gue kasih malah ngeyel!" Banyak orang yang seperti ini memang, katanya meminta saran, setelah dikasih saran dia malah ngeyel. Menjengkelkan.

"Tapi mereka selalu ada saat gue susah! Ya kali gue ninggalin mereka gitu aja. Gimanapun, mereka temen-temen gue."

"Lo boleh temenan sama mereka. Tapi, jangan ikuti gayanya."

𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang