BAB XVII : YANG TIDAK DIANGGAP

22 10 0
                                    

BAB XVII : YANG TIDAK DIANGGAP

☆☆☆

Sayang, aku disini untukmu.
Jangan pura-pura kuat. Karena, jikalau kamu begitu, gunanya aku apa kalau bukan menjadi sandaranmu?

☆☆☆

Altezza tak pernah dianggap seakan ia tidak terlihat. Setiap kali seorang tamu datang ke rumah, yang ditanyakan adalah keadaan Alfarezi. Setiap kali kumpul keluarga besar, lagi-lagi yang ditanyakan adalah Alfarezi, yang diceritakan adalah prestasi Alfarezi, seakan hanya itu topik paling menarik dan pantas. Lukisan besar yang tertempel di dinding ruang tamu seakan bukan karya dari si bungsu.

Altezza kesepian, dia sendirian dan tidak punya teman. Mama yang ia anggap sebagai satu-satunya lentera, memilih untuk lebih menerangi jalan Alfarezi dibanding dirinya. Papa yang dulu ia anggap sekutu dan tongkat yang membantunya terus berdiri tegap, kini memilih lenyap, keluar dari akte keluarga dan membuat akte baru dengan orang lain.

"Papa! Papa mau kemana?"

"Papa mau keluar negri, ada proyek besar disana. Kamu mau nitip apa?"

Itu yang beliau katakan sebelum akhirnya tidak pernah pulang. Dia hanya kembali memberikan hadiah kemudian lenyap lagi. Yang terisa hanya suara dari telepon.

Sejak kecil Altezza selalu ditinggalkan. Meski Alfarezi lahir dengan kekurangan, namun kakaknya tidak pernah haus kasih sayang. Berbeda sekali dengannya, yang merangkak kesana-kemari untuk mendapatkan belaian namun selalu berujung pada pengabaian.

Fisik Altezza lengkap dan sehat, namun jiwanya berlubang. Kosong, hampa, tak berpenghuni.

"Maa, aku tu pengen beli macbook."

"Buat apa?" Tanya Anggun yang saat ini sedang mengetik sesuatu pada laptop tuanya.

"Gambar. Hehe."

Terdengar decakkan kesal dari bibir sang mama. "Denger, Za, kita ini harus selalu sedia uang. Jangan beli buat sesuatu yang enggak penting kaya gitu."

"Tapi, Ma. Aku mau belajar gambar digital, siapa tau aku bisa—"

"Enggak, Za. Kalau kamu benar-benar mau, nabung sendiri." Keputusan telak. Altezza tidak akan pernah mampu merubahnya.

"Maa—"

"Enggak, Ezza! Kamu enggak lihat rumah kita catnya udah luntur? Retak sana-sini, genteng udah mulai enggak kenceng, bocor, langit-langit udah jamuran. Kita perlu uang buat renovasi rumah, mobil perlu diservis tiap bulan begitupun motormu'kan? Jangan kira pengeluaran kita itu kecil, Za."

"Kamu belajar keuangan 'kan di sekolah? Seharusnya kamu tau tanpa perlu mama jelaskan."

Altezza kesal. Anak itu berdecak lalu menaiki anak tangga dengan perasaan kecewa. Dia melangkah memasuki kamar dan menutup pintu kencang, kemudian mulai mengomel sendirian.

"Macbook emang enggak penting, tapi 'kan itu untuk menunjang hobby gue!" Dia duduk dikasur kemudian menarik napas panjang.

"Huh."

Setelah cukup tenang, dia melangkah menuju sebuah kanvas yang ukurannya lumayan besar dan tertutup kain putih dengan coretan abstrak. Nampaklah lukisan dimana sang mama menggendongnya.

"Ma, aku ini masih Ezza yang dulu mama timang-timang lho. Tapi kenapa sekarang rasanya berat sebelah? Munafik kalau aku enggak bilang mama kaya sayangnya cuma sama Ezi doang."

𝐏𝐒𝐈𝐊𝐎𝐓𝐑𝐎𝐏𝐈𝐊𝐀-𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐜𝐮𝐧 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang