Semilir angin basah menemani kehangatan keluarga di sebuah mansion besar berwarna dominan putih. Canda tawa mengiri menunggu redanya tangisan awan. Makan malam yang dihidangkan begitu nikmat menyelimuti malam special ini. Dimana satu keluarga kecil tak henti-hentinya tersenyum, mendengarkan celoteh ria kesibukan mereka hari ini.
“Mama-Mama ... aku pengin punya adek baru tahu!” Nabila menatap penuh harap pada Aneisha–mamanya. Mata gadis itu membulat sempurna, ia menginginkan adik laki-laki agar bisa bermain bersamanya seperti sahabatnya, Asha.
“Tuh, Bi. Nabila aja mau punya adik baru, masa Mamanya nggak mau,” ucap Gibran–suami Aneisha. Nabila masih menatap penuh harap, sedang lelaki paruh baya itu sudah menginginkan kehadiran anak ke dua dari rahim Aneisha istrinya.
“Aku belum siap, Bi. Aku takut jadi orang tua yang kurang menyanyangi anak, ditambah Nabila yang masih belia,” jawab Aneisha menatap Gibran dan Nabila bergantian.
“Kamu udah sangat sayang sama Nabila, Bi. Bahkan dia juga pengin punya adik.” Tatap Gibran lembut. Pelupuk matanya menunjukkan kasih sayang, lalu telapak tangannya menguncup memainkan pipi Aneisha.
“Nanti buat hadiah ulang tahunku boleh, ya, Ma? Nabila pengin punya adik kayak Asha, Ma.” Nabila tampak lebih manja dari biasanya, ia menyandarkan kepalanya pada pundak Aneisha, sesekali mendongak mencuri pandang melihat wajah mamanya.
Aneisha mengangguk perlahan. Lalu mengembuskan napasnya sekilas, senyuman tipis tampak mengembang di wajahnya hingga matanya menutup sekilas dan mengusap lembut pucuk kepala Nabila dengan gemas.
Gibran tersenyum melihat pemandangan itu, ia kegirangan sampai sedikit melompat. Keluarga kecil itu tersenyum bahagia, mereka kembali melanjutkan makan malam yang sempat tertunda oleh perbincangan kecil.
“Bi, nanti aku bakal kerjain urusan kantor sebentar, ya, sebelum tidur. Barusan ada yang ngirim laporan,” ucap Gibran. Lelaki paruh baya yang tak lain adalah kepala keluarga, memecah keheningan di antara suara peralatan makan yang saling beradu.
Aneisha yang merasa terpanggil, langsung menoleh dengan senyuman hangatnya. Membuat es batu di depannya hampir ikut meleleh. Telapak tangannya yang mungil itu mengusap lembut sela-sela jari jemari Gibran. “Semangat, Bi! Makannya yang banyak, ya. Biar kamu makin kuat periksa laporannya.”
Begitulah kehidupan hangat keluarga kecil mereka. Begitu harmonis, ditambah dengan harapan mereka memiliki anak laki-laki makin mengisi kebahagiaan mereka hingga melimpah ruah. Jangan lupakan, mereka merupakan keluarga dengan kekayangan dan kebahagiaan yang berlimpah.
Siapa yang tak mengenal Gibran Haedar Lamont? Pengusaha sukses yang menguasai sektor pertambangan dan pariwisata. Keluarganya yang harmonis juga menjadi sasaran sorotan masyarakat menengah ke atas maupun media-media, karena begitu mengikatnya relasi di antara mereka di tengah kesibukan Gibran.
Sayangnya, mereka belum memiliki anak laki-laki yang akan meneruskan bisnis keluarga itu. Ah … perbincangan itu acap kali menjadi buah bibir orang terdekatnya. Lelah rasanya harus mendengar semua cicitan dari semua orang.
Piring Nabila tampak sudah bersih, gadis berkulit putih dengan rambut dikuncir kuda itu langsung menguap tak lama setelahnya.
“Hoam ....” Telapak tangan mungilnya dengan sigap menutup mulut kecil yang masih belepotan saus tomat.
Gibran tersenyum, sorot matanya langsung terpaku pada wajah cantik dan manis Nabila, putri semata wayangnya yang parasnya sangat menawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...