Disinilah Oydis berada, di ruangan serba purih bau khas obat-obatan menguar pada setiap sudut ruangannya. Telapak tangan serasa dingin, dan tubuhnya yang masih lemas membuatnya masih terbaring di brangkar rumah sakit hingga sore tiba.
Ia tegang, pikirannya tak bisa tenang, hatinya terasa ada yang mengganjal, dan mencoba mengingat-ingat apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Sesekali dirinya mengigit bibirnya, sebelum menyadari, bahwa dirinya belum pulang ke rumah, dan jam pada dinding sudah menunjukan jam empat sore, dimana Oydis harus menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya sebelum kakak, dan Papanya pulang.
Gadis itu panik, berusaha beranjak dari kasur dengan tubuhnya yang masih lemas, tetapi geraknya ditahan oleh perempuan berjubah putih yang tak lain adalah perawat rumah sakit.
“Non, ngapain terburu-buru?” tanyanya dengan wajah penuh selidik sembari mencegat Oydis.
“Aku harus pulang, kalau gak nanti aku kena marah sama orang tua saya,” ujar Oydis tampak panik, dan meremas sedikit ujung rambutnya.
“Kamu belum boleh pulang sekarang, masih dalam masa pemulihan,” tutur perawat tersebut dengan suara lembut, sedikit menenangkan kepanikan dari Oydis.
“Ta-tapi, nanti aku dimarahin orang tua saya,” ujar Oydis dengan suara lembut, tetapi tetap berusaha beradu pendapat dengan perawat tersebut.
**
Setelah bernegoisasi dengan perawat rumah sakit, akhirnya besok sore, gadis itu boleh pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu masih belum dapat tenang, memikirkan amukan Gibran yang pasti akan membuatnya terkulai lemah.
“Gimana ya reaksi Papa besok? Aku takut banget. Dasar Oydis bodoh! Bisa-bisanya kamu harus terkurung di tempat seperti ini,” gumamnya terus berkelut dengan pikirannya.
Sepanjang malam, gadis itu berusaha memejamkan matanya, tetapi matanya tak bisa terpejam, takut dengan reaksi Gibran. Sesekali gadis itu memaksakan diri untuk terpejam, tetapi amukan Gibran seraya terus menghantui kesunyian ruangan tersebut, membuatnya langsung membuka kembali matanya lebar-lebar dengan tubuh merindingnya.
Sakit yang dirasakan di beberapa bagian tubuhnya tak akan lebih sakit dari lukanya yang kembali terkoyak karena tingkah laku Gibran yang tak pernah melihat usahanya. Gadis itu hidup dimana dirinya berada antara ada, dan tiada.
“Hiks-hiks, kenapa aku harus berada dalam situasi ini?” Oydis berusaha menumpahkan seluruh perasaan yang selama ini membelenggunya.
**
Langit masih menggantung jingga kala itu, Oydis sudah diperbolehkan mala mini, tetapi rasa takutnya makin menjadi-jadi di setiap langkahnya ingin pulang menuju rumah. Jujur saja, dia sangat takut sehingga memutuskan untuk menunggu di taman rumah sakit terlebih dahulu, dan pulang ketika mereka sudah tidur.
Oydis berjalan dengan tubuh ringkihnya menuju administrasi rumah sakit, berniat membayar biaya rumah sakit dengan tabungannya sedari kecil.
Ruang administrasi rumah sakit tampak beberapa orang mengantri dengan wajah cemas, menunggu kabar dari orang yang mereka sayangi. Mata Oydis dibuat berkaca-kaca, terbesit sedikit rasa iri dimana dirinya tak pernah mendapatkan perhatian dari orang terdekatnya seperti itu. Hidup saja selalu dianggap sial. Bagaimana bisa dirinya memperoleh kasih sayang seperti itu?
Setelah lama berkutat menunggu antrian, gadis itu sudah berada di barisan paling depan, dan tangannya terulur memberikan kartu debet miliknya pada administrasi rumah sakit.
Menyebutkan kamar, dan menjalankan proses administrasi, tetapi kartunya langsung dibalikkan sebelum digesekan pada mesin EDC. Membuat dahinya mengernyitkan, kebingungan, padahal dirinya belum menyelesaikan pembayaran.
“Mba, perasaan saya belum bayar, tetapi kenapa proses administrasinya sudah selesai ya?” tanya Oydis kebingungan, menatap kartunya, dan penjaga administrasi rumah sakit secara bergantian.
“Tagihan Kakak tertulis sudah lunas dari pertama kali Kakak masuk ke rumah sakit, jadi Kakak gak perlu bayar lagi,” jelas perempuan yang kira-kira berusia hampir tiga puluh tahun itu.
Oydis sedikit mengangguk-angguk, ber-o-ria seolah paham, berusaha memikirkan sosok lelaki misterius yang berada di sebelahnya pada satt baru saja siuman. Lelaki misterius itu membuatnya makin ingin mengetahuinya, dan berterimakasih banyak kepada sosok lelaki tersebut.
**
Sayup-sayup angin malam menyapu dedaunan kering, dan melewati jembatan yang mulai sepi karena sudah larut malam. Sedikit mobil yang berlalu lalang malam ini, sementara Oydis masih merenung pada ujung jembatan menatap sungai yang mengalir di depannya.
Sungai tersebut tampak tenang, membuat Oydis ikut melupakan sejenak masalah yang habis gini harus dihadapinya setelah berdiam beberapa hari di brangkar rumah sakit, dan ruangan sepi beraroma obat tersebut.
“Kapan ya hidupku bisa setenang arus sungai itu?” tanya Oydis dengan suara lirihnya. Tentu saja, tubuh gempalnya itu terasa dingin, dan sedikit menusuk. Lantaran tubuhnya belum benar-benar kembali fit.
“Segar kayaknya lompat ke sana,” batin Oydis melengkungkan bibirnya, jari-jemarinya mulai dikeluarkan dari pembatas jembatan. Kakinya mulai dinaikkan pada pegangan jembatan, bersandaran dengan pembatas jembatas sembari mengayun-ayunkan kakinya.
“Tenang ya, rasanya disini,” lirih Oydis tersenyum melihat ke sekitarnya dengan rambutnya yang sudah tertiup sayup-sayup oleh angin malam. Menarik napasnya panjang, mengambil ancang-ancang untuk melompat ke sungai yang benar-benar tenang.
Entah kenapa, sungai itu terasa memangilnya untuk ikut berenang bersama-sama dengan ikan-ikanan, menikmati malam sembari berenang di sungai sebelum pulang ke rumah mendapati hidupnya yang sama sekali tidak pernah ada kedamaian.
Ia menghembuskan napasnya panjang, dan langsung melompat dari jembatan tersebut, tetapi ada seseorang yang menahan tangannya.
“Jangann!” seru seorang perempuan paruh baya dengan lembut, dan menahan Oydis yang hampir melompat.
“Tapi … di sana tenang, aku pingin ngerasain ketenangan sebentar saja,” ujar Oydis dengan salah satu tangannya menunjuk ke arah arus sungai yang benar-benar tenang.
“Kamu ikut sama tante dulu ya, jangan langsung mengambil keputusan!” pinta perempuan paruh baya yang masih mengunakan baju formal itu.
Mendengar perkataan itu, membuat Oydis membalikkan badannya, dan melihat sosok perempuan paruh baya yang tersenyum ketika menatapnya. Gadis itu terdiam beberapa saat, tubuhnya seraya kaku untuk digerakkan, dan pikirannya masih tercampur aduk.
Ia baru menyadari, bahwa dirinya baru saja hampir terjun ke sungai. Beruntung sekali dirinya, ada seseorang yang mencegatnya untuk melakukan itu. Jujur saja, yang berada pada pandangannya tadi hanyalah ketenang, dan dirinya tak terbayang hampir saja melakukan hal yang membahayakan hidupnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...