Langit masih menggantung jingga kala itu, perlahan mentari mulai turun kembali ke tempat asalnya. Angin sayup-sayup menerbangkan helai-helai rambut dari kepala perempuan paruh baya.
Pelupuk matanya tampak menyipit menghalau debu-debu yang bertebaran di udara sembari menggendong tas Channel miliknya.
Sesampainya di pekarangan yang tampak indah, tubuhnya berbelok memasukinya, di sana tampak lampion-lampion indah menggantung, membuat tempat itu sangat indah dan cantik.
Matanya berbinar-binar, sembari mendongak menatap seluruh keindahan. Sesekali memutarkan tubuhnya untuk memperhatikan setiap objek yang menggantung.
“Woi, ngelihatin apaan lo? Kok, ngelamun mulu!” seru Aurora Birasyah, sahabatnya sejak SD.
Perempuan paruh baya itu lebih pendek daripada Aneisha. Ia mengenakan bucket hat, kacamata hitam, kaos dan celana jeans.
“Apaan dah, Ra? Suka bener bikin jantung gua keluar dari tempatnya,” cibir Aneisha mendengus.
“Abis lo ngelamun mulu, kayak anak ABG aja! Padahal umur udah hampir setengah abad,” ledek Aurora dengan wajah mengesalkannya.
“Gini-gini fisiknya masih muda, tahu!” ujar Aneisha bangga. Sembari menepuk dadanya.
“Iyain, biar lo seneng! Nanti kalau lo nggak seneng, kasian dedek bayinya,” celetuk Aurora yang berhasil membuat Aneisha tersentak, lalu terdiam sejenak. Matanya langsung tersorot pada perut buncit Aneisha.
Tak lama setelahnya, Aurora langsung menyeret tangan Aneisha hingga membuat perempaun paruh baya itu hampir terjungkal karena kaget. Mulutnya menganga diikuti dengan matanya yang membelalak sempurna karena kaget.
Sepersekian detik kemudian, ketika tiba-tiba Aurora berhenti mendadak, tubuhnya saling membentur hingga membuat mereka sedikit terpantul berjauhan.
“Busett! Lo udah tahu temennya lagi hamidun gini pakek kasar banget pula,” cicit Aneisha mendengus. Kedua tangannya diletakkan di dada sembari menggerutu.
“Ya, maap bestie. Oh, ya, maaf juga dedek bayi! Hati-hati mamamu galak!” Aurora masih seperti biasa, sikap usilnya memang sudah melekat dari dulu. Wajahnya benar-benar tampak menjengkelkan.
“Heh, lo jangan pengaruhi anak gua, ya! Pengen gua geprek aja muka lo biar jadi ayam geprek.” Aneisha berkacak pinggang sembari menggeleng heran. Bisa-bisanya dia punya temen lucknut kayak gini. Sementara, salah satu tangannya menunjuk-nunjuk Aurora hingga sedikit memundurkan badannya.
“Dih, serem amat lo!” Aurora mengibaskan tangannya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Aneisha tak menjawab. Ia hanya me-rolling matanya malas, sembari berjalan memasuki café tanpa menggubris ocehan Aurora yang menepuk-nepuk pundaknya.
Dasar ngeselin! Gak tahu pundak pegel-pegel apa! Batinnya.
Matanya mengerjap, berkedut memastikan apa yang ia lihat. Interior café tersebut tampak vintage ala-ala kolonial Belanda, ditambah dengan ubin cokelat dengan motif keemasan.
Matanya dimanjakan dengan lukisan-lukisan indah yang terpampang di dinding. Tiba-tiba ketika matanya sibuk memandangi sekeliling, seorang pelayan mendatanginya.
“Selamat malam, Bu! Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan sembari memberikan salam dan mempersilakan Aneisha masuk.
“Saya mau duduk, tapi kelihatannya semua meja sedang penuh, ya?” tanya Aneisha sedikit berjinjit menengok sekelilingnya.
“Benar, Bu. Untuk lantai satu memang sedang di booking sehingga untuk sekarang hanya tersedia lantai dua. Apakah Ibu berkenan?” tawar pelayan tersebut dengan santun. Suaranya yang lembut membuat para pengunjung café merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana.
Kepalanya menenggok ke belakang, sorot matanya berubah tajam menuju Aurora. Seketika sahabatnya itu mendapat tatapan penuh selidik darinya.
Aurora seperti tak mengerti apa-apa, dia malah kebingungan sendiri setelah mendapatkan sorot mata tajam. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, menyenggol sedikit tubuh Aneisha.
“Apaan, Sha?” tanyanya menaikkan salah satu alisnya.
“Duduknya lantai dua, lo mau, nggak?” tawar Aneisha menaikkan dagunya.
“Bebas gua mah, duduk salto pun gua jabanin.”
“Ya, udah, Kak. Saya ambil meja di lantai dua,” ucapnya mengembangkan senyum manis.
Tangga dengan motif kayu indah, di pinggir dinding tampak lukisan abstrak serta mozaik yang makin mempercantik suasana. Pelayan tersebut mengarahkan kedua sahabat itu menuju ke atas.
Dengan langkah ringan dan wajah semringah, Aneisha naik ke lantai dua. Matanya tampak berbinar-binar, sekilas mengilang mengagumi keindah arsitektur café tersebut.
Mereka diarahkan pelayan ke tempat duduk yang sudah tertata rapi, membawakan mereka sebuah buku berwarna coklat yang berisi menu-menu yang beragam.
“Baik, saya tinggal dulu, ya. Nanti kalau Ibu sudah memutuskan apa yang ingin dipesan, silakan pencet tombol di samping meja Ibu, ya. Nanti pramusaji akan datang mencatat pesanan, Ibu,” jelas pelayan tersebut tersenyum manis.
Aneisha kebingungan, semua makanan yang tampak di buku menu sangat menarik baginya. Ia mulai mengusap dagunya sembari berpikir. Matanya melirik ke arah Aurora yang membolak-balikan halaman menu dengan wajah resahnya. Tangannya juga memegang kepala pertanda pusing.
Sorot matanya kembali teralih pada buku menu di depannya hingga beberapa menit. Ia langsung mengedipkan mata, berdecit setelah sorot matanya menemukan makanan yang mengambil alih perhatiannya, pasta carbonara with truffle mushroom.
“Lo udah tau mau pesen apa?” tanya Aneisha menyipitkan matanya penuh selidik.
Aurora menggeleng, wajahnya tampak kebingungan. “Lo udah pilih?” tanyanya balik sembari mengulum bibir.
“Gua mau ini aja, deh!” Jarinya menunjuk pada buku menu dan langsung membuat Aurora ikut tertarik.
“Gua mau itu juga!” seru Aurora.
“Ih, dasar nggak kreatif!” cibir Aneisha mendengkus.
“Bwleee … biarin!” ledek Aurora memeletkan lidahnya, raut wajahnya mengesalkan.
Mereka langsung menekan tombol untuk memangil pramusaji. Tak lama setelahnya, pramusaji tersebut datang dan mencatat seluruh pesanan mereka.
Setelah pramusaji pergi, Aurora sibuk memainkan ponselnya. Aneisha mengembuskan napasnya perlahan, lalu memulai percakapan.
“Ra, gua mau cerita.” Tatapannya tampak serius, tetapi semua itu malah dikira bercandaan oleh Aurora.
Aurora tertawa puas, malah meledeknya hingga memegangi perutnya karena sakit. Ia terlalu puas tertawa. “Lo jangan sok serius gitu kenapa? Muka lo kayak kucing kelindes mobil tahu, nggak, sih?”
“Gua serius, Ra!” ujar Aneisha dengan nada dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...