Ruangan kelas yang sudah sepi itu dipenuhi oleh tawa ledekan dari beberapa remaja lelaki yang menatap aneh wajah Oydis.
“Hahaha ... mata, kok, kayak kucing,” ledek Rangga dengan tawa puasnya sambil menahan tubuh gempal Oydis.
“Hoy gajah, berdiri kali! Lo pikir tubuh lo ringan macem kapas.” Dito mendengus, lalu mendorong tubuh Oydis hingga tersungkur ke depan.
Gadis itu sempoyongan ke depan, belum siap karena masih shock dengan kejadian tersebut. Ia kehilangan keseimbangan hingga terduduk pada ubin-ubin dingin dan kepalanya terbentur pada meja guru.
Ia meringis, lalu telapak tangan gempalnya itu mengusap-usap kepalanya yang baru saja terbentur. Tas ranselnya yang sudah tipis itu sobek dan menjatuhkan buku-bukunya hingga berserakan ke lantai.
“Kalian kenapa, sih? Perasaan gua nggak ada salah sama kalian.” Oydis mengernyitkan dahinya, sorot matanya berubah menjadi tajam tak suka.
“Gak ada salah lo bilang!” bentak Danu berkacak pinggang heran. Kakinya mulai menginjak buku paket milik Oydis, membut tangan gadis itu spontan menjulur melindungi buku paket yang menurutnya sangat berharga. Gadis itu meringis menahan beban telapak kaki Danu yang makin ditekan.
Dito berdecih pelan, berbisik pada Rangga menyindir Oydis yang dianggapnya sok rajin. “Cih, anaknya sok rajin pula, buat apa coba ngelindungin buka paket sampai kayak gitu? Kayak orang nggak mampu aja.”
“Utututu ... lo buat anak orang nangis tuh, Nu,” sindir Rangga dengan wajah sok peduli pada Oydis.
Gadis itu seraya menatap penuh harap pada Rangga, tetapi hal itu tak bertahan lama. Kaki Danu berpindah tempat, berusaha menatap Oydis dengan hina. “Sorry, gua nggak sengaja.” Laki-laki itu menatap bersalah, tetapi tak hayal bibirnya juga ikut tertawa atas perbuatannya barusan.
Oydis berusaha beranjak sembari mengambil bukunya yang berserakan. Namun, bukunya direbut dengan kasar oleh Dito dan membuatnya harus melompat-lompat kecil untuk berusaha mengambil bukunya.
Ia hanya sebahu Dito. “Kalian mau apa, sih?” tanya Oydis dengan nada malasnya. Ia benar-benar sudah tak habis pikir dengan sikap mereka yang merendahkannya.
“Hahaha ... ini yang gua mau daritadi.” Danu tertawa cekikikan. “Lo tadi tanya gua mau apa, kan?” tanya Danu dengan angkuhnya, lalu salah satu tangannya menunjuk pundak Oydis, membuat gadis itu mundur-mundur hingga ujung dinding.
Dirinya terpojok, lalu membuatnya mendengkus. Gadis itu mengangguk-angguk perlahan, ia sudah malas meladeni geng berandalan itu sehingga mengiyakan saja kemauan mereka.
“Oh, good girl! Ngapain lo perjuangin Cuma satu buku gitu? Mending lo kabur sekarang kali,” ujar Dito tampak menggeleng-gelengkan kepalanya kasihan dengan senyum liciknya.
“Gua bisa beliin buku baru, lho … atau kamu mau harga diri lo gua beli juga,” tawar Rangga di sela tawanya. Mereka bertiga berasal dari keluarga yang berada dan sering berbuat semena-mena dengan uang orang tuanya.
“Gua nggak butuh tawaran lo. Cepet balikin buku gua dan bilang permintaan lo,” ketus Oydis menghembuskan napasnya panjang.
“Ya, udah. Kerjain tugas kita bertiga, besok harus selesai. Kalau nggak lo tau sendiri akibatnya,” ucap Danu dengan nada ditekan, matanya melotot menandakan pengancaman.
“Oke, fine!” Oydis mengambil buku tulis ketiga remaja lelaki itu yang sudah tertawa lepas, lalu melenggang pergi dengan wajah masamnya.
Perlakuan ketiga lelaki itu tentu saja meninggalkan bekas lebam di beberapa bagian tubuhnya. Tasnya ikut terkoyak dan membuat pekerjaan Oydis makin bertambah karena ulah mereka.
Dasar pembuat onar!
***
Ada sesak di dadanya saat jalannya kian mendekat ke arah pekarangan perumahan di mana ia tinggal. Gadis itu mengembuskan napasnya, bersiap-siap menghadapi omelan Gibran karena pulang telat, apalagi dengan kondisinya seperti ini.
Tatapannya tampak penuh kengerian dan tubuhnya sedikit merinding sekaligus menahan luka lebam yang ada di tubuhnya. Ia berdiri di depan rumah berwarna coklat susu, tempat dimana ia tinggal.
Oh, ya. Sejak kebangkrutan bisnis Gibran, keluarga mereka pindah ke tempat tinggal yang lebih minimalis guna menghemat biaya.
Dengan langkah perlahan disertai jantungnya yang berdegup kencang, gadis itu memasuki rumah dengan menundukkan kepalanya ketakutan. Ia mengembuskan napasnya lega, ketika tak mendapati Gibran di rumah.
Namun, langkahnya kembali tercekat ketika mendengar suara yang familiar di telinganya. Suara yang terdengar sedikit melengking, disusul dengan tepukan tangan yang terdengar menyindir.
“Well, ada yang pulang telat dengan tubuh penuh lebamnya, nih,” sindir remaja perempuan dengan lirikan tajamnya.
Yaps … dia kakak perempuan Oydis yang kini sudah menjadi mahasiswa semester tiga.
Seketika setelah mendengarnya, membuat Oydis mendongakkan kepalanya. “Ka-kak Nabila,” ucap Oydis terbata-bata. Sepertinya hari ini termasuk dalam list hari sial dalam kehidupannya.
“Ngapain kamu takut gitu? Kayak ketemu monster aja. Upss … gua lupa kalau lo termasuk salah satu spesies dari mereka.” Nabila tersenyum licik puas, meledek Oydis hingga membuat tubuh gadis itu gemetar.
“A-aku sa-salah apa sama Kakak? Sampai-sampai Kakak segitu bencinya sama aku?” tanya Oydis terbata-bata, mencoba mengalihkan pandangannya.
“Kayaknya kalau gua ucapin semua salah lo di dunia ini nggak bisa, terlalu banyak!” tegas Nabila mengelilingi tubuh Oydis yang tengah bergetar merinding. “Salah satunya, lo itu pembunuh!” hardik Nabila mendorong Oydis dengan kasar.
Setelah melihat Oydis meringis, Nabila langsung melenggang pergi ke kamarnya kembali. Sementara, Oydis masih meringis dan tanpa disadarinya, air mata mencelos dari mata indahnya yang menampakkan keunikan.
Hal yang sangat aneh, dan mendapatkan ledekan dari orang-orang terdekatnya. Namun, menjadi keunikan tersendiri baginya.
Kenapa harus aku yang merasakan ini semua? gumam Oydis mengusap air matanya.
Tak lama setelahnya, dia menghapus seluruh air mata dan kembali pada kamarnya yang penuh kesesakan itu. Dan, lagi-lagi dengan keadaan bertambahnya luka baru di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...