Bab 10: Tak Stabil

67 5 0
                                    

Gibran, suami sekaligus bapak dari anak-anak Aneisha menatap sendu ke arah Aneisha yang sedang tersedu menatap putrinya dalam kondisi lemah. Ia dengan sigap memindahkan putrinya ke genggaman perawat untuk dibawa kembali ke ruang bayi agar segera dimasukkan ke incubator.

            Telapak tangannya yang besar itu mulai dilambai-lambaikan di depan wajah Aneisha, tatapannya kosong. Hal itulah yang makin membuat khawatir dengan keadaan Istrinya.

“Bi … Hey, Bi!”

            Tak kunjung mendapatkan jawaban, Aneisha tetap berada pada lamunan. Tiba-tiba Nabila yang berbaring santai di sofa ikut mendekat ke arah tempat tidur memanggil mamanya. “Ma … Mama, kok, diem, aja? Mama nggak marah, kan, sama Nabila,” ucap Nabila tampak khawatir, panik juga takut.

            Nabila sedikit menguncang telapak tangan Aneisha, sementara telapak tangan Gibran mencangkup seluruh pipi Aneisha, menatapnya lekat.

            Mata Aneisha terasa benar-benar berat, tiba-tiba saturasi oksigen dalam tubuhnya menurun drastis. Perlahan, Aneisha mulai memejamkan matanya perlahan. Aneisha mulai kehilangan kesadaran.

            Gibran benar-benar panik, berusaha memangil-mangil Aneisha yang sudah terpejam matanya dengan saturasi oksigen yang minim. Dengan spontan, jarinya memencet tombol darurat di sebelah tempat tidur untuk memangil perawat maupun dokter yang berada di dekatnya.

            “Bi! Bi, please dengerin aku! Hey, Bi! Bi, sadar!”

            Dokter dan perawat yang baru masuk langsung mengecek kondisi Aneisha.

“Pasien pendarahan!” seru lelaki berjubah putih yang seketika membuat dada Gibran sesak.

            “Tambahkan infus darah agar pasien tak kekurangan darah!” pinta lelaki yang juga para medis. Beberapa petugas lainnya sibuk berkutat melakukan tindakan untuk menolong Aneisha.

            Seketika suhu ruangan menjadi dingin, menusuk dan mencekam. Aneisha perlahan mulai memejamkan mata, tak memberikan respon apa pun terhadap panggilan dari Gibran maupun petugas medis.

            “Jangan biarkan pasien tertidur! Kesadarannya akan susah kembali!” Perintah kepala dokter tersebut dengan suara yang lantang, suaranya terdengar sedang beradu dengan suara cardiografi yang tak stabil.

            “Hey, Bi! Dengerin aku! Aku selalu sayang sama kamu apa pun yang terjadi. Jangan pernah merasa kalau aku nggak sayang kamu sedetik pun! Aku tahu kamu pasti bisa melewatinya, aku masih belum siap kalau harus kehilangan kamu. Lihat Nabila dan Oydis! Dia masih butuh sosok mama!”

 Gibran berbicara dengan tersedu-sedu. Melihat Aneisha yang terkulai lemah terasa lebih menyakitkan daripada apa pun.

***

            Kegelapan menyelimuti pandangan Aneisha, tubuhnya kaku dan berat. Telinganya sayup-sayup masih dapat mendengarkan suara Gibran yang terisak tangis, tetapi dirinya tak bisa menjawabnya.

            Matanya sudah menutup sempurna kala itu, ia tampak kebingungan dengan panggilan yang terus di dengarnya, tetapi dirinya tak bisa membalasnya.

            Gibran … dia menangis? A-aku kenapa? Kenapa semuanya menangis? Kenapa semuanya terasa berat? Aku ingin memejamkan mata sejenak. Kumohon, aku sangat lelah!

            Tak lama kemudian, Aneisha benar-benar memejamkan matanya sempurna. Membuat suasana ruangan makin menegangkan.

            “Wake up, Bi! Aku masih membutuhkanmu!”

            Dokter dan perawat semakin fokus karena pendarahan yang dialami olehnya makin parah dan susah untuk ditahan. Darahnya terlalu deras.

            Gibran histeris, ia menangis sejadi-jadinya setelah melihatnya, suaranya terdengar lirih, sembari masih memeluk tubuh Aneisha yang sudah lemas.

            Keadaan begitu kacau, tiba-tiba monitor tak menunjukan gelombangnya kembali. Detak jantung Aneisha berhenti berdetak.

            Tttuuuttt ...

            Suara melengking datar memenuhi seisi ruangan diiringi oleh isak tangis Gibran. Nabila hanya bisa terdiam, wajahnya tampak kebingungan karena tak mengerti apa yang terjadi pada saat ini.

            Ruangan dipenuhi suara isakan tangis Gibran yang masih memeluk erat tubuh Aneisha, perlahan selimut mulai menutupi tubuh Aneisha dan makin membuat Gibran tersedu-sedu.

Dokter dan perawat turut mengucapkan berbela sungkawa. Mereka membiarkan ayah dan anak bersama beberapa saat sembari menunggu untuk memastikan kepergian Aneisha.

            “Bi, I need you! Kenapa kamu pergi secepat ini?”

            Nabila ikut merasakan hawa sedih di tempat tersebut hingga gadis itu mencoba memeluk tubuh Gibran yang tengah gemetar. Suasana begitu menyesakkan dada bagi keduanya.

            Pandangan gelap tersemat menutupi keterangan yang ada di sekitarnya. Ia sudah tak dapat bergerak dan hanya bisa merelakan semuanya.

            Good bye, Gibran! Kamu harus bisa jaga anak-anak, ya. Waktuku sudah selesai!

***

            Kepergian Aneisha membuat semua orang bersedih, terutama Gibran. Lelaki itu terus-terusan menyalahkan Oydis karena kepergiaan Aneisha. Semua orang terpukul.

            Sepanjang minggu, Nabila terus menanya-nanyakan kemana Aneisha pergi. Gadis cilik itu belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

            “Pa ….” Nabila mendangak menatap ke arah Gibran dengan penuh harap. Berharap kali ini pertanyaannya mendapatkan jawaban dari papanya.

            “Iya, kenapa Nab-Nab?” tanya Gibran menunduk, matanya masih memerah dan sembab. Sepanjang malam selalu ia habiskan dengan menangis karena terlalu merindukan Aneisha.

            “Mama ke mana, Pa?” tanya Nabila dengan wajah penuh tanya. Dahinya tampak mengernyit.

            Gibran tak langsung menjawabnya. Lelaki paruh baya itu terdiam beberapa saat, mencari alasan yang tepat untuk mengatakannya pada Nabila. Ia tak siap jika harus memberitahunya sekarang.

            Dengan berat, ia mulai menelan salivanya dan menatap lekat Nabila. Wajahnya yang sebelas dua belas dengan Aneisha, membuatnya terus menerus mengingat wanita yang selalu ia cintai hingga detik ini sekalipun.

“Mama lagi pergi ke luar kota sayang, ada urusan kerjaan yang harus dia selesain.” Gibran mengalihkan pandangannya setelah perkataan tersebut berhasil ia lontarkan.

            “Kenapa Nab-Nab nggak di ajak kalau gitu, Pa?” tanya Nabila menatap penuh selidik ke arah Gibran.

            Gibran mengembuskan napasnya. Mendadak suaranya terdengar begitu lembut sembari mengusap-usap  pucuk kepala Nabila. “Soalnya Nab-Nab masih kecil, anak kecil nggak boleh ikutan urusan orang dewasa.” Lelaki paruh baya itu tersenyum, ia tak mungkin membuat gadis yang masih polos turut ambil bagian dalam kesedihannya. Setidaknya kebahagiaan Nabila, sangat penting baginya.

 

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang