Bab 18: Ketika Semesta Iri

33 3 0
                                    

Canda dan tawa sekelompok orang membuat kelas itu terasa hidup. Terhitung sudah setengah jam, mereka berkelut dengan pembicaraan yang penting tak penting. Dengan asyiknya, mereka saling berbincang, tanpa menyadari sosok gadis bertubuh gempal yang tengah menggambar lelaki yang menjadi idolanya.

            Jari-jemari gempalnya mulai menggores tipis secarik kertas membuat sketsa lelaki di lapangan basket tersebut, dan merekam seluruhnya dengan tatapan matanya. Mengingat setiap sisi dari wajahnya hingga terbentuk rapi menjadi gambar yang indah.

            Oydis tersenyum, memandang terus menerus hasil gambarnya yang tampak indah. Seingatnya, nama lelaki tersebut adalah Darren. Ia sadar diri, bahwa gadis malang sepertinya tak mungkin bersanding dengan Darren. Namun, tak ada salahnya berharap, kan. Setidaknya harapan membuatnya tenang, dan melupakan rasa pahit yang haru ditelaahnya setiap hari.

            Gadis itu memandang lekat gambarannya, senyum mengembang di wajahya, dan menampakkan lesung pipit yang sangan indah. Namun, lagi-lagi kebahagiaannya tak dapat bertahan lama.

            Sekelompok kakak kelas perempuan langsung menjadi pusat perhatian, dan dikerumuni oleh beberapa orang. Mereka termasuk golongan kakel-kakel hits di SMA PelTi.

            Dengan wajah garangnya, mereka memasuki ruangan kelas Oydis, dan tak lupa menatap tajam ke arah gadis bertubuh gempal tersebut.

            “Denger-denger, ada adek kelas yang ke-la-ian di kelas ini, jadi pengen tahu kita,” sindir Davira berdecih di depan ambang pintu.

            “Iya nih, kayaknya seru, deh. Kalau kenalan sama dia,” timpal Mary melirik tajam pada Oydis yang tengah mengalihkan pandangannya.

            “Duh, jadi penasaran, deh! Kok bisa si cacat itu masuk ke sekolah hitz kayak gini. Upps … apa jangan-jangan dia nyogok buat masuk ke sini,” sahut Rini menutup bibirnya dengan telapak tangannya, ala-ala sok ngemes!

            “Duh, buka mata lo Rini! Yakali, pakaian lusuh, dan tasnya aja udah robek-robek gitu. Masa kalau punya duit buat nyogok sekolah, mendingan juga buat beli baju sama tas baru kali,” ucap Davira menggeleng kepalanya heran.

            “Brakk!!”

            Meja di depan Oydis seketika langsung berguncang karena digebrak oleh Davira. Ia terkekeh, dan menggelengkan kepalanya. “Hahahaha, lagi ngambar apa cantik?” tanya Davira di sela tawanya.

            Oydis melemparkan pandangannya, tak berani menatap mereka, dan berusaha mengabaikan mereka. Jujur saja, ia malas berurusan dengan kakak kelas sok jago kayak mereka. Ia menunduk menatap ubin-ubin lantai berwarna putih dengan sedikit corak keemasan.

            “Eh, Vir, lihat, deh! Masa ada tulisan nama Darren,” ujar Mary merebut kasar kertas di tangan Oydis.

            “Lo ngarep sama Darren ya. Gak usah kebanyak ngarep, deh! Apa perlu gua beliin kaca biar lo sadar kalau tampang lo itu kayak monster?” kelakar Rini mengepalkan tangannya sekaligus mengendikan bahunya.

            “Ih, Rini! Jangan kasar-kasar, deh! Nanti lo disatengin malem-malem gak tahu lo,” ujar Davira dengan raut wajah bersalah. Namun, ekspresinya tak dapat dibohongi. Tak lama kemudian, bibirnya ikut melengkuk, dan menunjukan giginya mentertawakan ekspresi ketakutan Oydis.

            “Darren, sini-sini!” panggil Davira dengan sok genit, dirinya memang sudah lama memendam rasa pada lelaki berparas menawan itu. Namun, gengsi membuatnya tak mau mengakui, dan malah menganggap Darren sebagai teman.

            Suara riuh, dan ricuh kembali terdengar di lorong sekolah. Derapan kaki menyusul keramaian, dan menampakkan seorang lelaki gagah, berparas menawan yang sudah dikerubungi oleh para kaum hawa yang terpesona oleh parasnya yang hampir sebelas dua belas dengan idol.

            “Apa Vir?” tanya Darren menaikkan salah satu alisnya. Pakaiannya masih tampak basah hingga menampakkan dada bidangnya yang makin membuat kaum hawa meleleh melihatnya.

            “Ini ada monster yang ngarep bisa sama lo,” sahutnya dengan melirik tajam tak suka pada gadis malang tersebut. Ia tak ingin ada perempuan lain yang dapat bersanding dengan Darren kecuali dirinya.

            “Hahaha, jangan bercanda, deh! Vir-vir, kondisi kek gini lo masih bisa bercanda.” Darren tampak heran, dirinya berdecak sembari mentertawakan rupa Oydis yang sudah gemetar, menutupi matanya yang selalu menjadi bahan ejekan.

            Rini meremas kertas gambaran tersebut, lalu melemparnya ke tong sampah dari kejauhan. Hati Oydis sakit, dirinya berusaha menahan semua lara yang seketika kembali tumbuh, padahal luka tersebut baru saja berusaha dilupakan olehnya.

            Mereka semua tertawa cekikikan di depan Oydis, kemudian pergelangan tangan Mary menyilang menuju leher Oydis, dan mengangkatnya sambil mengatupkan ujung bibirnya. “Kamu berani main-main sama kita, lihat aja! Lo bakalan abis,” ucap Mary dengan tawa licik, dan tawa menyeringai.

            Tubuhnya serasa membeku, dan menatap mereka dengan tubuh gemetarnya. Telapak tangannya tampak memukul-mukul pergelangan tangan Mary agar melepaskan cekikan tersebut. Napasnya terasa tercekat, dan membuat tubuhnya melemas. Gadis itu benar-benar tak mengeti lagi bagaimana nasibnya kedepan, dia hanya berpasrah karena amukan alam yang tak suka melihatnya sedikit melupakan luka.

            “Menjijikan, bisa-bisanya orang kayak lo dikasik napas,” cibir Davira tampak jijk, dia berjalan mundur. Menjauh dari Oydis yang sudah lemas karena masih dicekik oleh Mary, seolah menganggap gadis itu kuman yang harus dijauhi.

            “Lepasin!” titah Oydis memohon dengan suara rintihnya, oksigen yang menyalur pada tubuhnya seraya dihambat oleh cekikikan yang makin mengeras di sela tawa beberapa orang di sana.

            Beberapa orang yang awalnya hanya mengabaikan kejadian tersebut, memutuskan untuk memandang ke arah Oydis yang sudah dicengkram oleh Mary. Disana, ia mendapatkan berbagai jenis tatapan mulai dari kasihan, sedih, jijik, dan najis dari orang-orang. Apakah penyiksaan untuknya hanya dianggap bercandaan oleh orang lain? Ah … gadis itu sudah tak dapat memikirkannya di tengah tubuh ringkihnya makin melemas.

            Gadis itu tersenyum miring, dengan kasar ia melepaskan cengkraman serta cekikan itu yang membuat Oydis terbentur dengan tembok, dan pantatnya membentur kursi dengan keras. Mereka pergi tak lama dari itu. Namun, Oydis masih meringis kesakitan akibat ulah mereka.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang