Suasana terasa tenang di kamar mandi diiringi oleh suara air yang telinga relax. Kamar mandi disana terbilang bagus, dan lebih layak daripada kamar mandi SMP-nya. Oydis tersenyum tipis, mengira hanya dirinya sendiri yang ada di kamar mandi yang cukup besar.
Gadis itu keluar dari bilik kamar mandi, membasuh tangan sampai bersih hingga celah-celah jarinya diperhatikan kebersihannya, lalu membasuh wajahnya yang matanya sudah sayup-sayup karena kurang beristrirahat. Memandang dirinya dalam pantulan kaca, terkadang membuatnya tersenyum, tetapi seringkali membuatnya merasa tak berguna. Bagaimana tidak? Mentalnya sedari kecil dihancurkan, dan dipenuhi oleh cacian yang membuatnya susah untuk bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
Ia menghembuskan napasnya sebelum kembali berkutat dengann jejeran angka, dan rumus yang membuat pening kepala. Namun, dahinya mengernyit seketika melihat pintu kamar mandi tampak tertutup. Telapak tangannya berusaha membuka pintu kamar mandi tersebut, tetapi bukan malah terbuka malah terdengar ceklikan kunci yang dilemparkan seseorang dari luar kamar mandi.
“Tolongg!!” teriaknya berusa menggedor-gedor pintu.
Telinganya mendengar cekikikan dari luar kamar mandi, tetapi gadis itu belum yakin dengan apa yang didengarnya. Ia mendekatkan daun telinganya pada pintu, dan suara cekikan tersebut makin terdengar jelas di telinganya.
“Hahahaha, akhirnya tau rasa tuh, adik kelas monster,” sinis Mary menyeringai, wajahnya tampak licik, dan sedikit ahura menyeramkan menguar dari dalam dirinya.
“Gila, bangga banget punya sohib macem lo, Mer,” sahut Rini mengepalkan tangan ke telapak tangan Mary dengan bangganya.
“Rasain aja tuh, monster. Buat apa kegatelan gambar-gambarin wajah Darren di kertas? Iya, kalau gambaran dia bagus. Masalahnya gambaran dia bikin wajah tampen Darren yang ganteng itu jadi burik tau gak?” cibir Davira kesal, memutarkan bola matanya sembari mendengkus.
Seketika Oydis kaget, mendengar seluruh perbincangan mereka, dan suara yang terdengar sangat familiar. Ia seperti baru saja mendengar suara itu tadi pagi. “Siapa, sih, mereka?” batinnya bertanya-tanya sambil berusaha mengenali suara tersebut.
Semenit, dua menit, bahkan sepuluh menit sekalipun, gadis itu tak kunjung memikirkan siapa sosok yang menguncinya di kamar mandi, bahkan sekumpulan orang yang menimbulkan keramaian di luar pintu. Ia bolak-balik mencari cara keluar dari bilik tersebut sembari mencari tahu siapa dalang di balik ini semua.
Ia mencoba memanjat dudukan toilet, mengintip-intip dari sela-sela ventilasi. Berteriak meminta tolong, tetapi apa daya tak ada yang merespon teriakannya, dan makin membuatnya putus asa.
Semua itu makin membuat lemas, berpikir keras benar-benar membuatnya menguras tenaga, ditambah dirinya benar-benar kelaparan karena sudah lama berada pada ruang pengap, dan bau tak sedap yang menguar di setiap sisinya. Terhitung sudah hampir satu jam, gadis itu kebingungan mencari pertolongan agar dapat keluar dari ruangan pengap tersebut.
Gadis itu bersimpuh pada lantai kamar mandi yang kotor, berharap ada keajaiban terjadi padanya. Tubuh ringkihnya itu makin membuatnya lemas, dan gak tahan pada situasi ini. Pandangannya tiba-tiba menggelap, membuatnya mengira ini adalah waktu yang tepat untuk pergi dari dunia yang benar-benar kejam, dan tak adil buatnya.
“Apa ini sudah waktunya?” tanya Oydis pada dirinya sendiri, matanya benar-benar terasa berat, lalu tubuhnya tampak sudah tergelatak pada ubin dingin, dan kotor kamar mandi.
**
Sementara itu, Bu Revi tampak kebingungan, menatap kursi Oydis yang masih mengajar, bahkan di jam pelajaran yang sebentar lagi mau berakhir. Perempuan paruh baya itu menghembuskan napasnya panjang, malas menghadapi kelas yang benar-benar tak mempedulikan keberadaannya.
Mereka seraya menganggap jam pelajaran Bu Revi adalah penghantar tidur sehingga mereka semua tampak terlelap.
“Dimana ya Oydis? Perasaan tadi dia cuma ijin cuci muka aja, deh, tapi kok cuci muka hampir satu jam sendiri,” gumam Bu Revi bertanya-bertanya, sesekali memiringkan kepalanya kebingungan.
Bel pergantian pelajaran belum berdering, tetapi entah kenapa Bu Revi sudah mengemasi barangnya, dan beranjak dari meja guru tersebut. Tentu saja, hal itu disambut kebahagiaan oleh murid-murid sekelas yang malas mendengarkan Bu Revi mendongeng.
Ada rasa sesak di setiap langkahnya, feeling-nya terasa tak enak sehingga Bu Revi memutuskan untuk menghampiri kamar mandi murid terlebih dahulu sebelum masuk kembali ke ruang guru, dan berkutat memeriksa tugas yang diberikannya minggu lalu pada murid-murid. “Oydis-oydis!” panggilnya dari lorong di dekat kamar mandi, suara tersebut terdengar menggema di lorong, dan mendapatkan beberapa lirikan dari kelas-kelas yang berada di dekat sana.
Namun, panggilan tersebut tak kunjung menuai jawaban. Merasa diacuhkan, Bu Revi memperlebar langkahnya, dan menajamkan matanya. Pandangannya sedikit kabur, mengingat guru tersebut lupa menggunakan kacamata cembung miliknya.
Setelah jaraknya dengan kamar mandi tersebut tak terlalu jauh, dahinya mengernyit, melihat kertas yang ditempelkan pada pintu kamar mandi.
“Toilet lantai 3 Rusak! Mohon ke toilet lantai 2 saja!”
Bu Revi membaca sederet perintah itu dengan memicingkan matanya, ia heran karena selama beberapa tahun ia mengajar disana, tak pernah ada pembetulan toilet selama jam sekolah. Ia menghebuskan napasnya, lalu berbalik badan mengabaikan rasa khawatirnya terhadap gadis bertubuh gempal tersebut, dan mengambil langkah ringan menuju ruang guru.
**
Sekumpulan remaja perempuan sedang cekikikan di bawah pohon yang rindang, bersembunyi dari terik matahari yang sudah tepat di tengah mereka. Mereka berteduh disana, membicarakan topik-topik perbincangan yang sangat hot pagi ini di Sekolah PelTi hari ini sembari membahas adik-adik kelas culun mereka yang menjadi hiburan bagi mereka saat menganggunya. Biasa kakak kelas gak punya kerjaan, jadi urusin hidupnya orang aja. Padahal kan ada hal penting yang bisa dibahas lainnya misalnya pemanasan global.
Sementara itu, tampak sekumpulan remaja laki-laki sedang bercanda ria, mengabaikan sengatan matahari yang membuat keringat mereka hampir sebiji jagung. Terhitung setengah jam, mereka dengan lihai memperebutkan bola yang dipantulkan. Menjadi tontonan bagi sekelompok perempuan yang sedang berteduh sekaligus menemani perbincangan mereka di siang ini.
“Eh, guys-guyskalian tau gak?” tanya Rini mencoba mengambil atensi di antara sekelompok perempuan tersebut. Seketika Rini langsung menjadi pusat perhatian di antara sekelompok remaja perempuan tersebut.
“Rin, gua congor pala lo lama-lama. Ya, kita kagak tau lah, lo aja belum ngomong, lo nyuruh kita baca pikiran lo atau gimana, sih?” ketus Mary memangkukan kedua tangannya di dada dengan gaya angkuhnya. Sorot matanya tiba-tiba berubah menajam gak suka.
“Dih, serem lo. Itu tadi si monster dicariin Bu Revi, tapi untung aja kedok kita gak ketahuan jadi si monster belum bebas dari sana,” ucap Rini dengan suara yang lirih, memastikan hanya sekelompok itu saja yang mendengarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...