Bab 16: Kebenaran yang Diacuhkan

35 3 0
                                    

            Matahari tampak menurun, diikuti oleh beberapa kepala yang ikut menunduk kelelahan. Semua sudah lelah menghadapi masalah, dan rutinitas sehariannya. Energi mereka semua sudah terkuras diikuti oleh riuh perut yang sudah berkerucuk meminta diberi konsumsi.

            Kamar yang sepi itu tampak disibukkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Oydis. Tubuhnya sangat lelah, tetapi dia belum mengerjakan tugas dari ketiga pembully yang membuat sekujur tubuhnya lebam hari ini.

            Kesibukan membuatnya belum mengambil makanan di bawah untuk mengisi perutnya. Untung saja, di kamarnya tampak beberapa snack yang disembunyikannya untuk makan di kala sibuk melanda.

            Jari-jemarinya tampak memperlihatkan remah-remahan kue yang tak lama langsung mendarat pada mulut Oydis diiringi oleh suara kecapannya di tengah kesunyian tersebut. Perutnya akhirnya sedikit terisi, membuatnya kembali fokus pada pekerjaan yang belum di kerjakan olehnya.

            “Enak ya, kue ini,” ujar Oydis tampak semringah menikmati cookies berbungkus merah.

            Setelah sebungkus kue ia habiskan, ia menepuk-nepukan tangannya, memastikan tak ada remahan yang menempel pada telapak tangannya.

            “Oke, Oydis, fokus!” gumamnya dengan kedua telunjuk melekat pada kepalanya, berusaha berpikir jernih untuk mengerjakan tugas yang seharusnya bukan tanggung jawabnya.

            “Tanggung jawabku memang berat, tetapi mengerjakan sesuatu yang bukan tanggung jawabku akan membuatku malas untuk mengerjakannya.” - Oydis Arisha Lamont

            Tangan gempalnya mulai memutar-mutarkan pena di antara jari-jemarinya, mengembuskan napasnya panjang, memperbaiki mood-nya yang telah tercabik-cabik. Semua tak suka melihatnya, hidup dalam kondisi ini hanyalah membuat Oydis tertekan.

            Tangan gempalnya mulai mencoretkan beberapa jawaban pada buku catatan dengan lihainya. Tugas Oydis sama dengan mereka, jadi gadis itu tinggal menyalin saja pekerjaannya. Ia terus berkutat pada pena dan buku catatan cukup lama.

***

            Malam ini tampak berbeda, Nabila tampak begitu semangat menunggu jam makan malam tiba dimana ia bisa berbincang leluasa dengan papanya. Rencana licik yang sedari tadi terputar di otaknya, membuatnya sangat bersemangat menguak kebenaran sekaligus membalaskan dendamnya pada Oydis.

            Singkat saja, ia ingin membuat Oydis merasakan penyiksaan karena kelahirannya mendatangkan malapetaka dimana membuatnya harus memisahkan keluarga yang benar-benar hangat. Remaja perempuan yang kini berusia dua puluh tahun, langsung memakan makanan tersebut dengan lahapnya.

            “Nab, tumben banget kamu makannya cepet, biasanya, kan kalau kamu makan dinikmati banget,” ucap Gibran mengernyitkan dahinya terheran-heran.

            Senyum Nabila kian melebar, akhirnya Gibran merespon, menyadari perubahan yang ada di dirinya. Sepertinya kali ini adalah waktu yang tepat untuk menguak dan melakukan rencana liciknya.

            “Nab-Nab, tadi nemuin sesuatu tau, Pa. Papa mau tau nggak?” Mata Nabila terpejam sekilas karena senyuman lebarnya, tak lama setelahnya sorot matanya tampak penuh harap pada Gibran.

            “Wah, sayangnya Papa nemuin apaan ini? Papa jadi penasaran, deh.” Gibran berbicara dengan lembut, lalu menatap lekat wajah Nabila yang sudah bersemangat.  

            Nabila menghela napasnya sejenak, menatap wajah penuh tanya dari Gibran dengan ekspresi liciknya. “Papa tau si anak sial itu? Dia baru aja masuk sekolah udah tengkar aja, mana tubuhnya banyak lebam lagi.”

            Ekspresi Gibran tampak penuh emosi, tetapi dia lebih berterima kasih karena Nabila memberitahunya terlebih dahulu dan mendekap penuh sayang pada Nabila.            

Sementara … ekspresi gadis itu tengah sumringah dan ingin mengintip apa yang akan dialami oleh Oydis selanjutnya.

            Ada rasa marah di hati Gibran mendengarkan cerita Nabila tadi, semakin membuatnya membenci anak yang dianggapnya pembawa sial.

            Langkah lebar Gibran berhenti tepat pada kamar Oydis. Membuka kasar pintu yang telah lapuk itu, melihat wajah Oydis yang tampak kebingungan menatapnya sembari belajar pada meja kayu.

            Plak!

            Hawa panas menjalar di kedua pipi Oydis, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Oydis merasakan amukan Gibran yang sedang memuncak. Namun, rasa takutnya membuatnya gemetar hingga akhirnya memutuskan untuk diam menerima itu semua.

            Sementara itu, pada ujung kamar Oydis, tampak seseorang remaja perempuan yang sedang tersenyum licik menatap gadis yang sedang tersiksa dengan memakan snack keju berekstrudat. Menikmati pemandangan jeritan Oydis ketika mendapatkan amukan dari Gibran.

            Nikmati itu anak pembawa sial! Rasain gara-gara lo, mama gua meninggal. Batin Nabila menyeringai, lalu kembali menyantap snack.

Makin keras gadis itu merintih, makin puas dia meluapkan emosinya karena malas melihat gadis bertubuh gempal itu bernapas.

            Lelaki paruh baya itu memukul Oydis tanpa henti, membuat gadis berbadan gempal itu merintih kesakitan dan matanya sudah berlinang air mata.

            “Ampun Pa. Aku salah apa, Pa?” tanya Oydis kebingungan sembari bersujud meminta tolong dengan isakan tangisnya.

            “Kamu ini, ya, udah tau salah masih nggak mau ngaku!” hardik Gibran menghempaskan telapak tangan Oydis yang memegang pergelangan kakinya dengan tubuh gemetar.

            “A-aku sa-salah apa, Pa?” ucap Oydis terbata-bata sambil terus mencoba merengkuh pergelangan kaki Gibran tanpa mementingkan tubuhnya yang penuh lebam.

            Gibran tersenyum sinis, lalu berdecih pelan. Ia heran dengan si anak pembawa sial yang tak kunjung sadar akan kesalahannya. “Memang dia yang nggak peka, nggak sadar atau gimana, sih? Heran banget.”

            “Udah tahu salah masih nggak sadar, memang nggak tahu diuntung, ya, kamu!” ujar Gibran menunduk, menunjuk dahi Oydis dengan kasar hingga membuat tubuh gadis itu mundur menatap kaki kursi.

            “Papa boleh hukum aku, tapi jelasin aku salah di mana? Aku juga anak Papa, seharusnya Papa bombing aku kalau aku salah. Aku ini anakmu, Pa.” Oydis langsung melepaskan pelukan, berbicara di tengah sesegukannya.

Ia sudah tak peduli dengan apa yang harus diterimanya setelah ini, yang terpenting baginya adalah merasakan pelukan seorang papa yang tak pernah dia rasakan sedari dulu.

            Gibran terkejut dengan perlakuan Oydis, lelaki bertubuh kekar itu berusaha melawan. Namun, semakin dia berusaha melawan, mengempaskan pelukan dari gadis tersebut, makin erat juga gadis itu melepaskan pelukan dengan tubuh gemetarnya.

            Lelaki paruh baya itu terdiam sejenak, kemudian kembali melawan sepenuh tenaga membuat tubuh Oydis tersungkur dengan lemasnya. Menatap Oydis sekilas, lalu membuang muka karena tak ingin ada rasa iba yang mengagalkan rencananya kembali.

            “Baru masuk sekolah udah sok jago, ya, kamu!” gertak Gibran dengan mengembuskan napasnya kasar tak suka, penuh benci hingga semua rasa benci itu menjalar dari tatapannya.

            “Aku nggak sok jago, Pa!” seru Oydis berusaha membantah, berusaha menjelaskan seluruh kejadian. Gadis itu berusaha mengerahkan seluruh tenaganya untuk membela diri dengan suaranya yang kian melemah dan tubuh ringkih tak berdaya.

            Namun, semua yang dilakukannya percuma. Gibran hanya bersikap acuh dan menganggap pembelaan Oydis hanya angin lalu semata.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang