Brakk!
Bantingan pintu keras terdengar diiringi oleh isakan tangis seorang gadis yang terpojok dengan tubuh ringkihnya yang benar-benar penuh luka pada sekujur badannya. Duduk bersimpuh pada ubin lantai yang dingin dan tak memiliki siapa pun untuk bersandar.
Kamarnya yang lapuk itu menjadi berantakan, beberapa barang di kamarnya menjadi korban amukan Gibran sebelumnya. Tangisnya semakin pecah ketika mengigit bibirnya, dan seluruh kejadian barusan bersatu dengan luka-luka sebelumnya menjadi film panjang yang entah kapan berakhirnya.
Dia tahu, semua ini adalah ulah Nabila yang benar-benar membencinya, bahkan jika ada kata lebih dari benci itu akan lebih tepat untuk posisinya saat ini. Disusul dengan amukan Papanya yang masuk ke kamar dengan wajah member, emosi yang memuncak, dan memancarkan tatapan tajam seraya belati yang siap kapan saja menikamnya.
Ia seperti boneka yang tak bisa memilih keputusannya sendiri, selalu diatur-atur, dan menunggu saatnya tiba agar dapat dipanggil menemui sang Kuasa. Lebih tepatnya, gadis itu hanya menunggu waktu untuk segera dipanggil. Harapannya ia segera dipanggil agar tak terus merasakan luka yang sama di setiap waktu. Singkat saja, dia lelah.
Ia ingat betul bagaimana orang-orang memperlakukan dirinya saat menatap sinar dunia dengan buruknya. Gadis itu hadir ke dunia dengan berbagai penolakan dari orang-orang di sekitarnya, dan harus bertahan sebagai penikmat luka.
Dulu, ia pernah meradakan kebahagiaan yang semu, dan bertahan tak lebih dari sehari. Senyum dari orang tuanya yang terpampang jelas pada ingatannya, mungkin waktu itu dia belum dapat menyatakan sesuatu, tetapi hati kecilnya merekam setiap kebahagiaan yang dia terima dalam waktu yang benar-benar singkat.
Namun, semesta seakan iri melihat gadis itu tersenyum, dan merasakan yang namanya kebahagiaan kecil tersebut sehingga Kepergian Mamanya seraya mengubah tatapan orang-orang padanya menjadi penuh benci, najis, dan tak layak hidup.
Oydis berjalan ke kasur dengan langkah gontai, menyeret kakinya yang sakit, dan memeluk guling dengan erat. Menangis hingga spreinya basah karena air matanya yang tak berhenti mengalir karena terlalu terisak oleh rasa yang selalu dirasakannya.
Ada rasa sesak di sana, melihat sekujur tubuhnya yang sudah lebam, penuh luka dengan matanya yang sembab. Air matanya pun hingga enggan keluar, dan terisak dengan merasakan napasnya yang tercekat.
**
Matahari tampak malu-malu menampak dirinya pada cakrawala sehingga yang terasa adalah pagi yang sejuk. Rasa mengigil dirasakan oleh Oydis yang sudah lelah terbaring di tempat tidurnya sejak kejadian semalam. Tubuhnya terasa lemas, bahkan suaranya serak-serak hampir menghilang.
Oydis hanya menunduk melewati lorong kelas yang tampak sudah diramaikan oleh para siswa. Mereka semua membahas semua hal menunggu waktu bel sekolah berdering untuk memasuki kelas.
Lihatlah, hanya gadis bertubuh gempal itu yang jalan sendirian. Menikmati setiap luka dengan khitmatnya sembari mendapatkan sorot aneh dari beberapa orang yang tengah berkumpul. Bagaimana tidak? Mereka semua sudah mengetahui rumor-rumor keluarganya yang makin membuatnya tenggelam dalam bisikan-bisikan yang menyebabkannya mengingat kebencian yang didapatkannya sedari dulu.
Namun, melihat pakaiannya yang lusuh, penuh lebam, dan tak terurus sudah dapat membuat orang-orang di sekitarnya menyipulkan, bahwa gadis itu adalah gadis yang tak diharapkan, tak terurus, dan korban emosi dari orang tuanya. Ah … bukan hanya orang tuanya, tetapi keluarganya ikut ambil bagian dalam itu.
Oydis menatap kosong ke arah lapangan sekolah yang sudah ramai dengan beberapa laki-laki bertubuh bagus yag tengah berebut bola berwarna oranye.
Namun, dirinya tersentak ketika ada tiga laki-laki yang memukul pundaknya dengan kasar, dan memangilnya dengan wajah garangnya. Bibir mereka mengatup ke bawah, dan sedikit berdecih meremehkan keberadaan Oydis yang seraya ada, dan tiada.
“Dateng juga nih anak pembawa sial, mana PR kemarin?” tanya Danu dengan menahan kaki gadis itu agar tak kabut dari hadapannya.
Oydis membalikkan badannya, mengenali wajah-wajah yang menjadi asal muasal kejadian menyeramkan kemarin. Ia mengambil tiga buku tulis dari ransel lusuhnya, lalu memberikannya kepada mereka.
“Nah, gini kan enak. Coba dari kemaren kamu gak ngelawan, gak jadi lebam kan tubuhmu,” ujar Rangga meregangkan jari-jemarinya hingga berbunyi dengan nada mengancam.
“Mangkannya kalau cupu itu, gak usah sok ngelawan, deh! Per-cu-ma!” sanggah Dito dengan menekan perkataanya berdecih.
Ketiga berandalan itu pergi, kemudian Oydis mengepalkan tangannya yang terasa perih itu untuk meluapkan emosinya. Gadis itu tak dapat meluapkan emosinya dengan baik karena selalu menjadi objek pelampiasan dari orang-orang terdekatnya.
Ia meringis menahan lara di tangannya. Baginya, itu semua tak lebih sakit daripada sakit yang harus diterimanya secara bertubi semasa hidupnya. Setelah selesai meluapkan emosinya, ia mulai menghela napasnya panjang, dan terus berpikir semua akan baik-baik saja.
“Kupikir semua akan baik-baik saja ketika aku telah menghela napas, dan memejamkan mataku. Namun, ternyata hidup tak semudah hanya sandiwara yang diatur oleh sutradara agar berakhir bahagia. Hidup tetap berjalan walau dirasa sangat sulit.”-Oydis Arisha Lamont-
Dirinya kembali jalan ke kelas, tak ingin menatap sekelilingnya yang sudah memandangnya menjijikan. Menjauhinya seperti dia adalah virus. Ia termenung di kelas, berusaha menyobek halaman tengah buku tulisnya, lalu menggambarkan sesuatu di sana.
Gadis itu mengambar sosok lelaki tampan yang sempat mengambil alih perhatiannya sejenak sebelum dia dikerumuni oleh tiga berandalan. Lelaki itu juga mendapatkan sorak-sorai yang tak kalah meriah dari perempuan-perempuan yang menunggunya. Bedanya mereka berparas cantik, dan tak memiliki kelainan seperti Oydis.
Memikirkan hal yang tak penting seperti ini, makin membuatnya minder akan kekurangan. Ia kembali menghembuskan napasnya, membuang aura-aura negatif pada tubuhnya guna memulai menggambar pada secarik kertas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...