Bab 7: Membaca Tanda-tanda

38 5 0
                                    

Suasana café yang semula ramai menjadi sedikit hening, hanya terdengar suara alat makan yang saling beradu. Aurora makin penasaran setelah mendapatkan tatapan dingin dari Aneisha beberapa menit lalu. Ia belum berkata sama sekali.

            Sorot matanya menjadi serius dan sedikit mengernyitkan dahinya penuh tanya, “Iya-iya maapin, gua serius, deh. Lo mau cerita apa?” tanya Aurora sedikit memiringkan kepalanya.

            “Gua nggak tahu, ya, tapi entah kenapa, feeling gua nggak enak akhir-akhir ini,” ucap Aneisha menyangahkan kepalanya.

Sedari tadi bola matanya tampak kurang bisa fokus. Ia mendesah kembali menghalau seluruh pikirannya.

            Tak lama setelah perkataannya selesai, pramusaji tersebut datang dengan dua gelas jus buah. Jus buah tersebut tampak tak kalah menarik dengan fotonya di buku menu, malah lebih menarik aslinya.

            Aneisha termenung menatap minuman yang ia pesan, menggelengkan kepalanya sekilas sebelum mengembuskan napasnya panjang.

“Ah, hubungan gua kayaknya merenggang sama Gibran. Setelah dia tahu kalau anak yang dalam kandungan gua itu perempuan,” jelasnya dalam sekali embusan napas saja. Ia tak mau semua hanya terbeban pada pikirannya saja.

            Aurora mengangguk perlahan sembari sesekali menyisip jus melon dari gelasnya. Seolah paham, otaknya langsung mencerna perkataan Aneisha dengan baik, lalu mengusap dagunya sekilas.  

“Masa gara-gara dia pengennya anak laki-laki, Sha?” duga Aurora. Matanya mengarah ke langit-langit café, sementara bibirnya sedikit melengkung.

            “Hush! Jangan gitu lah! Nggak mungkin juga Gibran kayak gitu!” Aneisha langsung menggeleng, telapak tangannya melebar seraya menolak perkataan Aurora menjadi kenyataan. Hal itu akan menjadi mimpi terburuknya bila terjadi.

            Siku Aneisha tanpa sengaja menyenggol gelas jusnya yang berada pada ujung meja, membuat minumannya tumpah dan gelas itu terjatuh. Suaranya begitu nyaring diikuti dengan serpihan kaca yang berserakan.

Jantung Aneisha berpacu cepat, perasaannya tak enak, tubuhnya seraya membeku. Semuanya makin membebani pikirannya saat ini.

            “Sha, lo nggak apa-apa, kan?” tanya Aurora menepuk pundak Aneisha yang tengah melamun menatap serpihan kaca dengan tatapan kosong penuh rasa bersalah.

            “Pe-pecah!” Aneisha terbata-bata.

Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak. Matanya belum mengedip karena ketegangannya. Telapak tangannya mulai gemetar.

            Aneisha melihat Aurora dengan mata berkaca-kaca.

Ada apa ini? Kenapa air matanya tumpah ruah dari mata indahnya? Ia tak serapuh ini biasanya, tetapi kenapa dengan kejadian sesederhana itu dapat membuatnya terenyuh.

Sesekali Aurora melirik wajah sahabatnya, ia kasihan pada ibu muda itu. Semangatnya seraya berangsur-angsur menghilang akhir-akhir ini. 

***

            Seorang gadis menatap sendu ke arah sang fajar yang mulai terbit. Detik demi detik suara jam memenuhi ruangan yang tak seberapa besar dengan nuansa pink. Ia merindukan kehangatan keluarganya kembali.

            Bertepatan tiga bulan lalu saat USG adalah momen kebersamaannya secara lepas bersama keluarganya. Sejak malam itu, hari bahagia benar-benar tertutupi temaram malam. Tidak ada lagi namanya keluarga kecil yang berbincang hangat sembari menyantap makanan bersama.

            Gibran selalu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan dia jarang pulang. Ia tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Secara perutnya yang buncit itu menjadi sebab akibar ia tak bisa melakukan apa pun selain terdiam, menyantap makanan yang sudah dingin.

            Harapan kebersamaan itu mulai redup, ia mulai mencoba menerima semua walau egonya kadang bergejolak dengan pikirannya. Ia mengusap air mata yang menggenang pada pelupuk matanya.

            Senyum palsu mulai mengembang di wajahnya, sudah saatnya ia memasuki taman kanak-kanak. Ia diantarkan oleh pak supir karena Gibran yang tak bisa mengantarnya karena urusan pekerjaan.

            “Kenapa harus diantar pak supir, sih,” keluhnya mendengkus dengan suara yang benar-benar lirih. Wajahnya tampak masam beberapa saat, lalu kembali tersenyum setelah menggendong tas kecil miliknya.

            Rambutnya telah dikuncir membentuk air mancur oleh mamanya. Menurutnya, hal itu yang kini dapat membuatnya senang. Perhatian kecil dari Aneisha, membuatnya merasakan kasih sayang, tetapi kembali melihat papanya yang sering pulang larut dan berangkat subuh, membuatnya makin gundah.

            “Mama, aku berangkat dulu, ya ...,” ucapnya dengan semringah. Ia langsung melangkahkan kaki menuju mobil hitam yang sudah menunggu, tetapi tubuhnya kembali berbalik, dan memeluk erat mamanya.

“Dedek jaga mama baik-baik, ya!” Nabila mengecup perut Aneisha, lalu mengusap-usap buncit mamanya.

            Tiba-tiba bayi tersebut menendang, telapak tangan mungil Nabila merasakan. Wajahnya semringah, matanya membulat sempurna, lalu kegirangan.

            “Dughh!”

            “Dedek bayinya menyambut kakaknya, tuh.” Aneisha ikut tersenyum, Nabila sudah melenggang pergi mengingat waktu sekolahnya yang mepet.

            Pak Supir tersebut melirik ke arah Nabila, memasangkan seat belt hingga terpasang lekat. Ia mulai menyetir dengan fokus, mobil tersebut melewati beberapa mobil dengan cepat agar dapat sampai di depan sekolah.

            Suasana taman kanak-kanak di cat berwarna-warni, teriakan anak-anak yang riang kejar-kejaran mewarnai tempat belajar anak usia dini itu. Taman bermain dengan ayunan, perosotan, kolam pasir, jungkit-jungkit dan beberapa wahana lainnya membuat sekolah tersebut makin berwarna.

            Sorot matanya terfokus pada Asha yang berpelukan, berpamitan dengan orang tuanya. Ia rindu diantar ke sekolah oleh orang tuanya, tetapi untuk sementara hal itu tak mungkin untuk diharapkan olehnya.

            “Nabila!” panggil Asha melambaikan tangannya.

            Nabila yang melamun masih belum membalas panggilan Asha hingga tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh sahabatnya yang tengah riang itu. “Nab!”

            Gadis itu tersentak, menggelengkan kepalanya, lalu mengedipkan mata. Akhirnya lamunan tersebut terpecah, sorot matanya langsung fokus pada Asha yang sudah berada di sebelahnya.  

“E-eh ... Asha.” Nabila dengan polosnya sedikit gagap merespons sahabatnya. 

            “Kamu kenapa, Nab?” tanya Asha dengan wajah polos ingin tahu.

            Nabila menggeleng, mengalihkan perhatian Asha. “Masuk, yuk, Sha.”

            Asha mengangguk, “Ayuk ....”

Keduanya bergandengan tangan masuk ke dalam pagar.

            Meski ia tak bersemangat, gadis itu berusaha menutupi kesedihannya. Asha yang ceria pagi ini tidak begitu memperhatikan langkah menyeret kaki Nabila, juga wajah masam dan murungnya. Hari-hari yang berwarna beserta kehangatan keluarga seraya hilang akhir-akhir ini.

           

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang