Angin malam terasa makin terasa menusuk kulit. Rasa takut dalam Oydis sangatlah besar, tetapi ia berusaha meyakinkan diri agar tak takut menghadapinya. Bukankah dia memang sering mengalami hal serupa biasanya. Kenapa dia merasa begitu takut hari ini?
Telapak tangannya yang mendingin, digenggam erat oleh Fidelya dengan sesekali melirik Oydis yang tampak berjalan beriringan dengannya dengan tatapan kosong. Ia dapat menebak jika gadis itu sedang memiliki beban pikiran saat ini.
Rasa peduli yang memupuk di hatinya ingin membuatnya sedikit tenang untuk sesaat, tetapi dirinya sadar dia hanyalah orang baru yang tak seharusnya terlalu banyak ikut campur dengan urusan pribadi gadis tersebut. Membuatnya memilih untuk diam agar dapat memberikan ruang privasi untuk gadis malang tersebut.
Mereka masuk ke mobil civic warna hitam milik Fidelya, duduk di kursi belakang dengan memberikan sekat dengan jok supir agar Oydis merasakan nyaman. Gadis tersebut memberikan alamatnya yaitu pada perumahan Dandelion, dan meminta untuk diturunkan di pekarangan. Bukan di depan rumahnya. Ia bener-bener merinding, melihat wajah Gibran penuh amukan jika di antarkan oleh orang asik, dan mengiranya hanya mencari perhatian dengan kemalangannya.
“Nanti turunin di depan pekarangan komplek aja ya, Tante,” ujarnya tak berani memandang Fidelya.
“Loh, kenapa? Nanti Tante jadi khawatir sama keadaanmu,” timpal Fidelya dengan tatapan penuh selidik, mengatupkan ujung-ujung jemarinya.
“Euhmm … gapapa Tante, gak perlu khawatirin aku, nanti kalau akua da apa-apa, aku pasti hubungin Tante,” ujarnya dengan membentuk tangan kirinya seperti bentuk telepon, lalu tersenyum dengan bibir rapatnya.
Fidelya mengangguk, menuruti permintaan gadis tersebut, tetapi tetap membuntuti gadis tersebut dari belakang, memastikan, bahwa gadis malang tersebut sampai ke rumah dengan selamat walaupun tak mengerti bagaimana kelanjutannya setelah gadis tersebut masuk ke rumah.
**
Dedaunan kering di pinggir jalan tampak tertiup-tiup halus oleh angin malam yang kencang. Menemani bintang, dan bulan yang masih menari-nari sembari menyinari bumi dengan pancaran sinarnya yang menemani kantuk beberapa insan.
Gadis itu sedang terlelap sambil bersandar pada jok lembut yang membuatnya terlelap. Membuat Fidelya tersenyum melihat gadis itu tersenyum di tengah terlelap. Menghilangkan rasa suntuknya karena pekerjaannya yang akhir-akhir ini tak seberapa baik.
Tak memerlukan waktu lama, mobil civic tersebut membelok di pekarangan rumah dengan taman yang cukup hijau, dan asri. Menguarkan suasana tenang pada setiap sisinya yang makin membuat seseorang nyaman. Fidelya menekukkan dahinya, berusaha mengusap perlahan rambut Oydis dengan lembut, menyebarkan rasa sayang darinya untuk gadis malang itu.
Mata Oydis mengerjap, berusaha menfokuskan pandangannya yang semula kabur. Berusaha menyadarkan diri karena energinya yang tak terlalu kuat. “Eunghh … i-iya, Tan. Ada apa? Maaf, tadi Oydis ketiduran,” ucapnya dengan suara serak-serak basah khas bangun tidur.
“Gapapa, kok, sayang. Ini udah sampai pekarangan rumah kamu, mau dianterin sampe depan rumah?” tawar Fidelya berusaha meyakinkan Oydis kembali.
“Gak usah Tante, nanti akum akin kena marah sama Papa,” sahut Oydis berusaha menolak tawaran Fidelya. Sebenarnya dia lebih takut kalau perempuan paruh baya di sebelahnya mendapatkan amukan ataupun menjadi pelampiasan Papanya.
Fidelya mengangguk, tersenyum lebar hingga kedua matanya menutup sekilas. Mengiyakan permintaan Oydis, tetapi hatinya mengatakan untuk mengikuti Oydis hingga masuk ke rumah diam-diam.
Gadis itu keluar dari mobil, kemudian berjalan menyusuri pekarangan perumahan yang benar-benar sepi. Hanya terdengar suara jangkrik yang mengisi temaram malam yang sunyi tersebut.
Langkahnya melebar, mencoba memberanikan diri untuk menerima kenyataan, bahwa gadis tersebut harus kembali pada kehidupannya yang pahit itu.
Sementara itu, … Fidelya membuka pembatas di antara duduknya, dan supir. Menepuk pundak supir tersebut agar menyetir perlahan membuntuti Oydis. “Pak, ikutin anak itu,” titahnya sambil menunjuk Oydis yang berjalan dengan lemas.
“Baik, Bu,” sahut lelaki paruh baya yang usianya terpaut jauh dari Fidelya. Ia sudah menjadi supir kepercayaan keluarganya sejak Fidelya masih remaja.
**
Rumah tersebut tampak gelap, tak terawat, dan banyak debu bertebaran di setiap sisinya. Makin membuat Oydis merasakan gatal di pangkal hidungnya. Tak tahan dengan semuanya, gadis tersebut tak sengaja bersin, dan mengambil atensi seseorang lelaki paruh baya di sana.
Tiba-tiba ruangan menjadi terang, dan menampakkan Gibran yang keluar dari kamarnya dengan wajah penuh emosi. Melihatnya, membuat tubuhnya makin gemetar. Ia mengetahui, bahwa Papanya sudah marah besar dengannya karena tak pulang hampir dua hari. Bukan karena kemauannya, tetapi dirinya harus terjebak di kamar mandi yang membuatnya berpikir sudah meninggal pada saat itu.
“Diajari siapa kamu gak pulang? Sekalinya pulang sampe jam segini! Mau jadi apa kamu? Perempuan malam,” hardik lelaki paruh baya itu dengan mata melotot. Ia mengambil langkah lebar, ingin melampiaskan emosinya yang sudah dua hari dipendamnya.
“Maaf, Pa,” lirih Oydis ingin menepatkan posisi untuk berlutu di depan Gibran.
“Kamu pikir dengan kata maaf saja cukup? Kamu pulang semalem ini, muka Papa mau ditaruh mana? Dasar anak gak tahu diuntung! Pembawa sial pula!” Gibran menekan kata terakhirnya.
Oydis terisak menerima semua sesak yang menghujam hatinya. Belati telah menusuk hatinya, dan tak menyisakan sedikit pun bagian tubuhnya tanpa luka.
Gibran melangkah lebar, mendekat dirinya pada Oydis, lalu menampar keras gadis itu, meluapkan seluruh emosi yang meluruh pada hatinya. Menyebarkan hawa panas, dan ketakutan pada gadis itu, makin membuat tubuhnya gemetar.
“Plak!”
“Plak!”
“Plak!”
Pukulan tersebut terdengar berentetan diiringi teriakan Oydis yang hampir sudah tak terdengar lagi karena lirihnya yang ditutupi oleh rasa rintihnya yang begitu menyiksa dirinya.
“Am-ampun, Pa,” ucap gadis itu terbata-bata, mencoba masih menyadarkan diri, dan makin menunjukkan tubuh ringkihnya yang gemetar. Pasrah dengan keadaannya kedepan yang pasti akan makin parah oleh luapan emosi Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...