Suasana menjadi menyeramkan, semakin malam, semakin bertambah emosi Gibran ketika menatap Oydis yang sudah tersipu di lantai. Tubuh ringkihnya sudah kehabisan stamina untuk menghadapi emosi Papanya.
Ia mendesah, merintih kesakitan, dan berusaha mendekati lutut Gibran, meminta ampun pada lelaki paruh baya yang berada di depannya. Terisak tangis, tetapi tak di gubris oleh Gibran. Lelaki paruh baya itu masih saja meluapkan emosinya pada Oydis.
“Ingat posisi kamu di rumah ini. Jangan harap kamu dapat rasa kasihan dari saya!”
Air mata Oydis terus mengalir, menatap kosong ke depan. Tak ada yang menggambarkan apa yang dirasakannya lagi. “Pa, maafin aku. Oydis tahu Oydis salah karena pulang semalam ini. Sekali saja, lihat aku seperti Nabila yang selalu dapat ampun dari Papa.”
Gibran tertegun mendengar perkataan putus asa dari Oydis. Hatinya terasa tercabik-cabik melihat gadis itu terlena di ubin lantai yang dingin, dan penuh debu itu. Namun itu tidak bertahan lama, makin dirinya memilik gejolak untuk mengampuni gadis yang tak bersalah di depannya, makin membesar juga rasa benci itu kepadanya.
Entah kenapa, ia masih belum bisa berdamai dengan masa lalu sehingga itu semua malah menyulut emosi yang membara. Makin membuatnya menatap benci pada Oydis yang sudah memeluk pergelangan kakinya. Menghempaskan tubuh ringkih Oydis yang gemetar, dan meninggalkan tubuh lemas Oydis yang tersipu pada ubin dingin nan menakutkan itu.
Suara tersebut membangunkan Nabila, membuat gadis itu menghampiri kamar Gibran. Mengetuk pintu perlahan, ingin tidur memeluk Papanya karena merindukan masa kecilnya bersama kedua orang tuanya. Kebahagiaannya dengan mudahnya direnggut oleh anak pembawa sial yang ikut hadir dalam kehidupannya, dan merenggut kebahagiaannya secara instan.
“Tok-tok-tok!”
“Papa!”
Lelaki itu dengan wajah masamnya keluar dari kamar, melihat Nabila yang sudah cengengesan membuat Gibran mengerti maksud dari gadis yang berada di depannya. “Oh, Nabila. Sini masuk!” ajak Gibran menggandeng pergelangan tangan putri kesayangannya.
“Papa habis marah-marah ya sama anak pembawa sial itu.” Sumpah, gadis itu sangat senang ketika melihat orang yang membawa keluarganya dalam kesialan mendapatkan omelan, dan satu lagi yang perlau diketahui, dia sangat bahagia karena ada babu yang bisa kerjain tugas rumah.
“Iya cantiknya Papa, anak itu sudah terlewat batas. Bisa-bisanya dia gak pulang dua hari, mau ditaruh mana muka Papa kalau orang-orang tahu,” gerutu Gibran mendengkus. Lelaki itu membuang pandangannya mengingat wajah gadis itu yang memohon untuk dikasihani. Sangat menjijikan!
Nabila tersenyum licik, terkekeh membayangkan amukan Papanya kemudian melepaskan pelukan rindu yang sudah lama tak dilakukannya. Kehangatan keluarga yang dimilikinya, dan sempat direnggur oleh kehadiran anak pembawa sial.
**
“Dis! Cepetan sini!” Oydis yang sedang melipat baju harus menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu bergegas menemui sang pemilik suara tersebut yang sudah berkali-kali memangil namanya.
“Kenapa Kak?” tanya Oydis ketika sudah berada di depan Nabila, sedangkan gadis yang berada di depannya malah menaikkan salah satu alis dengan wajah songongnya kemudian mengangkat dahinya.
“Buatin gua Mie Sedap kari spesial, gua laper,” titah gadis tersebut yang sibuk memainkan ponsel, tak melirik gadis yang berada di depannya. Untuk apa menghormati anak pembawa sial, bukan?
“Kan sebentar lagi makan malam, Kak. Lagian aku belum selesein pekerjaanku, Kan harus selesai sebelum Papa pulang,” ujar Oydis tampak kebingungan.
“Gua lapernya sekarang, dan gua gak peduli urursan lo sama Papa. Buatin se-ka-rang!” Nabila mendengkus, dikira segampang itu lepas dari omelan Gibran, ia tak akan membuat hal mudah menjadi mudah melainkan akan membuat hal mudah akan menjadi kompleks bagi anak pembawa sial itu. Tak lupa gadis itu menekan perkataannya agar anak pembawa sial itu sadar posisinya di rumah yang dianggap tak lebih dari seorang babu baginya.
Oydis menghela napasnya perlahan, sadar bahwa melawan perempuan yang berada di depannya hanyalah buang-buang energi saja. “Gua selesein pekerjaan gua duluan. Setelah itu, baru buatin Kakak mie instan,” ucap Oydis yang berhasil membuat gadis itu mendengus.
“Kalau gua lapernya sekarang, gimana dong?” Wajah Nabila makin mendekat ke arah Oydis dengan taut wajah liciknya. Terkekeh melihat tubuh ringkih Oydis yang sudah gemetar ketakutan. “Lo mau gua mati kelaparan karena nunggu lo selesein kerjaan lo?!” bentak gadis itu dengan kesal.
Oydis hanya bisa diam, menahan seluruh rasa kesalnya mendengarkan perkataan Kakaknya. Ia akan mendapatkan hukuman lebih berat jika berani melawan anak kesayangan Papanya.
Belum sempat Oydis bertindak, gadis tersebut mulai membuka aplikasi berwarna dominan hijau yang akan digunakkan untuk menghubungi Gibran. “Atau … lebih baik, gua telponin Papa aja ya,” ancam Nabila dengan raut wajah liciknya hampir menekan tompol telpon.
Semua itu langsung dicegat oleh Oydis, dan gadis itu menghembuskan napasnya kasar. Sebelum melenggang pergi untuk menuruti permintaan Kakaknya yang sangat suka mengancamnya.
“Hahaha, enak juga ya. Punya babu, bisa disuruh-suruh tanpa harus capek-capek beranjak dari sofa yang nyaman ini,” batin Nabila terkekeh puas, akhirnya ia dapat membuat gadis itu bertekuk lutut di depannya. Dasar gila hormat!
Selama memasak, Oydis tak hentinya berdecak kesal karena perlakuan Kakaknya yang sangat menyebalkan. Bahkan kata kata “babu” sepertinya terlalu halus untuk menggambarkan dirinya di hadapan kakaknya.
Di sela-sela memasak mie, tiba-tiba teriakan dari ruang tamu terdengar. Membuat atensi Oydis teralih sementara hingga tanpa sadar ujung jarinya terkena panci yang cukup panas itu. Gadis itu berdesis, mencoba menahan lara, lalu mendengarkan perintah Nabila yang tak boleh terlewatkan sedikitpun kalau dirinya masih ingin hidup tenang untuk beberapa jam kedepan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...