Bab 2: Cakrawala Berbicara

69 6 0
                                    

Cakrawala terhias gradien cantik antara biru gelap dengan rona jingga kemerahan. Matahari mulai merendah, semua orang tampak lelah setelah melakukan aktivitas seharian. Namun, sore ini terasa berbeda dari biasanya.

Tubuh Aneisha tak bisa diajak berkerja sama. Ia mual-mual, perutnya kram juga lemas. Kulit putih bersihnya terlihat pucat.

            Hoek ... hoek ...  

Suara itu terdengar kembali. Nabila yang biasanya tampak ceria langsung mengernyitkan dahinya kebingungan, menatap mamanya yang sudah berkali-kali bolak-balik kamar mandi.

Matanya tampak berkaca-kaca, napasnya tercekat, tangan mungilnya seraya berusaha meraih gagang pintu, tetapi tak sampai. Ia berusaha menggedor pintu, melihat kondisi mamanya di toilet.

“Mama ... Mama!” seru Nabila dengan panik. Ia langsung memeluk dan menepuk-nepuk punggung Aneisha ketika pintu berhasil terbuka.

“Mama, nggak apa-apa, kan?” Air mata mulai keluar dari pelupuk matanya hingga membasahi pipi dan ujung baju Aneisha.

“Mama nggak, apa-apa, kok, Nab,” lirih Aneisha dengan wajah pucat. Ia terharu melihat putrinya yang peduli padanya.

Nabila menemani Aneisha sepanjang hari di tempat tidur, sesekali ia meletakkan telapak tangannya pada dahi Aneisha seraya memantau suhu tubuh mamanya.

            “Makasih ya, Nab ...,” ujar Aneisha sedikit membuka pelupuk matanya, lalu tersenyum sangat tipis. Tubuhnya yang makin lemas menolak untuk menunjukkan senyum lebar nan manis.

            “Sama-sama, Mama! Nab ... Nab-Nab, sa-yang banget sama Mama!” Nabila mengeratkan pelukan pada Aneisha, tak lama jatuh tertidur lelap di tengah pelukannya.

***

Hari ini sebenarnya hari spesial untuk Aneisha dan Gibran. Bertepatan dengan ulang tahun pernikahan mereka, biasanya mereka pergi jalan-jalan makan malam bersama ataupun ke luar kota, tetapi tidak untuk kali ini.

            Kesibukan Gibran dengan urusan pekerjaan dan beberapa orang di kantornya yang berulah membuatnya harus menyelesaikan seluruh pekerjaan di kantor. Kepalanya terasa pusing hingga menyanggahkan kepalanya.

            “Duh, kapan selesainya kalau kayak gini, sih,” keluh Gibran berdecih perlahan. Ia benar-benar kesal dengan kejadian hari ini.

            Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Emosinya sudah berantakan, waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga, seketika sirnah dan membuatnya harus berkutat dengan tumpukan file yang membebani pikiran.

Telapak tangannya langsung menepis seluruh kertas hingga tercecer di lantai, lalu tangannya terkepal mengerahkan seluruh emosi yang sedari tadi terpendam dalam dirinya.

            Srakk!!

            Ia mengusak badannya, membalikkan tubuh. Rahangnya sudah mengeras, juga tangannya meremas ujung rambutnya yang sudah diberi pomade. Telapak tangannya terasa sedikit lengket karena itu.

            Ting!

            Notifikasi ponsel Gibran membuyarkan emosinya yang baru saja meledak-ledak, ia terkejut dengan apa yang ia lihat.

0845******: (Send picture). Dipikir-pikir, cantik juga, ya, dia.

            Setelah membaca sekilas chat itu, jelas saja makin membuat mood-nya berantakan. Napas lelaki itu memburu, bibirnya sedikit mengatup di bawah. Dengan cepat ia membalas pesan tersebut.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang