Ruangan dengan dinding putih dan sinar terang membuat mata Aneisha sedikit berkedip. Tangannya sudah dipasang infus, kateter terpasang pada kandung kemihnya, juga sudah diberi anestesi epidural guna membuat area tubuh bawah mati rasa.
Sekeliling brankar-nya sudah dikerumuni oleh orang-orang berjubah hijau dengan berbagai alat medis di sebelahnya. Pandangannya dihalangi oleh kain berwarna biru guna menutupi penglihatannya dari benda-benda tajam yang dapat membuatnya pingsan seketika.
Kondisi bayi yang sungsang membuatnya harus menjalankan operasi caesar. Gibran lagi-lagi tak dapat menemaninya, lelaki itu masih sibuk dengan pekerjaannya. Semangatnya seraya hilang, sorot matanya masih mencari-cari keberadaan Gibran.
***
Lelaki paruh baya itu tengah memimpin meeting perusahaan, ponselnya dimatikan karena tak ingin menganggu pertemuan penting dengan para klien.
Entah kenapa, hatinya tak bisa tenang, berdegup lebih kencang dari biasanya, pikirannya tercampur aduk sehingga membuatnya tak fokus dengan materi yang ingin ia sampaikan.
Sesekali matanya melirik ponselnya yang layarnya masih gelap tersebut, lalu menggeleng kemudian mendesah.
“Baik, meeting hari ini saya akhiri sampai sini,” ucapnya terburu-buru menutup rapat. Ia bergegas membuka ponselnya.
Wajahnya tampak khawatir, meskipun ia tak mengharapkan anak perempuan, tetapi yang membuatnya lebih khawatir adalah Aneisha. Dirinya memang akhir-akhir ini bersikap dingin pada Aneisha, tetapi bukan berarti ia sudah tak peduli lagi pada istrinya yang selalu dicintainya setiap detik dalam kehidupannya.
Ia mendesah kembali, lalu membentur-benturkan kepalanya pada kemudinya. Lelaki itu tampak resah gelisah, juga tak bisa fokus dengan keadaan. Tak lama kemudian, ia langsung menginjak gas dengan cepat. Pandangannya mengarah kiri-kanan nampak kemacetan kota.
Dengan lihai, satu tangannya sibuk memegang kemudi melewati beberapa mobil di tengah kepadatan kota. Sementara, tangan lainnya sibuk menghubungi ponsel Aneisha.
***
Lorong-lorong rumah sakit begitu menyesakkan, setiap langkah yang dipijak seorang mengandung berbagai rasa. Gadis cilik sedang menunggu di samping ruangan dengan wajah khawatirnya, sesekali gadis itu terisak tangis karena papanya yang tak bisa dihubungin.
Benda pipih segi empat yang dipegangnya bergetar, menampilkan si pemanggil “Gibran”. Di tengah isakan tangisnya, ia menghela napas panjang, lalu mengangkat panggilan tersebut.
“Nabila!” panggilnya dengan suara tertahan, suaranya terdengar panik, diiringi oleh suara bising mesin yang membuat suaranya tak terdengar jelas.
“Pa-Pa … Papa kemana? mama dari tadi nyariin Papa!” ujarnya sesegukan. Ia berdecih, menggeleng pasrah. Sungguh, ia benar-benar ingin meluapkan emosinya pada papanya.
“Kamu di mana, Nab? Mana mama?” tanyanya panik. Ia langsung menyela pertanyaan Nabila.
“Mama di ruang operasi, adik Nabila tidak bisa keluar, Pa. Nabila takut, Pa. Papa cepet ke sini! Mama di rumah sak—”
Ucapannya terpotong, isak tangisnya makin menjadi-jadi. Ia ingin menemani mamanya, tetapi apa daya usianya yang masih belia menghalanginya. Ditambah pendamping yang hanya diperbolehkan untuk satu orang saja membuatnya mengurungkan seluruh niatnya menemani mamanya.
Kini Nabila yang tidak tahu apa-apa tentang kondisi mamanya, juga mentalnya yang tidak stabil, berada dalam gendongan supir yang biasa mengantarnya ke sekolah.
Setidaknya, dalam kepanikan gadis kecil itu, masih ada pelukan hangat dari orang dewasa meski bukan sosok papanya.
***
Panik, analogi yang mengambar kondisinya saat ini. Ia benar-benar mengebut menuju rumah sakit untuk menemani Aneisha, isak tangis putrinya yang ia dengar membuatnya mengetahui situasi Istrinya secara tak langsung.
“Duh, dasar suami nggak sigap!” Gibran meremas rambutnya, berdecak kesal merutuki kejadian tersebut.
Sesampainya di gedung rumah sakit, ia langsung berlari dengan napas terenggah-enggah. Matanya melirik menuju kiri-kanan untuk mencari keberadaan Nabila.
“Pasien atas nama Aneisha Belvina di ruangan mana, Kak?” tanya Gibran dengan sedikit menepuk meja dengan panik, detak jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, dan rasa takut menyelimuti dirinya sekarang.
“Bapak tinggal lurus aja, nanti belok kiri, disana ada ruangan Bapak bisa ketuk dulu sebelum masuk.” Orang administrasi tersebut menjelaskan secara rinci lokasinya, sedikit memeragakan dengan tangannya.
Tanpa sempat mengucap terima kasih, Gibran langsung berlari sekencang-kencangnya mendapati Nabila yang sudah menangis sesegukan di lorong rumah sakit dalam pelukan supir pribadi mereka.
Nabila yang melihat kedatangan papanya langsung meminta diturunkan dan berlari ke arah papanya.
“Pa, mama kenapa, kok, dibawa ke dalam?” tanya Nabila di tengah isak tangisnya, matanya sudah memerah, juga tangannya sedari tadi tak henti mengusap air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya.
“Mama nggak, apa-apa, Nab, dia lagi lahirin dedek bayi. Nabila berdoa untuk mama, ya.”
Gibran dengan lembut mengusap pucuk kepala Nabila, lalu memeluknya dengan erat, “Papa temenin mama dulu, ya!”
Tak lama setelahnya, Gibran mengetuk pintu ruangan, hanya dialah yang diperbolehkan masuk untuk menemani persalinan Aneisha. Wajah perempuan paruh baya itu tampak pucat ketika dikerumuni oleh orang-orang berjubah hijau itu, ia menunggu keberadaan Gibran di sebelahnya.
“Bi, maaf aku telat!”
Kini lelaki itu sudah mengenakan baju steril, mengusap lembut pucuk kepala Aneisha dengan lembut. “Aku tadi lagi meeting, jadi nggak sempet buka ponsel. Maafin aku, ya.” Sesal Gibran dengan raut wajah bersalah.
“Sssttt … jangan kebanyakan ajak aku omong! Aku nggak bisa ngomong banyak-banyak,” desis Aneisha membungkam mulut Gibran yang berada sangat dekat dengannya.
“Maaf.” Gibran tak henti-hentinya mengecup, menatap penuh sayang terhadap Aneisha hingga tiba-tiba suasana berubah menjadi tegang ketika bayi tersebut diangkat. Tak ada tangisan atau pergerakan sedikit pun.
Wajah para dokter yang menangani Aneisha panik, mereka melakukan segala teknik untuk membuat bayi itu menangis. Gibran langsung berdiri dengan wajah khawatir menuju dokter tersebut.
“Dok, anak saya kenapa?” tanya Gibran dengan raut wajah khawatir, matanya terfokus pada janin yang tampak agak pucat. Ia sedikit panik, sorot matanya menajam ketika melihat bayi perempuan itu.
“Anak Bapak terlalu banyak meminum air ketuban. Ini sedang kami tindak lanjuti lagi,” jelas dokter tersebut berusaha menenangkan Gibran yang tengah panik.
“Bi …,” lirih Aneisha dengan raut wajah sedih. Ia merasa jadi ibu yang buruk karena tak sigap pada sebuah kondisi.
Gibran menghembuskan napasnya perlahan, lalu kembali melangkah mendekat menuju Aneisha. Lelaki paruh baya itu berusaha menenangkan Aneisha yang sudah berkaca-kaca setelah mendengar perkataan dokter barusan. Ia merasa payah.
“Bi, everything gonna be alright! Anak kita lagi dirawat, dia selamat, kok.” Gibran mengusap air mata yang membasahi pelupuk mata Aneisha, menatapnya lekat, lalu memberikan kecupan pada wanita itu.
Namun, sikap lembut dari Gibran hanya membuatnya tenang sepersikian detik, lalu kembali menangis merutuki kesalahannya. Rasa sesal benar-benar menghantuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Fiksi RemajaBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...