Bunga-bunga berwarna putih bermekaran. Semiliar angin lembut menyapu seisi jalanan yang tak seberapa, rerumputan dan juga berembus pelan menghampiri setiap keramaian orang di sana.
Senyum bahagia tak pernah luntur dari keluarga kecil itu, Nabila sedang digendong oleh Gibran, sementara jari-jemari Aneisha tertaut erat pada Gibran.
"Papa ... boleh ambilin bunga putih itu, nggak? Nabila suka sama bentuknya." Mata membulat sempurna, wajahnya tampak kagum, sekaligus tersenyum kegirangan di gendongan Gibran.
"Boleh, sayang." sahut Gibran sedikit berjongkok, lalu mencabut setangkai bunga dan memberinya pada Nabila.
"Makasih, Papa." Gadis itu berseri, sesekali menggelengkan kepalanya dengan menunjukan senyuman terlebarnya.
Jarinya yang saling bertemu itu, mencoba memutarkan tangkai bunga sembari menatap lekat setiap sisi bunga yang tampak cantik. Gadis itu baru pertama kali melihat bunga berwarna putih seindah ini.
"Namanya Dandelion, cantik, ya, kayak kamu," celetuk Aneisha melirik dengan senyuman manis khasnya ke arah Nabila yang masih terkagum-kagum.
Gadis bertubuh mungil itu meniupkan bunga putih yang sedang ia pegang hingga bertebaran di angkasa. Wajahnya masih semringah dari awal ia memegangnya.
Tak lama setelahnya, tukang es krim melewati taman tersebut dengan berteriak menjajahkan es krim pada keramaian di sana. Nabila yang semula beranteng ria, tiba-tiba melompat-lompat, sedikit berlari dengan menarik pergelangan tangan Gibran tentunya.
"Pa, beliin es krim, ya?" Nabila memohon. Gadis itu menunjukan puppy eyes-nya, Gibran tentu saja tak dapat menolaknya jika ditatap seperti itu oleh Nabila. Siapa yang kuat coba? Kayaknya nggak ada, deh.
Mau tak mau Gibran ikut tersenyum, mengeleng-gelengkan kepalanya heran. Bisa-bisanya dia luluh oleh seorang gadis kecil di depannya itu. Ia mengikuti langkah gadis itu, menghampiri gerobak yang sudah dikerubungi oleh antrian para anak-anak yang ikut membeli es krim.
"Mang, es krimnya satu!"
"Mang, aku duluan yang antri! Kok, dikasihin sama dia?"
"Bentar-bentar, ya ...." Telapak tangannya mengisyaratkan untuk mereka tetap tenang.
Sepersekian detik kemudian, si abang mulai mengepal kembali memegang gagang scoop stainless yang mulai dikerokan pada wadah es krim dan menepatkannya pada cone.
Akhirnya, Gibran dan Nabila berdiri tepat di depan penjualnya. Memerlukan beberapa menit untuk menungu mamang es krim melayani seluruh anak-anak yang baru saja mengerubunginya.
"Mang, beli es krim, ya," ucap Gibran sembari salah satu tangannya mulai meraba isi kantongnya, lalu mengambil dompet kulit berwarna coklat yang tampak fancy dan mengeluarkan uang berwarna ungu dari dalamnya.
"Siap, Bos! Mau rasa apa?" tanya mamang itu mengeluarkan cone dari plastiknya sembari menaikkan salah satu alisnya.
"Rasa bayar ada nggak, Mang?" tanya Gibran membuat lelucon. Sedang bibir Nabila sudah mengerucut kesal.
"Ih, Papa! Jangan malu-maluin, deh." Nabila merajuk. Wajahnya tampak masam.
"Hahaha ... jangan gitu dong, Bos!" sahut mamang es krim di sela tawanya. Biasa, guyonan bapak-bapak itu receh.
"Iya-iya, Mang. Tadi cuma berjanda aja. Eh, bercanda maksudnya," ucap Gibran tersenyum lebar.
Lelaki itu tampak melihat Nabila yang berusaha berjinjit melihat es krimnya. "Nab-Nab, kalau ada apa-apa itu minta tolong kali," timpalnya sedikit menggeleng.
Tanpa aba-aba, lelaki itu langsung menggendong Nabila dengan satu tangan dan memainkannya bak mengangkat barbel di gym.
"Paaaa ...." Nabila histeris karena shock, ia langsung memukul pelan lengan Gibran dengan menunjukan wajah masamnya sepersekian detik.
Tak lama setelahnya, wajahnya berubah menjadi semringah ketika melihat es krim yang tampak begitu mengoda.
"Mau rasa apa, Nab?" tanya Gibran mentapa lekat Nabila, ia sedikit memiringkan kepalanya sembari menunggu jawaban dari putrinya itu.
"Vanila-vanila." Nabila menunjuk es krim berwarna putih susu dengan salah satu tangannya.
"Ya, udah, Mang. Es krim vanilanya satu." Gibran mengangguk perlahan, lalu memesan keinginan Nabila.
Semenjak mendapatkan es krim, fokus Nabila benar-benar teralih sepenuhnya pada benda di tangannya itu. Ia terus menjilati dengan wajah penuh kebahagiaan, sesekali mengeluarkan senyuman manis yang menampakkan lesung pipitnya.
Sementara itu, Aneisha dan Gibran saling bermanja bersama. Saking romantisnya, bahkan mereka tak terlihat seperti orang tua yang sudah punya buntut satu, malah seperti anak baru gede alias ABG.
Gibran menatap lekat, tersenyum manis, sambil meraba seluruh wajah Aneisha. Mulai dari merapikan helai-helai rambutnya, memainkan pipinya dan sesekali memberikan kecupan pada Aneisha.
Bumi sudah global warming, Bro. Jangan ditambah-tambahin lagi panasnya! Nanti kalau es di kutub mencair siapa yang bertanggung jawab? Bak bumi hanya milik berdua.
"Bi!"
"Iya, Bi?" Telapak tangan Aneisha sudah tertempel pada pipi Gibran, pun sebaliknya.
"Eunghh ...." Bibir Aneisha tampak sedikit bergetar, tetapi entah kenapa itu kaku.
Ini seharusnya merupakan kabar baik baginya, tetapi entah kenapa rasa takut dan bahagia bercampur aduk menjadi satu.
Akhir-akhir ini, melihat kondisi suaminya yang tak terlalu baik membuatnya mengurungkan niat untuk memberitahu. Aneisha khawatir akan Mood Gibran yang tak stabil akhir-akhir ini. Namun, dia sangat memahami kondisi Gibran dan berusaha agar tak ikut emosi di dalamnya.
"Kamu mau bilang apa, Bi?" tanya Gibran sedikit memiringkan kepalanya dan makin menatap lembut Aneisha. Sesekali tangannya mengusap lembut pipi Aneisha.
Ia tak menjawab pertanyaan Gibran secara langsung. Melainkan memberikan kotak kecil persegi panjang berwarna pink berbalut pita yang terlihat menggemaskan.
"Wah ... apaan, nih?" tanya Gibran semangat. Ia mulai membuka pita itu dan matanya terbelalak sempurna setelah melihat isinya.
Kotak itu berisi benda panjang, pipih, berwarna putih berujung biru. Benda itu menampakkan dua garis merah, membuat Gibran terdiam beberapa saat setelah melihat isinya.
"Bi ...." Aneisha kebingungan. Otaknya tak dapat mencerna apa yang dipikirkan oleh Gibran saat ini. Entah itu senang atau sebaliknya. Ah ... kadang berpikir berlebihan bisa membuat kepalanya pusing sendiri.
"I-iya ... i-ini be-beneran kan, Bi," balas Gibran terbata-bata. Lelaki paruh baya itu tampak berkali-kali mengusap matanya tak percaya.
Tak lama kemudian ia mencoba mencubit pergelangan tangannya sendiri. "Aduhh!" Gibran meringis, lalu langsung mendapatkan tawaan dari Aneisha.
"Hahaha ... Bi, aneh-aneh aja, deh." Aneisha mengibaskan tangannya setelah mengaruk tengkuknya melihat aksi suaminya yang agak random. "Ya beneran, tahu," tambahnya cekikan sembari mengeleng heran melihat tingkah laku suaminya.
"Yeyyy!" Gibran kegirangan ber-oh ria hingga membuat fokus Nabila teralih.
"Ada apa, sih, Pa? Kok Papa heboh banget?" tanya Nabila dengan wajah penuh selidik, gadis itu mengernyitkan dahinya diikuti dengan matanya yang ikut menyipit.
"Kamu bakal punya adik baru, Nab!" Gibran yang kegirangan langsung mengangkat Nabila, berputar-purar seperti komedi putar.
"Hah! Beneran, Pa? Yeyyyy!!" Nabila kegirangan, bibirnya masih celometan es krim vanilla.
Situasi taman tersebut makin tampak ceria karena kebahagiaan keluarga kecil itu. Bunga, daun serta rumput seraya ikut menyambut kebahagiaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Novela JuvenilBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...