Takut, bingung, dan terdiam adalah kondisi yang sedang dialami oleh Oydis saat ini. Gadis itu benar-benar sudah tak dapat lagi berpikir jernih setelah kejadian yang hampir saja merenggut nyawanya karena perbuatannya.
“Kenapa kamu diam aja, Nak?” tanya Perempuan paruh baya itu memiringkan kepalanya sedikit.
“Euhmm … kayaknya aku gak bisa ikut Tante dulu ya, soalnya akum au pulang keburu dimarahin Papa,” ujar Oydis memainkan jari-jemarinya, ia gugup jika harus berhadapan dengan orang baru.
“Lebih baik kamu tenangin diri kamu dulu, saya gak akan macem-macem sama kamu, kok,” sahut Fidelya, mengusap sedikit punggung Oydis dengan lembut.
Oydis mengernyitkan dahinya, membaca nama yang berada pada blazer wanita paruh baya tersebut. Mengangguk paham, dan menikmati usapan lembut yang di rasanya penuh kasih sayang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sorot mata tersebut meyakinkannya, bahwa perempuan paruh baya itu memang orang baik. “Makasih Tante, kenapa Tante baik banget sama aku?” tanya Oydis mendangak, menatap lekat Fidelya penuh tanya.
“Karena Tante gak punya anak perempuan secantik kamu,” sahutnya singkat dengan pandangan berkaca-kaca, melihat beberapa bekas luka pada tubuh gadis tersebut, membuatnya menyimpulkan, bahwa gadis itu adalah korban kegegoisan orang tuanya.
“Degh … secantik kamu.” Oydis langsung kaget mendengarnya, dia tak pernah dianggap cantik oleh seorang pun selama hidupnya, bahkan untuk orang basa-basi mengatakannya saja seakan susah untuk kata itu terucap. Hanya kata-kata ejekan saya yang sudah menjadi asupannya sehari-hari.
Entah kenapa, hal itu membuat tembok yang menghadanginya dari dunia tersebut luruh oleh sikap lembut perempuan paruh baya yang berada di depannya. Gadis itu tak merasakan ketakutan sama sekali, padahal dirinya baru mengetahui perempuan paruh baya itu beberapa menit yang lalu.
Oydis mengangguk, menatap lekat perempuan paruh baya itu, lalu menjulurkan tangan memperkenalkan diri. “Namaku Oydis, Tante,” ucapnya tersenyum lebar.
“Nama Tante Fidelya,” sahut Fidelya sedikit menunduk, menyamakan tinggi dengan Oydis, dan menatap lekat gadis yang menurutnya memiliki keunikan tersendiri. Ia menjulurkan tangan, dan langsung dibalas oleh Oydis.
Telapak tangannya terasa dingin, takut terbayang-bayang dengan hal di rumah, tetapi kembali melihat perempuan yang berada di sampingnya makin membuatnya tenang, dan melupakan masalahnya sesaat.
Bibir gadis tersebut melengkung, menengelamkan matanya, dan berjalan beriringan bersama Fidelya menuju mobilnya.
Gadis itu diam terduduk di mobil, tak berani memulai percakapan karena adanya rasa canggung di sana. Akhirnya setelah terpantau sekitar sepuluh menit keadaan mobil sunyi, Fidelya memulai perbincangan di suasana yang benar-benar canggung.
Perempuan paruh baya itu mendekatkan dirinya pada Oydis, mengusap lembut pucuk kepala Oydis hingga membuat gadis itu benar-benar merasakan nyaman yang benar-benar dinantinya sejak lama. “Kamu ada masalah ya? Sampe tadi hampir bunuh diri,” tanyanya lembut, masih terus mengusap hingga gadis itu menyandankan kepalanya pada pundak Fidelya.
Oydis berdeham, mengangguk. “Aku takut Tante sama Papaku, soalnya aku bisa dimarahin kalau pulang terlalu malam,” ujarnya menatap Fidelya dengan mata berbinar-binar.
“Kamu mau cerita?” tawar Fidelya tersenyum, melihat gadis itu membuatnya memikirkan dirinya yang dahulu tak memiliki ruang untuk bercerita dengan orang lain, bahkan sudah mencoba bunuh diri beberapa kali. Namun, semua rencananya selalu gagal, lalu membuatnya menjadi wanita kuat, dan independent seperti sekarang.
Perempuan paruh baya itu memang belum memiliki anak dari pernikahannya, tetapi dirinya sudah sangat berharap akan hal itu. Mangkanya melihat gadis bertubuh gempal dengan keunikan tersebut, makin membuatnya ingin mengangkat Oydis menjadi anak angkat walaupun tetap tinggal dengan orang tua kandungnya.
Tak lama, mobil tersebut membelok pada sebuah mansion mewah, menampakkan keindahan, dan kemewahan yang dirangkap menjadi sebuah gedung yang memiliki nilai arsitektur yang sangat dipandang, bahkan setiap ujung rumahnya pun benar-benar tertata. Memanjakan mata Oydis yang melihatnya, membuatnya menyipulkan, bahwa perempuan paruh baya yang berada di sebelahnya bukanlah orang sembarangan.
Semenjak memasuki mansion tersebut, Oydis dibuat terbengong-bengong melihatnya. Benar-benar menghibur pandangannya. Fidelya tersernyum, melihat gadis tersebut yang makin menunjukan senyum manisnya yang makin melebar.
“Kamu suka?” tanya Fidelya dengan lembut, mengenggam ujung rambut dari Oydis, dan mulai mengusapkannya.
Oydis mengangguk-angguk dengan semangat, bibirnya tampak mengatup, tak berani berkata-kata, tetapi rona wajahnya menggambarkan isi hatinya tanpa ditutupi sedikitpun.
“Yuk turun!” ajak Fidelya, menggandeng tangan gadis itu.
Oydis berjalan beriringan dengan Fidelya memasuki mansion, dirinya tampak ragu, takut melakukan hal yang salah di tempat semewah itu.
Tatapan Fidelya tertuju pada Oydis yang tubuhnya sudah membeku setelah melewati ruangan penuh marmer yang tampak elegant tersebut, seolah paham dirinya langsung merangkul tubuh Oydis. “Gapapa, anggap aja rumah sendiri,” celetuk Fidelya tersenyum sekilas.
Mendengar perkataan Fidelya, membuatnya mengangguk, dan mengikuti langkah Fidelya menuju suatu ruangan yang benar-benar bagus dengan nuansa kamar pink. Oydis dapat menebak, bahwa perempuan paruh baya itu memang sangat menginginkan putri, tetapi belum sempat kesampaian.
“Ini apa Tante?” tanya Oydis dengan polosnya, ekspesinya tak dapat membohongi, bahwa gadis itu sedang terkagum-kagum.
“Euhmm, jadi Tante itu selalu pengen punya anak perempuan, tetapi Tante belum diberi kepercayaan untuk menjaga seorang putri.” Raut wajahnya tiba-tiba berubah, bibirnya melengkung ke bawah, lalu mengigit ujung bibirnya. Ia benar-benar menginginkan seorang buah hati, tetapi takdir berkata lain. Pernikahannya yang sudah berjalan lebih dari lima tahun itu, belum juga dikaruniai seorang anak.
Oydis merasa bersalah, menyingung sesuatu yang tak sepantasnya diketahui oleh dirinya, kedua jarinya dipertemukan, dan raut wajahnya yang semula bahagia menjadi sedih. “Ma-maaf kalau aku lancang, Tante,” ujarnya dengan perlahan.
Fidelya mengaruk tengkuknya, seolah tak terjadi apa-apa, dia malah mengibaskan tangannya. “Ah, gapapa kok, Dis … Tante Cuma keinget aja. Eh, Tante pangil kamu Dis ya,” tanyanya di sela raut wajahnya yang tampak cengengesan, berusaha menghilangkan atmosfer-atmosfer negatif di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...