Sebuah mobil sedan berwarna hitam tampak membelok pada pekarangan rumah yang dipenuhi oleh dedaunan asri, menyebarkan suasana sejuk di daerah perumahan tersebut sebelum mobil tersebut diparkirkan di depan halaman rumah yang berwarna dominan coklat.
Seorang gadis berparas menawan itu baru saja pulang setelah seharian berkutat dengan dunia perkuliahan. Hari ini sepertinya adalah hari sial baginya, ia mendapatkan tugas sangat banyak dari dosen killer di kampusnya membuat mood-nya benar-benar berantakan.
Nabila berharap di rumah sudah disambut oleh makanan masakan dari anak pembawa sial itu, dan keadaan rumah sudah bersih agar setelah makan dirinya bisa merebahkan dirinya pada ranjang kamarnya. Namun, dahinya mengernyit ketika melihat rumah masih dalam keadaan gelap, dan banyak kotoran bertebaran di rumah.
“Oydis-oydis!” panggilnya dengan penuh emosi, dirinya benar-benar bertambah kesal karena kejadian itu. Namun, panggilannya tak kunjung memperoleh jawaban sehingga dirinya berjalan dengan kasar menghampiri kamar Oydis untuk mengomelinya sekaligus meluapkan emosinya hari ini.
“Ceklek!”
“Lahh, kok si anak sialan itu belum ada di kamar?” tanya Nabila memiringkan kepala, bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Padahal biasanya, Oydis tak pernah pulang selarut ini.
Gadis itu mendengkus, dirinya terpaksa harus memasak makanan untuk hari ini. Ia sangat malas berkutat dengan minyak goreng, dan perpancian karena dia takut terciprat oleh minyak goreng hingga membuat tangan mulusnya itu terdapat bekas luka.
“Ish, waktunya kenapa gak tepat banget, sih?” keluh Nabila kesal, kakinya dihentak-hentakan dengan kasar sembari berjalan menuju dapur dengan wajah masamnya.
“Dasar anak gak tahu diuntung! Ngapain aja dia keluar? Belum siapin makanan pula di rumah,” gerutu Nabila dengan malas membuka kulkas, mencari-cari bahan makanan yang sekiranya dapat diolahnya menjadi masakan untuk mengisi perutnya. Intinya, hari ini dia mau makan banyak biar bisa meluapkan emosinya ke dosen yang mengesalkan.
Nabila menghembuskan napasnya panjang, kemudian memikirkan ingin memasak apa hari ini. Jujur saja, dia tak pandai memasak karena yang selama ini harus memasak adalah Oydis, si anak pembawa sial. Meskipun Nabila sangat membencinya, tak dapat dipungkiri, bahwa masakan Oydis memanglah sangat nikmat, dan teracik dengan bumbu-bumbu cinta di setiap masakannya.
**
Keadaan sekolah tampak sepi, gelap, dan hanya satpam yang berjaga saja. Sosok lelaki misterius berhoodie hitam itu berusaha memanjat pagar sekolah, dan berlari memasuki sekolah. Geraknya tampak lihai, tetapi dirinya tak sengaja mendarat pada dedaunan kering yang belum disapu oleh cleaning service sekolah sehingga membuat buyi nyaring, dan mengambil perhatian satpam sekolah.
“Siapa kamu?” tanya satpam tersebut yang semula tertidur di pos, tiba-tiba beranjak membawa senter, mencari ke arah sumber suara.
“Shit! Bisa-bisa lo ketahuan,” umpat sosok lelaki misterius dalam hati. Ia langsung berlari menuju kamar mandi karena sedari tadi hatinya tak tenang selama melewati kamar mandi lantai tiga. Ada rasa tak tenang di hatinya, membuatnya ingin mengetahui itu semua hingga lelaki itu menyusup malam ini, memanjat gerbang sekolah.
Dengan lincah, lelaki itu bersembunyi, lalu melewati beberapa tempat yang jarang diketahui oleh satpam. Mengalihkan perhatian satpam tersebut pada kucing sekolah agar dia tak terus dikejar, dan sampai di depan kamar mandi perempuan.
“Finally ….” Lelaki itu akhirnya membuka masker, dan menurunkan penutup hoodie dari kepalanya yang sudah berkeringat. Menampakan sosok lelaki yang lumayan tampan, tetapi di beberapa bagian wajahnya tampak plester, dan beberapa luka di beberapa sisi wajahnya.
Lelaki itu mulai meregangkan jari-jemarinya, dan mengeluarkan penjepit kertas dari dalam kantung hoodienya. Mengigitnya guna membuat penjepit kertas itu lurus, lalu memasukkannya pada lubang kunci hingga membuatnya dapat membukan pintu yang menyambung pada kamar mandi yang pengap tersebut.
Matanya membelalak, melihat sosok perempuan yang sudah tergeletak di lantai kamar mandi, wajahnya pucat, dan tubuh gempalnya tersebut tampak ringkih. Ia mencoba mengendong tubuh itu keluar, dan kabur meninggalkan sekolah.
**
Oydis menyergap matanya perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah plafon serba putih, dan ruangan yang benar-benar bercahaya. Ia berusaha menfokuskan pandangannya yang semula buram, mencoba mencerna di mana dia berada saat ini.
Namun, lantunan kardiograf membuatnya menyadari posisinya saat ini. Ia bisa tebak, ssekarang berada di rumah sakit.
Sosok lelaki misterius yang menolongnya, kini berada di samping brangkarnya, tersenyum tipis melihat gadis itu telah siuman. “Akhirnya lo sadar juga, kemaren aja lo udah lemes hampir kayak mayat,” ujar lelaki berhidung bangir, dan beberapa sisi mukanya terdapat plester. Namanya Michio Dharmendra.
Oydis kaget, membelalakan matanya setelah menatap sosok lelaki yang sangat asing baginya, beberapa luka di wajahnya makin membuat dirinya gemetar, mengira dirinya akan diapa-apakan. “Ka-kamu siapa?” tanya gadis itu terbata-bata, ketakutan, dan sedikit merinding.
“Tenang, gua gak bakal apa-apain lo. Gua cuma berniat bantu lo aja, btw gua cabut dulu.” Lelaki itu melenggang pergi, meninggalkan Oydis yang masih melamun kebingun karena keberadaannya.
“Lo siapa? Dan, apa niat lo bantuin gua?” tanya Oydis mengernyitkan dahinya. Bukannya gak percaya sama orang, tetapi dirinya terlalu sering dimanfaatkan oleh orang lain sehingga dirinya memiliki masalah kepercayaan diri.
Lelaki itu malah mengedipkan salah satu matanya, mengulam bibirnya kemudian kembali menggunakan masker hitam. “Kayaknya lo gak perlu tahu gua siapa? Yang penting, gua nolong lo tanpa berharap apapun.” Sepersekian detik, setelah lelaki itu menyelesaikan perbincangannya, ia sudah melenggang pergi, meninggalkan Oydis sendirian di rumah sakit.
“Duh, bikin penasaran aja tuh orang,” batin Oydis berusaha mencerna siapa sosok lelaki tersebut. Ia yakin, ia belum pernah melihat sosok lelaki tersebut selama ia hidup.
“Gua kira, gua udah mati tadi,” batinnya memegang dadanya yang terasa sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Ficțiune adolescențiBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...