Bab 24: Yang Tak Bersahabat

40 3 0
                                    

Nuansa pink menyelimuti kecanggungan di antara mereka berdua, membuat Oydis mengigit bibirnya pilu, merasakan seluruh lara yang menghantam perempuan paruh baya di sebelahnya. Makin lama, makin sesak terasa di dadanya, ia merasa tak enak.

            “Ta-tante gapapa, kan?” tanya Oydis dengan pandangan berkaca-kaca. Gadis itu menghela napas melihat guratan sedih pada wajah Fidelya yang tak dapat ditutupi kembali.

            Fidelya tersenyum kecut, mengabaikan pikirannya yang tengah kebingungan memikirkan kenapa dirinya tak kunjung diberi kepercayaan untuk memomong sang buah hati.

            Katanya, buah hati adalah napas yang dipercayakan kepada seseorang, tetapi kenapa dirinya belum mendapatkannya hingga sekarang. Apakah dirinya tak pantas untuk dipercayai seorang buah hati? Gejolak pikiran tersebut selalu muncul dalam pikirannya di kala dirinya sedang tak melakukan apa-apa. Maka dari itu, ia menjadi perempuan yang work a holic agar melupakan seluruh masalahnya sejenak.

            “Tante gapapa, kok, Dis,” ucap Fidelya menyentuh bahu kanan Oydis yang tengah gemetar karena merasa tak enak. “Kamu mau cerita masalahmu tadi, disini aman, kok,” sambungnya tersenyum kecut, ia berusaha menghibur gadis di depannya padahal dirinya mengerti dia tak sekuat apa yang dirinya bayangkan.

            Oydis mendagak, menatap penuh harap akhirnya dirinya memiliki sandaran untuk bercerita, dan menghabiskan malam untuk bercerita di sana.

**

            Mereka bertukar pikiran hingga makin malam pula waktunya. Berbagi pengalaman, menceritakan seluruh beban yang dahulu hanya tersimpan rapat pada lukanya.

            “Kalau kamu ada masalah, hubungi Tante aja, anggep aja Tante itu orang tua angkatmu,” ucap Fidelya tersenyum.

            Oydis terharu, menatap Fidelya berkaca-kaca, ternyata dunia yang dianggapnya sekejam itu masih tersisip sejumput orang baik yang tak memandangnya sebelah mata. Tanpa basa-basi, ia melepaskan pelukan pada Fidelya, dan tak lama kemudian dibalas oleh perempuan paruh baya tersebut dengan hangatnya. Kehangatan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

            “Tante, Oydis mau pulang, takut dicariin sama Papa,” ujarnya dengan menatap lekat Fidelya, menyembunyikan ketakutan karena membayangkan amukan Papanya.

            “Tante anterin ya,” tawar Fidelya menggandeng langsung tangan Oydis.

            Tiba-tiba perut Oydis kali ini tak bisa diajak berkerja sama, berbunyi kenjang hingga mengambil atensi Fidelya yang berada di sebelahnya. Jujur saja, ia belum makan sejak keluar dari rumah sakit karena uang jajannya yang kurang untuk membeli makanan di daerah yang cukup elit di dekat jembatan.

            “Krucuk … krucuk ….”

            “Kamu belum makan ya, Dis?” tanya Fidelya mengusap rahangnya.

            Oydis menggaruk tengkuknya, lalu telapak tangannya berpindah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Enggan jujur dengan keadaannya karena merasa sungkan pada Fidelya. “Udah, Tan,” balasnya dengan sedikit mencengkram perutnya yang dirasa melilit.

            “Tapi perutmu bunyi lagi, kamu makan aja disini, nanti Tante masakin,” tawar Fidelya tersenyum.

            “Gapapa, kok, Tan. Oydis gak laper,” kilah Oydis menggaruk tengkuknya di sela senyum lebarnya.

            Tiba-tiba, setelah Oydis menyelesaikan perkataannya. Perutnya kembali berbunyi, tetapi bunyinya kali ini benar-benar berkeriuk, dan semakin terdengar keras.

            “Sungguh, tapi perutmu bunyi,” ujar Fidelya dengan pandangan antara percaya, dan tidak percaya. Dengan menatap gadis tersebut, dirinya dapat menyipulkan, bahwa gadis tersebut sedang kelaparan, tetapi malu untuk mengatakannya. “Yaudah, temenin Tante makan, kamu harus ikutan ya,” pinta Fidelya dengan suara tak ingin dibantah.

            Oydis menelan salivanya, kemudian beranjak, berjalan beriringan bersama Fidelya menuju ruang makan. Ruang makan tersebut sangat lebar, bahkan jika dihitung mungkin bisa sebesar tiga kali kamar Oydis ditambah lagi interior serba putih keemasan membuat suasana terasa seperti makan di restoran fine dining.

            Gadis tersebut menelan salivanya, tergiur dengan makanan yang terlihat begitu nikmat dia atas meja makan. Membuatnya berkali-kali menelan salivanya. Melihat gadis tersebut, membuat Fidelya langsung beranjak dari tempar duduknya, dan mengambilkan nasi beserta lauknya ke piring Oydis.

          Pandangannya seketika langsung menuju pada Fidelya, kebingungan karena tak pernah diperlakukan seperti itu selama hidupnya, kemudian langsung sedikit menjauh dari Fidelya karena tak mau menganggu perempuan paruh baya itu menikmati makanannya.

            “Ngapain kamu menjauh, Dis?” tanya Fidelya dengan alis tertaut, kebingungan.

            “Nanti kalau Tante deket-deket sama aku, Tante jadi gak napsu makan,” jujurnya dengan suara tertahan, sedikit mengiris hati kecilnya yang penuh luka.

            “Gak akan Sayang, kamu gak seburuk itu, sini makan sama Tante,” ajak Fidelya beranjak, menggandeng tangan Oydis agar kembali ke meja makan. Perempuan paruh baya itu menatap sendu gadis yang merasakan pahitnya kenyataan itu, tersisip rasa iba di setiap menatapnya, membuatnya makin bersyukur karena setidaknya dia tak pernah dianggap seburuk itu dengan keluarganya, walau tak dapat dipungkiri masa mudanya juga kelam.

            “Ya-yakin, Tan?” tanya Oydis ragu-ragu, dirinya menatap penuh harap pada Fidelya. Perlahan tubuh ringkihnya tampak gemetar, tersenyum kecut pada kenyataan.

            “Ahh … tenang aja, kamu itu malah bikin Tante napsu makan. Kamu itu asik, Dis. Malah bikin Tante lebih semangat buat makan,” ujar Fidelya dengan tatapan lembutnya yang mengarah pada Oydis.

            Mata Oydis berkaca-kaca, bercampur antara rasa bahagia, dan terharu. Menyembukan sedikit luka yang berada di hatinya. Mereka menghabiskan waktu untuk makan bersama di ruang makan tersebut, sesekali Fidelya tampak menatap sendu Oydis yang sepertinya sedang berat hati memikirkan sesuatu.

            “Enakk,” ujar Oydis sedikit menggeleng, mengekspresikan apa yang dirasakannya. Ia tak pernah dibiarkan bebas berekspresi di rumah sehingga membuatnya sangat bahagia berada di sini.

            “Kalau Oydis suka, Tante juga jadi bahagia.” Fidelya tersenyum, memandang piring Oydis yang bersih tak bersisa karena terlalu lahap. Ia menebak gadis itu sudah menahan laparnya dari awal bertemu dengannya. Sungguh hebat gadis itu, gadis yang kuat menghadapi seluruh cobaan dalam dirinya.

            “Tante anterin ya, gak baik perempuan keluar sendirian jam segini,” tawarnya dengan sedikit mengusak rambut Oydis.

            Oydis terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk. “Tapi, nanti ngerepotin Tante. Bukannya, Tante masih ada urusan lain?” tanya Oydis dengan mengusap sela-sela jari-jemarinya.

            “Gapapa, Dis. Tante juga suntuk, mau cari udara segar,” sahut Fidelya berusaha meyakinkan Oydis, ia mengerti gadis tersebut tidak akan mau jika dirinya tak mencari alasan.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang