Bab 9: Oydis Arisha Lamont

58 5 0
                                    

            Isak tangis Aneisha terdengar di daun telinga Gibran hingga membuat lelaki itu tampak bersalah. Ia merasa karena dirinyalah bayi tersebut menjadi lama dilahirkan dan proses persalinan Aneisha menjadi buruk.

            Dokter berjubah hijau mulai menjahit perut Aneisha agar tak terjadi komplikasi karena terkontiminasi oleh atmosfer luar.

            Selama dilakukan penjahitan perut, Aneisha memang tak merasakan sakit di perutnya karena efek obat bius epidural masih bekerja hingga detik ini, tetapi melirik kondisi anaknya yang sudah ditangani dan dikerumuni oleh para dokter membuatnya merasakan sedikit ketenangan.

            Napasnya terasa tercekat, hatinya sesak, pikirannya tercampur aduk melihat kondisi buah hatinya yang tampak mengenaskan. Matanya terasa berat dan akhirnya memejam. Namun, ditengah perempuan post partum itu tertidur, air matanya jatuh dari ujung matanya.

            Gibran memandangnya dengan sorot mata tajam, lalu menghembuskan napas panjang. Ada sesak yang ia rasakan di dada ketika orang yang dicintainya merasakan kesedihan.

            Semenit, dua menit, bahkan tiga puluh menit berlalu, sorot mata Gibran tak teralih sedikit pun menatap wajah Aneisha yang menurutnya begitu menawan. Lelaki paruh baya itu menelan salivanya dengan berat sembari mengedip-ngedipkan matanya.

            “Pak Gibran!” panggil pria berjubah hijau. Panggilannya langsung mengalihkan pandangan Gibran. “Iya, Dok,” sahutnya yang langsung menoleh.

            “Istri anda sudah diijinkan untuk pindah ke ruang inap untuk masa pemulihan, memang dia tertidur karena efek samping bius,” jelas dokter tersebut dengan tubuh gagahnya.

            “Baik, Dokter, terima kasih.” Wajah Gibran mulai semringah, tak lama setelahnya beberapa perawat berjubah hijau ikut memindahkan brankar Aneisha menuju ruang rawat inap.

***

            Aneisha masih lemas, wajahnya tampak pucat, ia masih berbaring pada di ruang rawat. Sementara itu, Nabila yang berada pada pangkuan Gibran dengan polosnya terus bertanya-tanya tanpa memberikan jeda untuk Gibran menjawab.

            Mata gadis itu masih tampak sembab karena kejadian tadi. Gibran berusaha menghiburnya dengan menceritakan dongeng-dongeng. Namun, gadis itu masih memandang mamanya yang tengah tergeletak di tempat tidur dan terus bertanya.

            “Pa, mama kenapa?” Mata kecilnya berbinar, “Mama nggak apa-apa, kan? Kenapa mama tidur terus, Pa? Mama kesakitan ya?”

            Pertanyaan Nabila berentetetan, Gibran mengembuskan napasnya sebelum melontarkan jawaban. “Mama kamu ba—”

            “Mama gimana, Pa? Nab-Nab khawatir, nih,” sela Nabila dengan bola mata yang sudah membulat sempurna.

            Telapak tangan Gibran menguncup, lalu mengusap-usap hidung Nabila hingga memerah. “Nab-Nab mulai bawel, ya, Papa belum sempet jelasin, lho,” sahut Gibran tampak gemas dengan pertanyaan Nabila yang belum dijawabnya.

            “Ih, Papa! Hidung Nab-Nab jadi merah-merah, tahu! Nanti kalau diusap-usap terus keluar jin-nya kayak di Aladdin, gimana?” keluh Nabila mengerucutkan bibirnya.

            Bukan malah takut, tetapi Gibran malah mentertawarkan Nabila. “Hahaha ... anak Papa ini emang ada-ada aja, deh.” Tawanya terdengar lepas memenuhi setiap sisi dari ruangan tersebut.

***

            Suasana yang semula ramai, tiba-tiba menjadi sepi. Nabila tengah bersantai di pangkuan Gibran, tatapannya sesekali melirik keadaan Aneisha. Ada rasa khawatir yang tersimpulakan dalam hatinya di tengah jantungnya yang berdegup kencang.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang