Bab 5: Reveal!

45 5 0
                                    

Suara dokter dan suhu dingin yang memenuhi ruangan membuat suasana yang tak seberapa menjadi amat tegang. Bukan hanya pasutri, tetapi dokter juga Nabila ikut tegang.

            Suhu AC terasa kian dingin, menusuk kulit membuat tubuh merinding. Begitu pula dengan detak jantung yang berdegup semakin cepat seraya mendukung suasana tersebut makin menegangkan.

            Perempuan paruh baya berjubah putih tersebut menelan saliva, mengembuskan napas perlahan sebelum melontarkan perkataan dari mulutnya. “Kalian sudah siap?” tanya dokter.

            “Siap, Dok.”

            “Coba kalian lihat di layar sana.” Dokter mulai menunjukan, sembari memutar-mutar alatnya mengelilingi perut Aneisha.

            Layar tersebut memperlihatkan dengan jelas kondisi bayi dengan teknologi empat dimensi. Saat mengelilingi perut, ia sudah dapat memastikan bahwa jenis kelamin bayi tersebut adalah perempuan.

“Baik, kalau saya pantau dari sini, bayi Anda seharusnya perempuan.” Akhirnya kalimat tersebut keluar dari mulutnya, penyampaian kali ini benar-benar terasa berat baginya.

            Deg!

Mata Gibran seketika membulat sempurna dan berdecih perlahan. Ia masih menjaga emosinya ketika berhadapan dengan Aneisha, karena ia tak mau membebani pikiran wanita yang ia sayangi.

Jujur saja, Gibran benar-benar kecewa karena yang ia harapkan adalah anak laki-laki. Bibirnya tanpa ia sadari sedikit melengkung ke bawah dan turun.

Ah! Shit! Kenapa harus perempuan, sih? Umpatnya dalam hati. Ia sedikit mengempalkan tangannya, menghembuskan napasnya perlahan.

Sedari tadi ia belum berkata sepatah kata pun, sorot matanya tampak tajam dan terfokus pada Aneisha. Mulutnya terasa kaku, bibirnya mencoba tersenyum agar membalut seluruh rasa kecewanya dalam-dalam.

“Bi ....” Aneisha tampak semringah, matanya menyipit karena senyum manisnya. Ia mencoba mengoyang-goyangkan telapak tangan Gibran yang berada di sebelahnya.

“Eh, iya, Bi. Ada apa cantikku?” celetuk Gibran mencubit pipi Aneisha hingga memerah.

“Kamu seneng, kan. Anak kita cewek, Bi?” tanya Aneisha menatap fokus ke mata Gibran.

“Wah ... dedeknya cewek, ya? Asik, nanti bisa di dandanin sama Nab-Nab.” Gadis itu meletakkan tangannya di belakang seolah bersikap sok genit. Matanya sesekali juga ikut mengedip di tengah senyumannya.

“Ya, jangan langsung di dandanin langsung dong, Nab-Nab.” Dengan sedikit mengigit ujung bibirnya, ia menggeleng heran dengan tingkah laku genit Nabila.

“Keturunan siapa, sih? Kok, genit banget. Keknya nurun bapaknya pas masa muda.”

“Hehehe ... kan gemes Ma,” sahut Nabila menggaruk tengkuknya, lalu mengibaskan tangannya sembari cengegesan. Wajahnya tampak polos dan tak bersalah.

            Selama perbincangan Aneisha dan Nabila berlangsung, Gibran langsung menyelesaikan pembayaran agar segera cepat pulang. Sungguh, mood-nya saat ini berantakan, membuatnya malas terlalu lama berada di rumah sakit ini.

            “Bi, Nab-Nab! Ayo kita pulang!” ucap Gibran dari kejauhan, lelaki paruh baya itu sudah berada di ambang pintu.

            Nabila membantu Aneisha berdiri, selama perjalanan ke mobil, gadis itu terus mengusap perut Aneisha.

            Entah kenapa, Aneisha merasakan ada yang berbeda dari Gibran setelah mendengarkan jenis kelamin bayi dalam kandungannya. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca sembari tetap berusaha tersenyum palsu menyembunyikannya di depan Nabila.

            Apakah dirinya yang terlalu sensitif karena mengandung? Untuk saat ini, ia tak dapat memastikannya, tetapi dalam hatinya ada rasa yang menganjal. Feeling-nya merasa bahwa semua yang ia rasakan benar, tetapi hati dan pikirannya bekata lain.

            Disanalah semuanya benar-benar terasa bergejolak dan aneh. Ia berusaha mengabaikan seluruh pikirannya, tetapi semua itu tak dapat dilakukan hanya dengan jentikan tangan. “Berat” satu kata yang mendeskripsikan seluruh yang ia rasakan sedari tadi.

***

            Wajah Gibran tak bisa membohongi semuanya. Aneisha yang menyelonjorkan tubuhnya sembari memainkan ponsel menjadi kepikiran setelah melihat wajah masam Gibran yang sudah melekat sejak keluar dari gedung rumah sakit.

            Lagi-lagi ia mengembuskan napasnya perlahan, memainkan jari-jemarinya sembari mengigit bibir.

Duh ... nggak usah pikirin yang enggak-enggak! Bisa aja Gibran lagi kepikiran urusan kerjaan. Batinnya menenangkan dirinya.

            Telapak tangannya perlahan memijat-mijat kepalanya. Kepalanya pusing. Sejak kehamilannya memasuki trimester kedua, kepalanya menjadi sering linglung dan yang makin membuatnya sedih karena Gibran selalu pulang larut malam dengan alasan pekerjaan.

            Terkadang kondisinya yang seperti inilah yang membuat mood-nya selalu naik turun bak roller coaster, sesekali hatinya dibuat berbunga-bunga, lalu diterjun bebaskan lagi tanpa harapan.

            Hoek ... hoek ...

            Ia bergegas beranjak dari kasurnya, menuju toilet sebelum isi perutnya keluar. Sedang Gibran belum juga tersadar dari lamunannya yang membuat wajahnya masam.

            Hoek ... hoek ...

            Suara itu terdengar kembali, menggema akibat berada dalam toilet. Tiba-tiba sorot mata Gibran menjadi tajam, tersentak mendengar suara istrinya. Lelaki itu berlari menuju toilet, menepuk-nepuk punggung Aneisha agar cepat lega.

            “Bi, kamu nggak apa-apa?” tanya Gibran dengan raut wajah khawatir.

            Aneisha memandang Gibran dengan sorot mata berkaca-kaca, mengulum bibirnya. Tak lama setelahnya, ia tampak menunduk berusaha mengalihkan pandangannya dari mata lelaki itu.

Kali ini menatap suaminya terasa susah baginya, semakin melihatnya, semua pikiran buruk seraya terlintas cepat dalam benaknya. Membuatnya menahan sesak yang tak dapat ia jelaskan kepada siapa pun.

            Kedua matanya berkedut, bulu matanya bergetar diikuti bibir tipisnya yang ikut bergetar. Perempuan paruh baya itu bergidik ngeri sembari mengusap matanya dengan ragu. Telapak tangannya terasa membeku.

            Gibran memiringkan kepalanya kebingungan, ia merasakan keanehan pada istrinya. Lelaki itu menelan salivanya terlebih dahulu, lalu mengarahkan telapak tangannya yang besar itu mencakup seluruh pucuk kepala Aneisha dan berkata lembut tanpa menguarkan emosi.

“Bi, kamu kenapa? Kamu ada masalah? Boleh, kok, kalau mau cerita sama aku?” tawar Gibran sembari berusaha menekukkan lututnya.

            Aneisha menatap Gibran sekilas, lalu kembali menunduk. Ia menggeleng perlahan, bibirnya kembali melengkung. Semua yang ia lakukan berdasarkan rasa ragu dan ketakutannya.

“Ehmm … nggak, Bi.” Bola matanya mengarah ke kiri kanan, tak mau fokus pada Gibran.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang