Jakarta, 4 April 2004.
Awan berarak membentuk gumpalan hitam di langit. Gemuruh petir disertai desir angin terdengar begitu ricuh mengiringi rinai hujan yang membasahi rerumputan.
Isak tangis berserta rengekan seorang bayi memenuhi ruang bayi dengan ricuhnya, lalu menggiring bayi-bayi yang berada di sana ikut menangis.
Oek … oek … oek ...
Suara itu seketika membuat panik perawat yang sedang bertugas menjaga saat itu, dirinya kebingungan menenangkan bayi-bayi tersebut. Suara tangisan yang terdengar bersahut-sahutan membuat perawat berjubah putih tersebut pusing. Ia bingung menenangkannya.
Sementara itu, tampak seorang perempuan paruh baya sedang melawan mautnya hingga membuat panik satu ruangan. Jeritan histeris seorang lelaki paruh baya ikut ambil bagian dalam keramaian kala itu. Semua orang tampak beradu dengan masalahnya masing-masing. Bayi yang berada dalam incubator tersebut ikut merasa kesedihan di hari itu.
Suasana tersebut benar-benar terasa pilu, menyesakkan hati di kala kepergian seseorang yang disayangi. Perkataan hati yang belum sempat tersampaikan makin menghantam keras hingga menciptakan penyesalan bagi setiap insannya.
Hari itu seraya menjadi hari terburuk yang menyesakkan seluruh orang di gedung tersebut. Gadis itu tak mengerti apa-apa, ada rasa mengganjal dalam hatinya ditemani seluruh kepanikan yang menyelimuti. Malangnya gadis itu!
***
Tatapan nanar, jijik dan kesal bersatu padu pada bola mata Gibran. Ia sangat benci dengan Oydis, gadis itu yang menyebabkannya harus berpisah dari Aneisha.
Dasar anak pembawa sial! umpatnya dalam hati.
Kepalanya disagahkan dengan tangan dan sedikit memijat pelipisnya. Kehidupannya berubah sejak kepergian Aneisha. Mulai dari bisnisnya yang berantakan hingga orang yang mencaci makinya.
(Flashback On)
Hancur, semuanya benar-benar hancur sejak kepergian Aneisha. Gibran sangat berduka dengan kepergian orang yang benar-benar dicintainya. Tubuhnya terasa lemas dan tak memiliki semangat hidup.
Bagi Gibran, Aneisha itu ibarat gemintang sedangkan dirinya adalah bulan yang selalu menerangi malam bersamaan. Tak mau munafik, semua terasa hampa baginya.
“Mengapa kau meninggalkanku secepat ini? Katanya, kamu mau selalu bersama denganku. Kepergianmu membuat hidupku hampa. Aku masih membutuhkanmu.” - Gibran Haedar Lamont
Gibran jatuh terduduk, meraung-raung, memangil nama Aneisha. Ia tak memiliki sandaran lagi ketika dia sedang bersedih. Hanya sepai yang dia rasakan disini. Hidupnya menjadi hambar, membuatnya terus berkeluh di tekukan lututnya setiap malam.
Ia harus berpura-pura tak terjadi apa-apa pada Nabila. Gadis itu tak seharusnya mengetahui hal besar yang menghantamnya. Tak ada luka yang lebih menohok daripada merindukan orang yang tak bisa ia temui lagi.
Dadanya tersa sesak, begitupun napasnya yang terasa tercekat karena perbedaan dimensi membuatnya tak bisa menjangkau orang yang ia cintai.
Teleponnya berdering, tetapi kali itu dirinya tak mau mengangkatnya. Duka membuatnya tak berdaya. Ia terus menangis tersedu-sedu di kala langit sudah meredup.
Kringg … kringg …
Ia bersikap acuh, dan meninggalkan ponselnya yang terus berdering di tengah lelapan tidurnya.
***
Sinar matahari tampak meredup daripada biasanya, burung yang biasanya terdengar berkicau, hari ini tak berkicau menyambut hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dengan mata sembabnya, ia mulai membuka ponselnya dan melihat banyak panggilan tak terjawab.
Ia menghembuskan napasnya panjang, mengedipkan matanya berkali-kali, lalu mengangkat telepon yang berdering kembali tak lama setelahnya.
“Kamu itu gimana, sih? Kok, nggak professional banget jadi orang.” Amukan terdengar lantang diiringi geraman kesal dari ponsel tersebut yang seketika membuat mata Gibran membelalak kaget.
“Maaf, Pak!”
“Saya nggak mau tahu. Saya nggak jadi bekerjasama dengan perusahaan anda!”
“Ta—”
Sebelum Gibran memberikan alasannya, sosok yang baru saja menelponnya itu langsung mematikan telepon. Ia kembali memijat-mijat pelipis matanya pertanda pusing. Semuanya hancur.
Investor yang baru saja menghubunginya adalah satu-satunya cara untuk lelaki paruh baya tersebut mempertahankan bisnisnya, tetapi semuanya sudah terlambat.
Semuanya sudah terlambat, semuanya hancur!
Gibran benar-benar kesal bukan kepalang, ia menatap Oydis yang berada pada buntalan kain di ranjang bayi.
(Flashback off)
Sinar mentari meredup, diambil alih kegelapan langit ditemani bintang dan bulan. Malam ini tampaknya berbeda, semua tampak berantakan. Gibran tampak tak terurus, rambutnya menjadi gimbal dan wajahnya meruak penuh emosi.
Langkah tungkai Gibran terhenti di depan kamar Oydis, gadis itu sudah berusia lima tahun. Ia mulai memasuki kamar Oydis dengan penuh emosi, lelaki itu tak sedikit pun memberi kasih sayang pada gadis itu. Ia hanya dianggap pembawa sial.
Ada rasa marah di dalam hati Gibran setiap kali menatap wajah Oydis, semakin membuatnya membenci keberadaan gadis tersebut yang telah merenggut hal penting dalam hidupnya.
Lelaki itu membanting kasar pintu dan langsung menampakkan gadis yang tengah menatap ketakutan ke arahnya.
Brakk!
Langkahnya melembar dan langsung mendaratkan tamparan ke wajah gadis tersebut dengan penuh emosi.
Plak! Plak!
Hawa panas menjalar di kedua pipi Oydis, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Oydis ketakutan, tubuhnya gemetar, sambil menundukkan kepalanya setelah itu dan merasakan amukan Papanya.
Melihat kakaknya yang selalu mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, seringkali membuatnya iri. Tak munafik, Oydis selalu menatap dari kejahuan penuh harap. Mengharapkan mendapat kasih sayang dari orang tuanya.
Namun, kondisinya saat ini membuatnya ingin menenggelamkan harapannya itu. Setiap kali Gibran marah, lelaki itu selalu melampiaskan amarah padanya.
Tak lama setelahnya, Gibran meninggalkan kamar tersebut. Suasana kamar itu makin terasa menyeramkan, Oydis hanya bisa menangis dalam kesunyian malam tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...