Bab 4: Sebuah Persiapan dan Sambutan

53 5 0
                                    

Malam menyingsing digantikan sapaan fajar. Perlahan tapi pasti, sang mentari bersinar menyinari bumi. Beberapa saat kemudian, sang surya langsung disambut oleh kicauan burung yang hinggap pada ranting-ranting pohon.

            Mansion Gibran sibuk dengan persiapan mereka hari ini, sesuai dengan rencana minggu lalu. Hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu bertepatan pada lima bulan usia kandungan Aneisha.

            “Udah siapkan semuanya? Gak ada lagi yang ketinggalan?” tanya Gibran melihat ke sekeliling. Mereka semua tampak bersemangat mengetahui jenis kelamin janin dalam kandungan Aneisha.

            “Papa-Papa ... dedek bayinya kapan keluar? Nab-Nab udah nggak sabar tahu.” Nabila melompat-lompat, sedikit berjinjit mengecup perut mamanya.

            “Masih kurang empat bulan, sayang, buat kamu ketemu dedek bayinya,” jawab Aneisha mengusap lembut kepala Nabila.

Ia terkekeh, makin gemas melihat Nabila, lalu dalam sekejap, membayangkan janin yang berada dalam kandungannya sembari tersenyum.

            “Nggak bisa dipercepat, Ma? Biasanya kalau di Dufan kan, ada yang namanya fast pass, dedek bayinya nggak ada fast past, ya, Ma?” tanya Nabila dengan polos. Bola matanya memutar ke atas mencoba mengingat memorinya bersama orang tuanya saat berlibur.

            Tanpa berlama-lama, Nabila langsung mendengar tertawa dari dua arah yaitu kedua orang tuanya yang sudah menggelengkan kepala heran, sembari cekikikan mendapat pernyataan polos dari Nabila.

            “Hahaha ... ya, nggak bisa lah, cantikku Nabila.” Gibran gemas dengan tingkah laku Nabila. Telapak tangannya langsung dibentuk menguncup guna mencubit pipi gadis tersebut.

            Begitu pula dengan Aneisha yang ikut tertawa mendengarnya, mood-nya yang sedang tak stabil karena hamil membuatnya tak semurah senyum seperti sebelumnya. Senyum lebar yang jarang terlihat itu kembali muncul ke permukaan.

Benar, Nabila adalah mood booster-nya selain aksi konyol Gibran yang sering tak menentu itu.

            Nabila sangat bersemangat untuk melihat adiknya, ia langsung berlari menuju mobil yang terparkir rapi di depan mansion, meninggalkan Aneisha dan Gibran yang masih sibuk berbincang di ruang tengah.

            “Anak kamu, Bi.” Aneisha mengeleng-gelengkan kepalanya, sesekali mengulum bibirnya menatap punggung Nabila yang kian menjauh.

            “Itu juga anak kamu, Bi.”

Mereka sama-sama tertawa, melihat anak tunggal mereka yang sebentar lagi menjadi anak sulung. Tingkah laku Nabila yang polos dan asal ceplos membuat mereka gemas. Akhirnya, mereka berangkat menuju rumah sakit untuk konsultasi obgyn sekaligus memeriksa janin yang berada pada rahim Aneisha.

Di dalam mobil, Nabila tak bisa diam, gadis itu sudah lama tak keluar dari mansion. Ia berceloteh dari hal yang penting sampai yang tak penting, ngalor ngidul, bahkan setiap ia menemui objek yang menurutnya menarik, ia selalu bertanya. Perkataan itu terus disambungnya tanpa jeda sampai Gibran tak bisa menjawabnya karena selalu di sela oleh Nabila.

            Gibran ikut tersenyum tipis mendengarnya sembari menggeleng sekilas. Lama kelamaan, ia hanyut dalam perbincangan random dari Nabila yang tak berhenti sedikit pun dari tadi.

            Mereka sampai juga di gedung berwarna putih, di sana tampak beberapa mobil putih dengan sirine merah di atasnya yang sigap menolong orang saat ada panggilan.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang