Ruangan gelap dengan setiap ujungnya yang makin menambah suasana suram ruangan tersebut menjadi tempat Oydis harus bersarapan setiap hati. Tak ada lawan bicara, tak ada canda tawa dan semua menyesakkan di ruangan tersebut.
Kursi, meja dan kasur tipis yang sudah lapuk tersebut menjadi saksi buta semua tangis, rintih dan keseharian Oydis yang mengalami lara lebih kapasitas.
Gadis itu menatap kosong ke arah dindingnya yang terkelupas. Kamarnya sangat jelek dan bisa dibilang tak layak. Membersihkan kamar Nabila membuat iri di dadanya semakin membara karena gadis itu selalu disayang dan diberikan apa yang dia mau.
Lihatlah dirinya! Apa pun yang dilakukannya selalalu salah. Hanya mengambil napas saja sudah disalahkan. Bagaimana gadis itu mau berharap bisa seperti Nabila? Makin dipikirkan, makin sesak juga apa yang dia rasakan.
***
Gadis berusia lima belas tahun, bertubuh sedikit gempal, berkulit sawo matang, berkacamata bulat sudah bersiap-siap dengan pakaian putih abu-abunya. Namun, melihat bajunya di kaca membuatnya melengkungkan bibirnya sedih.
Baju seragamnya tampak sudah lusuh, dan menguning karena baju tersebut adalah baju bekas. Yaps, bekas baju Nabila semasa SMA, Gibran sama sekali tak mau mengeluarkan sepeser pun untuk membeli seragam baru untuk Oydis.
(Flashback on)
Wajah Oydis tampak semringah dan berseri. Akhirnya ia telah lulus dari SMP Budi Pekerti dengan predikat lulusan terbaik. Menjadi Penikmat luka di rumahnya tak membuatnya putus asa akan kehidupannya.
Berbagai gejolak terus beriringan datang padanya, bukan hanya sekali dia putus asa pada kehidupannya, bahkan tak terhitung dia mengeluh memikirkan kehidupannya nanti. Berkali-kali juga gadis tersebut meminta agar dirinya saja yang lebih baik meninggal daripada mamanya.
"Hidup itu pilihan. Namun, berada dalam situasi di mana tak dikasihi oleh seseorang membuat hidup semakin sulit. Mungkin, tak bernafas lebih baik daripada hidup dalam kondisi seperti ini." - Oydis Arisha Lamont
Gadis itu kembali menatap tumpukan kertas yang disatukan, menyatakan kelulusannya. Ia sedikit melompat-lompat menandakan kebahagiaannya. Oydis ingin memberitahukannya pada Gibran. Gadis itu memang tak pernah membagikan kesedihan maupun lukanya, tetapi dia selalu membagikan kebahagiaannya pada seluruh orang.
Kritt!
Baru saja ia masuk dengan wajah semringa, senyuman mengembang di wajahnya. Tiba-tiba tatapan tak suka Gibran sudah memandang tajam padanya dengan wajah sinis.
“Ngapain, senyum-senyum?” ketus Gibran mendelik. “Bikin suasana jadi jelek, aja,” sambungnya membuang pandangan seolah tak peduli kebahagiaan putrinya.
Ah … Oydis saja tak dianggap sebagai putri sejak kepergiaan Aneisha.
“Ma-maaf, Pa.” Gadis itu menyembunyikan senyumannya, lalu berusaha menyodorkan tumpukan kertas yang menyatakannya lulus dan menjadi predikat terbaik di angkatannya. Tangannya gemetar karena makin tangannya mendekat, di sanalah tatapan Gibran makin menajam.
Gibran berdecih, lalu mengempaskan tumpukan kertas tersebut dari genggaman Oydis hingga berserakan.
Srakhhh!
Tatapan Oydis tampak berkaca-kaca, gemetar. Tubuhnya seakan membeku beberapa saat sebelum menunduk mengambili tumpukan kertas tersebut. Ia tak mau menangis di depan Gibran karena dia tahu menangis di depan lelaki paruh baya tersebut hanya dapat memperkeruh suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
Teen FictionBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...