Ruangan serba pink dengan berbagai poster terpajang pada dindingnya serta tempat yang cukup tertata rapi itu menjadi tempat adik, dan kakak akhirnya berdamai sejenak setelah beberapa lama terdapat jarak yang membentang di antara mereka.
Oydis tersenyum, melihat kakaknya yang sudah kegirangan. Gadis itu sudah sedikit melompat-lompat, mendekat ke arah Oydis yang ditatapnya dengan ucapat terimakasih yang tak tersampaikan pada bibirnya.
Sejak kecil, Nabila memang sangat menyukai coklat. Apapun tentang coklat pasti dapat membuatnya bahagia, dan melupakan masalahnya sejenak. Bahkan, semasa kecilnya, gadis itu sering mendapat omelan karena sering mengalami sakit gigi karena terlalu banyak mengonsumsi coklat. Keresahannya selama beberapa hari ini akhirnya terjawab, gadis itu benar-benar menginginkan coklat Godiva, tetapi gadis itu memikirkan hal lain yang masih perlu di bayarnya, dan perlu menabung untuk membeli barang lain yang lebih berfaedah.
“Udah Kak, makan dulu ya!” titah Oydis yang seketika langsung dituruti oleh Nabila.
Gadis itu langsung memakan dengan lahap mie yang berada di depannya. Ia benar-benar sangat bahagia karena akan dibelikan coklat favoritnya.
“Nih, Kak. Aku buatin jus alpukat kesukaan kakak, extra coklat pastinya,” ucap Oydis sambil memberikan segelas jul alpukat yang sudah dipenuhi oleh susu cokelat yang mengitari setiap sisi gelas ke arah Nabila, dan langsung diambil dengannya cepat tanpa basa-basi.
Nabila langsung menyisip minuman tersebut, tak lupa mengembangkan senyuman di wajahnya sebagai tanda terimakasih pada Adiknya. “Tapi Dis, lo dapet uang dari mana?” tanya Nabila penasaran, ia meletakkan gelasnya pada nakas samping tempat tidurnya, sedangkan pandangannya tetap tertuju pada adiknya yang bersikap malang.
Terkadang, ada sesekali dirinya merasa sikapnya keterlaluan pada adik semata wayangnya. Namun, melihat foto keluarga lengkapnya bersama Mamanya, seketika merubahkan segalanya. Membuat gadis tersebut menatap penuh benci pada gadis yang menyebabkan meninggalnya Mamanya karena melahirkan anak tak tahu diuntung satu itu.
Oydis menghembuskan napasnya panjang, meluapkan kekesalannya yang tak boleh terlepas. Dikira semiskin itu kah dia? Ia sangat pandai dalam hal menabung. Sayangnya saja, memang uangnya tak sebanyak uang jajan Nabila setiap harinya. Mengingat posisinya di rumah yang terkadang membuat orang geleng-geleng kepala melihatnya, dan merasa kasihan pada nasib gadis malang yang tak pernah di anggap keberadaannya dalam keluarga.
“Kan, Oydis punya tabungan, Kak. Meskipun gak banyak, sih, tetapi cukup kok buat beliin kakak Godiva,” jawab Oydis dengan senyum palsu.
“Lo kok bisa nabung, sih, Dis. Perasaan uang jajan lo selalu dikit, buat makan aja kurang.” Nabila berusaha menduga-duga, jari-jemarinya berkali-kali diketukkan pada dagunya seolah sedang berpikir. “Lo gak lagi bohongin gua, kan, Dis.”
Kata-kata Nabila seketika membuatnya sedih, seburuk itukah pandangan Kakaknya terhadap dirinya. Padahal gadis itu selalu terbuka pada keluarganya, dan yang terpenting, ia tak pernah berbohong ataupun tak menepati janji. Oydis masih terdiam, dan memperhatikan setiap sudut kamar Nabila dengan bibir yang terkatup, termenung.
“Ohhh … gua tau, lo gak mau jadi beban keluarga terus, kan. Mangkannya lo nabung biar bisa hidup sendiri, dan cepat-cepat angkat kaki dari rumah ini, kan,” ucap Nabila dengan santainya, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Mendengarnya membuat hati Oydis yang penuh luka itu tersentil dalam.
Bukannya merasa bersalah, gadis iru malah memakan mie instan dengan lahap ke mulutnya tanpa memikirkan perkataannya yang sudah memberikan luka baru pada Oydis.
Mata Oydis tampak berkaca-kaca, kemudian gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali agar air matanya tak langsung mencelos di depan Kakaknya. Sumpah, gadis itu paling tak suka menebarkan kesedihannya dengan orang luar sehingga sebisa mungkin menutup rapat masalahnya sendiri.
“Uhukk-uhukk!”
Oydis langsung tersentak, tangannya langsung mengapai jus alpukat dari nakas, dan menyodorkan pada Nabila yang tengah tersedak karena mengonsumsi mie instan. Dengan sigap, Nabila menerima, dan menyisip minuman tersebut hingga tak tersisa sedikitpun.
“Kayaknya ada yang ngomongin gua, nih atau ada yang gak suka sama gua sampe doain gua keseleg mie instan macem gini.” Nabila tak hentinya ngedumel, kesal karena kejadian tersebut menganggu menikmati mie instan favoritnya. Ia malah menatap Oydis dengan wajah kesalnya, mengira Oydis lah yang mendoakannya yang tidak-tidak.
Rasain lo, siapa suruh seudzon mulu ama orang. Dikasih hati malah minta jantung ya kayak Nabila ini.
“Kak, tenggorokan kakak masih sakit?” tanya Oydis perhatian sembari menekukkan dahinya.
Nabila mengangguk, menatap sinis tak suka pada Oydis kemudian merolling matanya malas. “Banget, lo habis rasain gua karena duit jajan lo abis, kan. Buat beliin coklat Godiva,” sinisnya dengan tatapan menajam tak suka, setengah tersenyum menatap Oydis yang masih berada di kamarnya.
“Ga-gak, Kak. Buat apa juga doain Kakak yang jelek-jelek,” bantah Oydis mendelik, tak terima dituduh melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan olehnya kepada saudaranya sendiri.
Tak ingin berdebat, dan menyinyiakan kesempatan dibelikan coklat Godiva. Nabila memilih untuk diam, menyodorkan mangkuk kosong, tak tesisa, dan gelasnya yang sudah bersih ke atas nampan. Gadis tersebut kemudian langsung tersenyum, memainkan ponselnya sembari menenggelamkan dirinya pada bedcover yang begitu lembut.
“Yaudah, Kak. Oydis keluar dulu ya.” Ucapan Oydis tak mendapatkan balasan dari Nabila. Kakaknya hanya meliriknya kemudian menggembangkan senyuman di wajahnya.
Oydis, lalu terburu-buru menutup pintu kamar Kakaknya dengan lembut, buru-buru membersihkan piring sekaligus menyelesaikan pekerjaannya sebelum Papanya pulang.
Terpantau sudah satu jam gadis bertumbuh gempal itu berkutat pada pekerjaannya, keringat pun sudah membasahi sekujur tubuhnya. Setelah memastikan seluruh pekerjaannya selesai, ia buru-buru pergi menuju kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu rumahnya.
Ruangan pengap, dan lusuh yang benar-benar mengenaskan. Disanalah gadis tersebut mengecek saldonya dari m-banking ponselnya, dan mengecek isi saldonya.
Gadis tersebut menghela napas sejenak, sepertinya dia bulan ini batal untuk membeli seblak ceker Mang Ade karena membelikan coklat Godiva yang bisa terbilang mahal harganya, dan cukup merogoh kocek tabungannya.
Namun, bukan rasa sedih yang dirasakannya karena batal membeli seblak, melainkan rasa bahagia karena berhasil membuat orang terdekatnya senang. Itulah Oydis, dia tak peduli seberapa besar keinginannya, tetapi dirinya akan mengutamakan keinginan orang terdekatnya karena hal tersebut merupakan bukti sayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oydis' Story [END]
JugendliteraturBagi beberapa orang, keluarga mungkin adalah tempat ternyaman untuk mencurahkan semua perasaan. Tetapi tidak untuk gadis yang bernama Oydis Arisha Lamont, ia benar-benar tak percaya, bahwa keluarga adalah tempat ternyaman dalam hidup, dan malah kelu...