Bab 12: Lara yang Menghantam

52 3 0
                                    

Hanya lara yang selalu dirasakan oleh gadis yang malang itu, dia hanya penikmat lara tak berujung. Semua orang seraya membencinya, membuatnya tak tahan lagi menghadapi kejamnya dunia.

            Ruangan kecil nan pengap itu tampak tak terurus, tidur di ranjang tipis yang sudah mengeluarkan per seringkali membuat punggungnya sakit.

            Telinganya mendengar suara ayam berkokok dan burung berkicaun dari dekat jendelanya. Entah mengapa, ketika dirinya menatap beberapa pemandangan di kamarnya selalu terbesit rasa sesak di dadanya.

Tanpa ia sadari, pelupuk matanya sudah tak mampu membendung air mata lagi. Setiap kali dia terluka ataupun bersedih, yang bisa ia lakukan hanyalah memandang iri beberapa orang yang begitu menikmati kehidupannya. Sesekali ia ingin merasakan kasih sayang, tetapi hal itu seraya mustahil ia gapai.

Ia memandang sudut tembok berwarna putih, mencoba membenturkan kepalanya. Gadis itu berpikir jika ia membenturkan kepalanya, maka dia tak akan merasakan rasa sakit yang kian menyelimutinya.

Oydis mengigit bibirnya, mengingat seluruh perkataan dari orang di sekitarnya yang masih tersimpan rapi pada ingatannya. Itu semua begitu menyakitkan!

“Dasar anak gak tahu diuntung!”

“Lahirnya aja tanggal sial, pantes aja jadi pembawa sial!”

“Kamu itu nggak berguna!”

“Dasar pembunuh!”

“Harusnya yang mati itu lo, bukan istri saya!”

“Buat apa, sih, lo masih bernafas? Ngurangin oksigen aja di rumah ini.”

Sesak selalu mengahantam hatinya, tidak ada sedikit pun rona kebahagiaan yang ia tangkap ketika melihat dirinya sendiri melalui pantulan kaca.

Itulah yang selalu dirasakan oleh Oydis selama lima tahun masa hidupnya. Kata-kata yang seharusnya tak pantas didengar anak sebayanya, sering mencuat dari orang-orang sekitarnya. Ah … bahkan keluarganya berlaku seperti itu padanya.

Luka yang tak pernah hilang dari padanya dan selalu kembali perih setiap ingin pulih dari semua yang dirasakannya. Luka yang entah kapan hilangnya. Untuk saat ini, dirinya hanya bisa bungkam sembari menyimpan semua rasa akibat keegoisan semesta.

Keegoisan semesta karena memberikannya hidup di mana dia tak dapat menikmatinya. Di mana dia harus hidup dalam kesesakan dan penyiksaan batin. Sungguh melelahkan menjadi dirinya yang harus menelan seluruh kepahitan di masa belianya.

Ia mengembuskan napasnya panjang, menyembunyikan perasaan lelah pada dirinya. Membersihkan ruang demi ruang sebelum sinar mentari menembus setiap ruangan yang ada dan membangunkan seluruh penghuni rumah.

Pojok demi pojok ruang ia susuri sembari mengingkat rambut, mengembuskan napasnya panjang. Rutinitas harian yang melelahkan ini terpaksa harus ia lakukan agar tak mendapatkan kecaman lebih lagi dari Gibran–papanya.

Setelah membersihkan setiap sisi rumah dan membuang sampah bekasnya di luar. Ia meregangkan sekujur badannya yang sudah lelah, lalu bergegas ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarganya.

Jarum pendek pada jam dindingnya sudah menunjukan angka lima di mana sebentar lagi Nabila dan Gibran akan terbangun untuk menyambut paginya. Ia harus selesai menyelesaikan seluruh tanggung jawabnya sebelum mereka terbangun jika tak mau menerima tamparan ataupun cacian dari mereka.

Oydis melihat bahan makanan yang ada di kulkas, memikirkan apa yang kiranya bisa ia masak hari ini. Pilihannya jatuh pada menu chicken katsu.  

Setelah cukup lama bergelut dengan panci dan minyak panas, akhirnya Oydis selesai memasak katsu yang aromanya sangat menggugah selera.

Sejenak setelah selesai memasak, dirinya mengibas-ngibaskan tepung yang menempel pada apronnya sebelum melepaskannya dan menggantungkannya pada hanger dapur.

Oydis tersenyum menata chicken katsu yang sudah ia masak serapi mungkin agar terlihat lebih menarik. Ia menambahkan selada, mayo dan saus tomat yang ia bentuk seperti hati. Meskipun ia tak dapat menerima cinta, tetapi dirinya tetap memberikan dedikasi pada keluarganya dengan tulus dan mencintai mereka.

Gadis baik, multitalenta, tetapi bernasib malang karena semua hal yang terjadi di saat kelahirannya. Sebenarnya, ia tak mau kejadian itu terjadi, tetapi bagaimanapun semua terjadi bukan karena kehendaknya.

Bertepatan pada saat itu, gadis yang lebih tua darinya keluar dari kamar dengan rambut yang masih berantakan dan jangan lupakan mulutnya yang sudah terbuka lebar menguap. Disusul oleh lelaki paruh baya berpakaian kaos oblong dan celana pendek yang berjalan beriringan dengan gadis itu di sela canda tawanya.

Mendengarnya membuat dadanya sesak hingga menghantam relung hatinya. Oydis hanya menatap dari kejauhan, lalu mulai menyingkir membawa satu piring makanan dengan tatapan sendunya.

Tatapan yang memiliki sejuta makna, entah mengandung kesedihan, maupun hal lainnya yang tak dapat di deskripsikan kembali akibat lukanya yang terlalu banyak.

Langkah tungkai Oydis berdiri tepat pada ujung pintu kamarnya, menatap kehangatan keluarga yang sudah lama ia harapkan. Tak munafik, memandang mereka membuatnya makin iri dan terus mengharapkan keajaiban datang padanya.

Setiap malam, ia selalu merapalkan doanya sambil terisak tangis berharap sekali saja semesta berpihak kepadanya untuk melembutkan hati Gibran. Tak pernah ia dapat makan semeja dengan keluarganya, ia harus makan di kamarnya yang tampak tak layak dan pengap tersebut.

Ah … bahkan dirinya tak pernah dianggap keluarga sekalipun oleh mereka. Selalu dianggap sial-sial, dan sial.

“Ngapain kamu masih di sini?” ketus Gibran menyindir, salah satu tangannya menunjuk ke arah Oydis dengan mata melotot. Sorot matanya menajam tak suka.

Tubuh Oydis gemetar, ia berusaha menunduk, lalu memalingkan tubuhnya. Kakinya tampak gemetar ketakutan di setiap langkahnya.

Oydis berusaha patuh menuruti perkataan pria paruh baya tersebut. Mendengar tawa yang makin kencang, membuat napasnya makin tercekat. Bagaimana bisa mereka bahagia tanpa ada dirinya?

Ah … dia hampir melupakan fakta yang menyakitkan. Kan, dia tak pernah dianggap keluarga oleh mereka. Memang sakit, tetapi memang itu realitanya.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang