Bab 27: Rasa yang Terbesit

49 2 1
                                    

            “Aduh! Dasar Oydis ceroboh!” umpatnya dalam hati, kemudian gadis itu langsung mematikan api kompor, dan berlari ke arah Nabila yang sudah berteriak dari ruang tamu dengan menghentakkan kaki.

            Nabila sedang gak mood, dirinya malas berdiam diri di ruang tamu sehingga memilih untuk naik ke kamarnya saja. Setidaknya, ranjang adalah tempat yang sangat nyaman baginya untuk meluapkan emosi sekaligus mengisi energi untuknya.

            “Kak, kenapa mangil Oydis? Mie kakak masih Oydis masakin, belum matang,” ucapnya menatap Nabila. Dahinya dibuat mengernyit, kenapa gadis yang biasanya kalem itu malah menghentak-hentakan kakinya? Otaknya seraya langsung mencerna, mengetahui, bahwa kondisi mood Kakaknya itu sedang tak baik-baik saja.

            “Nanti anterin ke kamar, gua mau balik kamar. Masa mie aja lama banget,” ketus Nabila mendengus, sorot matanya menajam tak suka pada Oydis, kemudian melenggang pergi.

            Oydis sungguh kesal, dikira masak mie instan tinggal dibumbuin gak pake di rebus kali, mintanya serba cepet mulu. Sumpah, kalau gak mengingat posisinya di rumah, gadis itu sepertinya sudah menyiramkan air mendidih pada tubuh Nabila. Kesabarannya yang selama ini ditahannya, lama-kelamaan habis di kikis oleh omelan Nabila yang kadang gak ada jelas-jelasnya sama sekali.

            Gadis tersebut mengangguk, membentuk tanda oke menggunakan jarinya, kemudian kembali lagi ke dapur melanjutkan memasak yang sempat tertunda karena panggilan dari Nabila.

            Ia langsung memasak hingga mie tersebut mendidih, dan menuangkan di mangkuk milik Nabila. Gadis itu mengambil nampan, kemudian membawanya ke kamar Nabila, sebelum Kakak semata wayangnya itu memberikan titah yang semakin aneh saja.

            “Tok-tok-tok!”

            “Kak Nabila,” panggil Oydis perlahan, dengan tangannya yang masih memegang nampan.

            “Tok-tok-tok!”

            Nabila tak kunjung membukakannya pintu, membuatnya makin khawatir dengan keadaan yang menimpa Kakaknya sebenarnya. Memang, biasanya Kakaknya itu tak hentinya membuatnya kesal, tetapi dirinya memiliki rasa peduli pada Nabila sebagai keluarga.

            Walaupun tak pernah dianggap keluarga, dan malah dianggap babu, gadis tersebut tetap menyanyangi Papa, dan Kakaknya. Intinya, kelebihan dari Oydis adalah hatinya yang sangat baik, dan selalu memaafkan perbuatan orang lain padanya. Hal itulah yang seringkali membuatnya dimanfaatkan oleh orang lain.

            “Kak, mie instannya sudah jadi buat Kakak,” ucap Oydis berharap mendapatkan respon baik dari Kakaknya.

            Oydis menghela napasnya panjang, berusaha menenangkan dirinya. Jujur saja, kondisi Nabila yang lebih banyak diam seperti ini lebih membuatnya khawatir daripada mendapatkan omelan bertubi dari Kakaknya. Ingatannya seakan berkelana saat kaki Nabila dihentak-hentakan kesal sebelum pergi ke kamarnya.

            Ah ya, otaknya mencerna sesuatu. Dapat dipastikan gadis itu gak mood setelah melihat ponselnya. Entah itu karena temannya yang mengesalkan maupun kekasih Nabila. Pikiran gadis itu benar-benar dipenuhi oleh banyak hal mulai dari memikirkan judul skripsi yang akan dibuat untuk sidang kelulusan semester depan.

            Beberapa kali ketukan pintu pada kamar Nabila, tetapi sang pemilik kamar tak kunjung keluar menghampiri Oydis. Gadis itu menghembuskan napasnya kasar, mie yang dibawanya pun sudah tak sepanas sebelumnya karena menunggu Nabila. Membuatnya memikirkan sesuatu untuk mengantarkan makanan pada Kakaknya hingga dapat dinikmati hangat-hangat oleh Kakaknya.

            Setelah pemikiran yang cukup matang, gadis tersebut memasuki kamar tanpa permisi, mengecek keadaan Kakaknya yang membuatnya khawatir. Sumpah, jantung Oydis hampir berlari dari tempatnya. Ia takut memperoleh amukan dari Kakaknya, tetapi rasa khawatirnya kali ini lebih kuat daripada rasa takutnya.

            Matanya dibuat membelalak ketika melihat selimut sudah bergunduk dengan sedikit gemetar, dan terdengar isakan tangis lirih-lirih. Sudah dipastikan, kakaknya sedang banyak pikiran. Suasana kamar itu gelap, membuat Oydis memutuskan untuk menekan tombol saklar kamar Nabila agar tak tersandung saat mengantarkan makanan.

            Lampu yang menyala, membuat Nabila sedikit tersentak, dan menjeda isak tangisnya untuk sejenak. Meskipun isaknya dijeda olehnya, tetapi napasnya masih sesegukan karena gadis itu belum sepenuhnya membaik dari kesedihan yang menimpanya.

            Entah kesedihan apa yang menimpa Kakaknya, tetapi yang bisa dilakukan oleh Oydis untuk saat ini hanyalah mencoba menenangkan Nabila tanpa harus mengetahui permasalahannya.

            “Kak, yuk makan dulu,” pinta Oydis pelan sembari mengendapkan kakinya perlahan, takut menganggu privasi kakaknya.

            Nabila masih tetap bersembunyi di dalam selimut itu, menyembunyikan mata sembabnya. Ia tak mau terlihat lemah di depan Oydis, dan mau mempertahankan pesona galaknya di depan Adiknya. Gengsinya lebih besar saat ini, padahal perutnya sudah berkeriuh meminta diisi.

            “Kak, makan ya?” Nabila masih terdiam, Oydis menghela napas pelan, kakaknya enggan merespon perkataannya. Sepertinya ia harus lebih sabar agar kakaknya mau makan, dirinya takut terjadi apa-apa dengan orang yang dia sayangi. “Nanti kakak sakit kalau gak makan,” sambungnya menatap sendu ke arah kakaknya.

            “Nanti kalau kakak makan, Oydis beliin coklat Godiva, deh, gimana?” tawar Oydis seketika membuat Nabila keluar dari persembunyiannya, dan mentap semringah pada gadis tersebut. Tak dapat dipungkiri, ia memang sangat menyukai coklat, dan selalu tak dapat menolak makanan dingin manis itu.

            “Beneran?” tanya Nabila memastikan. Matanya memandang penuh harap pada Oydis, kali ini bukan dengan tatapan penuh benci yang biasanya ditujukan kepada adiknya.

            Oydis mengangguk, mengembangkan senyuman di wajahnya. “Iya, tapi kakak makan dulu, ya?” pinta Oydis membuat Nabila ikut mengembangkan senyum di wajahnya di tengah sesegukannya. “Oydis khawatir,” sambungnya mengatupkan bibirnya, mencodongkan tubuhnya ke depan, makin mendekat pada ranjang Nabila.

            “Janji?” tanya Nabila sekali lagi memastikan, ia masih belum yakin dengan perkataan adiknya.

            Oydis menatap lekat Nabila, mengangguk perlahan sebelum tersenyum kecut. Mengingat isi dompetnya yang tak seberapa, tetapi gadis itu memang berhati sangat baik, selalu melakukan apapun demi keluarganya.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang