Bab 19: Hayal yang Tak Hayal

31 3 0
                                    

Oydis hanya terdiam, dirinya tak memiliki siapapun untuk bercerita sehingga membuat gadis itu menjadi sosok orang yang tertutup. Dirinya hanya bisa merenung, pandangannya tampak kosong, dan pena yang dipegangnya menjadi gemetar.

            “Kamu kuat Oydis, jangan jadi gadis lemah!” batinnya berusaha menguatkan dirinya. Setidaknya dia harus bertahan untuk orang-orang yang menyanyanginya bukan. Walaupun dia yakin dia tak akan disayangi oleh siapapun di dunia ini, ia sadar bahwa dia hanyalah anak pembawa sial, tak diharapkan, dan masih banyak kata lain yang mengambarkannya.

            Ia berusaha tenang, dan melupakan kejadian tadi. Memperhatikan penjelasan guru yang sedang mengajar sembari sesekali melirik temannya yang berada pada bangku sebelahnya yang sudah memijat-mijat pelipis matanya pertanda pusing.

            Kepalanya seraya berdenyut setelah mendengarkan guru tersebut mengajar. Bukannya Oydis bodoh, dia malah murid terpintar, dan teraktif di kelas. Namun, otaknya kali tak bisa diajak berkerjasama sehingga membuatnya pusing sendiri memikirkannya.

            Pagi-pagi malah disuruh melihat angka berderet yang makin membuat energinya terkuras karena berusaha memahaminya. Semuanya makin terasa berat, melihat teman sekelasnya sudah tertidur mendengar guru yang menjelaskan bak pendongeng andal.

            Gadis itu berusaha mengusap-usap matanya, kemudian mendesah, kembali melihat soal-soal di papan tulis yang makin lama tampak kabur dari pandangannya. Kepalanya disenderkan di meja sesekali, tetapi matanya terpejam karena kantuknya tiba. Oydis tak bisa tertidur tenang semalam karena pikirannya benar-benar bercabang, membuatnya makin tak bisa tidur.

            “Oydis, sudah ada yang dikerjakan?” tanya Bu Revi menatap heran pada gadis tersebut. Terbesit rasa iba pada kondisi gadis tersebut, ia mengerti sedikit demi sedikit permasalahan keluarganya yang selalu menganggap gadis tersebut adalah pembawa sial. Hatinya terasa sedikit teriris, menatap gadis itu yang penuh lebam.

            Hanya Bu Revi lah yang masih memiliki rasa peduli pada Oydis. Perempuan paruh baya yang kurang lebih berusia tiga puluh tahun itu, berjalan mendekat menuju meja gadis bertumbuh gempal tersebut.

             Guru tersebut memang bersuara sangat pelan hingga membuat Oydis menggantuk, tetapi sikap guru tersebut membuat gadis itu seketika merasa respect padanya. Biasanya guru-guru di sekolahnya, bahkan tak memahami keadaannya, dan malah menjatuhi hukuman dimana membuat gadis tersebut menerima hukuman berlebih di rumah.

            Oydis mengangkat kepala. Bingung, kenapa dia ditanya tiba-tiba. Biasanya Bu Revi tak pernah melontarkan pertanyaan kepada murid seaktif dirinya. Gadis itu mengerjapkan matanya, berusaha menfokuskan pandangannya yang semula kabur karena baru terbangun dari tidurnya. “Iya, Bu,” sahutnya dengan suara sedikit serak akibat baru bangun tidur.

            “Kamu sakit?” tanya Bu Revi prihatin, menekuk dahinya. “Atau kamu lagi ada masalah lagi sama orang tuamu,” sambungnya berusaha menebak semuanya setelah melihat raut wajah gadis itu yang tampak lesu.

            Oydis mendagangkan pandangannya, seolah perempuan yang sudah memasuki usia paruh baya tersebut mengerti apa yang dipikirkannya saat ini. Kemudian dia langsung menggeleng, berusaha menutupi aib keluarganya walaupun dirinya tak pernah dianggap keluarga oleh mereka. “Enggak Bu, saya cuma kurang tidur aja,” ujar Oydis menutupi masalahnya, tersenyum kecut menyembunyikan seluruh luka yang dirasakan dimana pun dia berada.

            “Kalau begitu tegakkan kepalamu, dan jika ada masalah apapun, Ibu siap menjadi tempatmu bercerita ya, anggap aja Ibu sahabat kamu,” ucap Bu Revi dengan suara yang lembut membuat perlahan hati Oydis tenang.

            “Maaf, Bu. Boleh saya permisi ke belakang? Saya ingin mencuci muka,” ucap gadis itu jujur, dia selalu berbicara sesuai dengan fakta yang di alaminya, tanpa takut menerima konsekuensi dari orang lain.

            “Silahkan.”

            Oydis beranjak dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju toilet dengan tubuh ringkihnya. Dia merasa seperti sampah karena selalu diremehkan oleh orang-orang terdekatnya. Hanya beberapa orang yang peduli padanya, bahkan yang peduli padanya dengan sungguh-sungguh bisa di hitung oleh jari telapak tangannya.

            Sementara itu, Bu Revi terdiam sejenak setelah duduk di meja guru, melamun memikirkan keadaan muridnya yang harus menelan pahitnya dunia di usia yang harusnya masih bersenang-senang. Perempuan paruh baya itu terhenyak melihat senyum palsu yang terpampang pada wajah Oydis. Ia sangat yakin dengan hal tersebut walau hanya dengan sekali pandangan saja.

            Oydis terlalu tertup soal masalah pribadi, terutama masalah keluarganya, walaupun ia terkadang mendapatkan orang-orang yang siap mendengarkan keluh-kesahnya. Dia tak dapat mudah percaya dengan orang lain sekaligus menutupi kekurangan keluarganya yang bisa saja dianggap aib oleh orang lain.

            Gadis itu tak pernah menyinggung soal keluarganya. Beberapa orang yang mengetahui permasalahan keluarganya hanyalah dari simpang siur buah bibir yang tersebar di sekolah. Jika ada beberapa orang yang tampak peduli, dan menyinggung tentang keluarganya, ia akan berusaha mengalihkan pembicaraan.

            Oydis menegakkan kepala saat mendengar suara riuh di lapangan. Ia penasaran, lalu berjalan mendekati balkon, mengintip ke bawah, ternyata ada yang sedang memakai lapangan basket. Oydis jadi mengingat kejadi tadi pagi yang makin membuat luka tersebut terasa perih baginya.

            Ada rasa sesak di dadanya mengingat kejadian yang hampir saja merenggut nyawanya karena cengkraman yang begitu kuat dari Mary. Telapak tangannya dipegangkan di dada yang terasa sesak, kemudian dirinya langsung melenggang pergi secepatnya menuju kamar mandi.

            Gadis itu langsung mengunci dirinya di kamar mandi, terbatuk-batuk, dan memegang dadanya yang terasa sakit seperti sedang ditekan. Telapak tangannya langsung meraba-raba kantung roknya, mencari Inhaler yang selalu menemaninya.

            Oydis membenarkan posisinya, duduk tegap, mengocok inhaler di tengah dadanya yang benar-benar sakit, lalu menghembuskan napasnya. Inhaler diletakan di antara dua giginya, menghirup napas sekaligus menyeprotkan obat dari inhaler-nya. Ia melakukannya dengan perlahan, lalu menahan napas hingga dadanya terasa lega, dan menghembuskannya perlahan.

            Gadis itu tersenyum sendu, mengingat kondisinya yang mulai menurun akhir-akhir ini, bahkan dirinya tiba-tiba di diagnosis menderita asma karena mengalami stress belakangan. Semua terasa hayal, tetapi setelah gadis itu mencubit pergelangan tangannya, ia baru menyadari, bahwa semua itu adalah realita dimana ia harus bertahan, dan bergantung pada sebuah alat bernama inhaler.

Oydis' Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang