72. Pembicaraan Serius Dengan Calon Mertua

75 6 2
                                    

Janji yang pernah kuucapkan dulu sangat membebaniku.
Aku sungguh ingin menepatinya, tapi aku tak yakin apakah aku sanggup melakukannya.

Minggu Ke-40
Hari Kamis

💜💙💜

Surya menghentikan mobilnya agak jauh dari rumah Wulan. Masjid yang berada di seberang rumah Wulan baru saja selesai menyelenggarakan sholat Ied dan para jamaah mulai meninggalkan halaman masjid. Sepanjang gang penuh dengan kendaraan jamaah yang diparkir di tepi jalan. Surya duduk menunggu di dalam mobilnya hingga kendaraan-kendaraan itu keluar dari gang satu per satu, lalu dia menjalankan mobilnya ke depan rumah Wulan dan parkir di sana.

Surya tak menduga bahwa dia sampai di Jogja terlalu awal. Dia kira, dia akan tiba di rumah Wulan lama setelah sholat Ied usai. Dia mengemudi terlalu cepat dan berangkat terlalu pagi karena sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Wulan.

"Mas Surya. Sehat, Mas?" Ayah Wulan yang sedang duduk di kursi teras langsung berdiri menyambutnya.

Surya mengulurkan lengan kanannya, menyalami calon mertuanya.
"Sehat, Pak. Sugeng Riyadi, nggih, Pak. Mohon maaf lahir dan batin."

"Maturnuwun, Mas. Ayo, masuk." Ayah Wulan mempersilakan sambil berjalan memasuki pintu rumah.

"Wulan!" Ayah Wulan memanggil, "Mas Surya datang."

"Kita duduk di sana, Mas," ajak ayah Wulan sambil berjalan ke ruang tengah dan duduk bersila di hamparan karpet. Surya mengikuti, duduk di seberangnya. Mangkuk-mangkuk besar berisi ketupat, opor, sambal goreng telur, dan beberapa macam kue terhidang di atas karpet.

Wulan muncul dari dapur membawa setumpuk piring sambil tersenyum riang. Dia meletakkan piring yang dibawanya ke atas karpet, lalu duduk di sebelah Surya dengan canggung. Andai tak ada ayahnya, dia pasti sudah lari menghambur ke pelukan Surya.

"Selamat Lebaran, ya," ucap Surya pelan.

"Makasih, Mas," jawab Wulan malu-malu. "Tadi berangkat jam berapa, kok, udah sampai jam segini?"

"Sekitar jam 5."

"Ooo ...."

"Wulan, potongin ketupat untuk Mas Surya. Silakan makan, Mas," ujar ayah Wulan ketika adik-adik Wulan sudah muncul dari pintu kamar masing-masing dan duduk bersila mengitari karpet, lalu menyalami Surya.

"Terima kasih, Pak. Nanti saya ambil sendiri saja," jawab Surya segan.

"Nggak apa. Biar Wulan latihan jadi ibu rumah tangga. Nantinya harus bisa melayani suami."

Sasa cekikikan. Ivan dan Yogi tersenyum geli. Wulan dan Surya tersipu karena ayah Wulan tidak tahu bahwa selama ini yang terjadi justru kebalikannya. Surya yang selalu menyiapkan sarapan untuk Wulan dan membawakannya ke kamar atau ke balkon. Tampaknya hal itu akan berlanjut setelah mereka menikah nanti.

Surya membiarkan Wulan menyiapkan isi piringnya dan mengulurkan ke tangannya dengan malu-malu. Dia menunggu hingga Wulan selesai mengisi piringnya sendiri dan semua anggota keluarga Wulan sudah memegang piring berisi makanan, baru dia mulai makan.

"Enak," puji Surya sambil menoleh ke arah Wulan dan Sasa. "Siapa yang masak? Wulan dan Sasa?"

Sasa kembali cekikikan. Ayah Wulan tertawa.

"Pesan sama tetangga, Mas. Ada yang kateringan," kata ayah Wulan. "Mohon kesabarannya, ya, Mas. Wulan belum pintar mengurus dapur."

Surya tersenyum simpul.
"Nggak apa-apa, Pak. Sekarang perempuan banyak yang sibuk berkarir jadi nggak punya banyak waktu luang di dapur. Tapi bisa dipelajari pelan-pelan, kok."

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang