73. Serasa Berada di Ujung Jalan Buntu

65 7 0
                                    

Antara kamu dan orang tuaku, mana yang harus aku pilih?
Aku tak ingin ada yang kecewa.
Aku ingin semua bahagia.

💛💜💛

Wulan muncul dari ambang pintu dengan wajah ceria, sangat kontras dengan ekspresi wajah Surya dan ayahnya yang terlihat risau. Wulan menatap kedua orang yang dicintainya itu dengan cemas.

"Ada masalah apa, Yah? Mas?" tanya Wulan sambil menatap ayahnya dan Surya bergantian.

Ayah Wulan menepuk-nepuk lengan Surya, lalu menoleh ke arah Wulan dan tersenyum.
"Beres-beresnya sudah selesai?

"Udah ...." jawab Wulan dengan gamang. Dia masih bingung dengan sikap ayahnya dan Surya.

"Sasa sekarang sedang apa?" tanya ayahnya lagi.

"Biasa. Dengerin musik di kamar. Kenapa, Yah?"

"Kita ke ruang tamu saja biar lebih bebas ngobrolnya dan tidak tergangggu orang lewat," ajak ayah Wulan sambil bangkit berdiri dan berjalan memasuki pintu rumah.

Surya mengikuti, berdiri dan meraih siku Wulan, lalu menggenggamnya.
"Ayuk, masuk," bisiknya.

Wulan menurut meskipun benaknya masih bertanya-tanya. Mereka bertiga duduk di kursi ruang tamu. Wulan duduk bersebelahan dengan Surya, berhadapan dengan ayahnya.

"Tadi Ayah ngobrol sama Mas Surya tentang hubungan kalian berdua." Ayah Wulan membuka pembicaraan.

Wulan menyimak ucapan ayahnya dan menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Ayah menanyakan tentang rencana masa depan kalian. Apakah kalian berencana untuk meneruskan ke pernikahan," lanjut ayah Wulan.

Wulan menoleh ke arah Surya yang sedang menunduk memandang meja, lalu kembali menatap ayahnya.

"Terus Mas Surya bilang apa?" tanya Wulan penasaran. Apakah Surya berencana melamarnya dan pagi ini datang untuk meminta restu ayahnya? Namun, mengapa tadi wajah mereka berdua tampak risau? Apakah ayahnya menolak lamaran Surya?

"Coba Mas Surya saja yang melanjutkan. Kalian bicarakan dulu berdua, ya. Nanti kalau sudah ada kesepakatan baru bicara sama Ayah," ucap ayah Wulan sambil berdiri dan meninggalkan ruang tamu.

Surya mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Wulan yang sedang memandangnya dengan tatapan ingin tahu.

"Ada apa, sih, Mas?" tanya Wulan dengan kening berkerut.

"Kita udah sering ngobrolin soal rencana nikah, kan, Sayang?" ucap Surya.

Wulan mengangguk.

"Dan kamu selalu bilang, aku harus menepati janjiku dulu sebelum kita memutuskan menikah."

Wulan kembali mengangguk dengan harapan terkembang. Apakah Surya ingin mengatakan bahwa ia akan menepati janjinya sekarang?

"Tadi aku udah berbicara banyak dengan Ayah. Aku bilang dengan jujur tentang dilema yang sedang aku rasakan. Sampai sekarang aku belum berani menyampaikan soal janjiku kepada Mama dan Papa. Kemarin waktu Mama tahu aku menemani kamu puasa, Mama nanya apakah aku berniat pindah keyakinan."

"Mas Surya jawab apa?"

"Aku ... nggak berani jujur sama Mama. Aku bilang belum ada sama sekali niatan ke sana. Aku nggak tega karena .... dulu waktu Mas Eka memutuskan mualaf, Mama sampai sakit."

"Tapi, Mas janji mau kasih kepastian dalam waktu satu tahun. Artinya dua bulan lagi udah harus menepati janji," sergah Wulan dengan agak emosional.

Surya meraih tangan Wulan dan menggenggamnya.
"Sebenarnya orang tua kita menginginkan hal yang sama. Ayahmu ingin punya menantu yang seiman dengan keluargamu. Orang tuaku juga sama, ingin aku punya istri yang seiman dengan keluarga kami. Kamu nggak ingin mengecewakan ayahmu, begitupun aku, nggak ingin mengecewakan orang tuaku."

Wulan terhenyak dan menyandarkan punggungnya di kursi, lalu menarik tangannya dari genggaman Surya. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Jadi Mas memilih menuruti keinginan orang tua Mas? Mau nyari istri yang seiman? Kita udahan aja?"

Surya terperanjat, lalu segera melingkarkan lengannya di bahu Wulan dan menjawab dengan terburu-buru. Andaikan mereka berada di ruangan privat, bukan di ruang tamu seperti sekarang, pasti dia akan memeluk Wulan erat-erat dan menciuminya dengan bertubi-tubi.
"Bukan. Bukan itu maksud Mas. Mas sama sekali nggak punya niatan ke situ. Mas cinta sama kamu. Kalau saja kita nggak punya masalah beda keyakinan ini, Mas bersedia melamarmu sekarang juga kalau kamu dan ayahmu setuju."

Wulan menatap Surya dengan perasaan campur aduk. Dia cinta Surya dan ingin menjadi istrinya, tetapi tidak harus secepatnya. Satu-dua tahun lagi pun tak mengapa. Toh, teman-temannya yang seusia dengan dia masih banyak yang belum menikah. Di kantornya baru Yuni yang sudah menikah dan Upik yang sudah bertunangan beberapa bulan yang lalu. Usia mereka 2-3 tahun lebih tua darinya. Sahabat kuliah yang seumuran dengannya hanya Tina yang sudah menikah. Namun, meskipun dia tak ingin dilamar Surya secepatnya, dia ingin kepastian dari Surya tentang janjinya agar sewaktu-waktu mereka berdua siap untuk menikah, keyakinan mereka sudah sama.

"Tadi tanggapan Ayah gimana?" tanya Wulan. Dahulu ayahnya yang mendesak dia untuk membuat batas waktu karena bagi ayahnya usia Wulan sudah cukup dewasa untuk berumah tangga.

"Ayah mengatakan kalau memang sudah cocok nggak perlu menunggu-nunggu lagi. Silakan kalau mau diresmikan. Tapi setelah aku sampaikan tentang keinginan orang tuaku, Ayah memaklumi. Ya, meskipun Ayah tetap berharap aku secepatnya berterus terang kepada Mama dan Papa. Ayah menyarankan aku meminta restu dari orang tuaku sebelum memutuskan untuk mualaf. Enggak diam-diam. Jadi, aku mohon kepada kamu dan Ayah untuk memberi waktu lebih agar aku bisa menyiapkan diri, agar tidak menyakiti hati orang tuaku, terutama Mama."

"Mas ... setahun itu nggak sebentar, loh. Dari kemarin banyak kesempatan untuk menyinggung sedikit demi sedikit soal ini sama Mama."

"Sayang .... Selama kita jalan, aku sudah bikin beberapa masalah yang menyebabkan orang tuaku kecewa. Mereka selalu mendukung meskipun sebenarnya sedih dan marah. Kamu ingat, kan? Hanya soal keyakinan ini yang mereka tidak mau kompromi."

Wulan mengangguk dengan berat hati. Surya memiliki orang tua yang selalu mendukung meskipun tak sesuai dengan keinginan mereka. Pertunangan Surya yang bubar di tengah jalan. Mengantarkan Surya ke rumah orang tua Lucia untuk membatalkan pertunangan secara resmi. Menerima Wulan sebagai pacar baru Surya meskipun hati Ibunda Surya tampaknya masih tertambat kepada Lucia. Semua dilakukan demi kebahagiaan Surya. Namun, soal keyakinan mereka tak bisa melepaskan dengan semudah itu.

Wulan kecewa, tapi kenyataannya, ayahnya juga berharap hal yang sama seperti orang tua Surya. Semua orang tua punya harapan yang sama untuk anak dan keluarganya. Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benak Wulan.

"Aku maklum kalau semua orang tua nggak ingin anaknya berpindah keyakinan. Tapi, seandainya Ayah nggak meminta aku punya suami yang seiman, aku tetap berkeinginan punya suami yang seiman. Jadi permintaanku bukan karena paksaan Ayah, tapi karena keinginanku sendiri. Mas Surya gimana? Orang tua Mas inginnya aku yang ikut keyakinan kalian. Sejujurnya Mas inginnya begitu juga atau ingin menepati janji seperti yang berulang kali Mas bilang ke aku? Jangan-jangan Mas juga sebenarnya berharap aku pindah ikut Mas?"

💋💋💋

Hingga kini keinginan hati Surya yang sesungguhnya masih belum jelas.
Apa yang membuat dia menunda-nunda menepati janjinya?
Karena orang tuanya atau karena memang dari dirinya sendiri yang masih ragu?

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya.
Silakan tekan bintang jika kamu menyukai tulisanku.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Love love love.
😘

8/4/2022 (22.40)

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang