69. Sabtu yang Berubah Menjadi Kelabu

79 9 2
                                    

Aku bahagia.
Mama mulai membuka diri dan bersedia mengenal kamu.

MINGGU KE-39
Hari Sabtu

💙💜💙

Surya berdiri di depan pintu terminal kedatangan sambil mengirim pesan kepada Wulan.
"Udah sampai mana, Sayang? Macet, nggak?" tulisnya.

Tak sampai satu menit kemudian ada pesan balasan dari Wulan.
"Mau masuk Magelang, Mas. Alhamdulillah nggak macet. Mama udah sampai?"

"Belum. Tadi Mas cek di aplikasi masih berputar di atas. Sepertinya menunggu antrean landing," jawab Surya.

"Mudah-mudahan pesawat Mama segera mendarat dengan selamat. Sampaikan salamku buat Mama, ya, Mas."

"Iya. Nanti Mas sampaikan. Tolong sampaikan juga salam Mas buat Ayah dan adik-adik. Kalau sudah sampai Jogja kabarin, ya. I love you," tulis Surya mengakhiri percakapan mereka. Dia memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana dan menyimak pengumuman-pengumuman yang terdengar dari pengeras suara.

Tadi pagi ibunya menelepon, mengabari bahwa sore ini akan datang. Hari Minggu siang ibunya ada keperluan menghadiri undangan pernikahan anak sahabatnya.

"Maaf, ya, Sayang. Nanti siang Mas nggak jadi nganterin ke Jogja," ucap Surya tadi pagi kepada Wulan sesaat setelah mendengar kabar dari ibunya.

Wulan tertawa.
"Gapapa, Mas. Kan, udah kubilang dari kemarin kalau aku nggak usah diantar."

Surya nyengir. Minggu lalu ketika Wulan masih marah kepadanya, dia memang menolak tawaran Surya. Setelah mereka berbaikan kembali, Surya berhasil membujuk Wulan agar mau menerima tawarannya. Namun, ternyata tadi pagi dia harus membatalkannya.

Awalnya malam ini Surya berencana akan menginap di guest house dekat rumah Wulan karena jika mereka berangkat sepulang kuliah--pada pukul 2 siang-- mereka akan sampai di Jogja menjelang Magrib. Tak mungkin Wulan akan tega membiarkan Surya langsung putar balik dan menempuh perjalanan luar kota malam-malam sendirian. Untuk menawarkan menginap di rumahnya, Wulan tak berani meminta ijin kepada Ayahnya. Jika Surya hanya sekadar teman atau sahabat dan menginap berombongan bersama teman-teman yang lain--seperti yang pernah terjadi tahun lalu--Ayahnya tak akan melarang.  Namun, sekarang dengan status pacar dan sendirian, sepertinya tak mungkin ayahnya akan mengijinkan meskipun di rumahnya juga ada dua orang adik lelaki.

"Jadinya Mas nanti buka puasa sendirian, dong. Nggak bareng-bareng aku," sesal Wulan ketika Surya mengantarnya ke kantor agen bus tadi siang sepulang kuliah.

Surya beranjak mendekati pintu kedatangan. Terdengar pengumuman bahwa nomor pesawat yang ditumpangi ibunya sudah mendarat.  Biasanya untuk kunjungan singkat--hanya 1-2 hari--ibunda Surya hanya membawa sebuah tas jinjing ke dalam kompartemen pesawat jadi tak perlu menunggu bagasi diturunkan. Di rumah yang sekarang dihuni oleh Surya masih banyak tersimpan pakaian maupun perlengkapan ibunya.

"Mama, apa kabar? Sehat, Ma?" sapa Surya sekitar 15 menit kemudian sembari mencium tangan ibunya dan meraih tas jinjing yang dipegang ibunya.

"Puji Tuhan. Mama sehat. Kamu juga sehat, kan, Nak?"

"Iya, Ma. Sehat."

"Syukurlah. Kamu parkir di mana?"

"Di sana, Ma," sahut Surya sambil menunjuk ke arah mobilnya diparkir. Ibunya mengangguk, lalu mengaitkan tangannya ke lengan kiri Surya.

"Jadi kita ke mana dulu, Ma?" tanya Surya setelah menyalakan mesin mobilnya.

"Ke rumah Manyaran. Tadi Mama udah janjian sama yang mau pasang wall paper, ketemu di sana jam 4."

"Oke, Ma," sahut Surya sembari mengarahkan mobilnya ke rumah yang dimaksud oleh ibunya. Keluarga mereka memiliki tiga rumah di kota ini. Satu rumah yang terbesar dihuni oleh Surya dan Yatno. Dua rumah yang lain sebenarnya juga termasuk ke dalam kategori rumah mewah, tetapi ukuran tanahnya tidak seluas rumah tinggal Surya.

"Nanti kamu yang pilih warna dan motifnya, ya. Kan, nanti akan jadi rumahmu kalau kamu udah nikah."

"Mama aja yang pilih. Biasanya pilihan Mama keren," puji Surya yang membuat ibunya tersenyum senang.

"Lagipula belum tentu dua-tiga tahun lagi aku masih ditempatkan di sini, Ma. Harus cari kontrakan rumah di kota tempat dinas yang baru," lanjut Surya.

Ibunya tersenyum.
"Iya, betul. Tapi, meskipun kamu pindah-pindah kota, rumah itu tetap statusnya rumah milik kamu. Boleh kamu atur interiornya sesuai selera kamu."

"Tepatnya sesuai selera istriku kelak, ya, Ma?"
Surya menyahut sambil tertawa yang diikuti oleh tawa ibunya.

"Oh, iya, Ma ... tadi Wulan minta disampaikan salamnya ke Mama," ucap Surya.

"Terima kasih. Bagaimana kabar Wulan?"

"Baik, Ma. Sehat," jawab Surya dengan raut bahagia.

Ibunda Surya tersenyum.
"Syukurlah," ucapnya. Dia teringat perbincangan dengan anak tengahnya ini sebulan yang lalu, yang tidak berakhir dengan baik. Ketika itu dia dan suaminya bersikap sangat keras kepada Surya dan Surya hanya menunduk tanpa membantah luapan kekecewaan kedua orangtuanya. Hingga kini prinsipnya tak berubah, dia masih menginginkan calon menantu yang seiman dengan mereka. Namun, dia sedikit menyesal telah bersikap terlalu keras. Seharusnya dia menggunakan cara yang lembut, berusaha mengenal pasangan anaknya agar bisa mengajaknya belajar tentang keyakinan mereka secara pelan-pelan dan tidak merasa dipaksa.

"Nanti malam ajak dia ke rumah, ya. Mama ingin kenalan," lanjutnya kemudian.

Surya menoleh dengan raut terkejut karena tidak menyangka ibunya ingin bertemu dengan Wulan.
"Mmm ... Sekarang dia sedang di perjalanan menuju Jogja, Ma."

"Pulang ke rumah orang tuanya?"

"Iya, Ma. Kantornya libur dua minggu. Kuliah juga libur jadi dia pulang ke Jogja."

"Oh, begitu. Nggak apa-apa. Lain kali kalau Mama ke sini lagi kita ketemu, ya."

Surya mengangguk dengan antusias. Hatinya merekah berbunga-bunga bahagia. Dia yakin prinsip ibunya soal keyakinan belum berubah. Namun, setidaknya ibunya kembali membuka diri dan bersedia mengenal Wulan. Surya berharap setelah itu ibunya akan menyayangi Wulan dan lambat laun mengijinkannya menepati janji kepada Wulan, seperti yang dahulu terjadi pada abangnya.

"Makasih, ya, Ma," ucap Surya dengan perasaan riang dan penuh syukur.

Ibunya mengangguk dan menepuk-nepuk bahu kirinya.
"Tadi siang makan apa?"

"Mmm ... enggak ... makan ... Ma," jawab Surya terbata-bata.

"Loh, kenapa? Sibuk apa? Kalau begitu kita cari tempat makan dulu. Janjian sama tukang wall paper Mama pending selesai makan saja, ya," ucap ibunya sembari mengeluarkan ponsel dari tasnya, hendak menghubungi nomor kontak pemasang kertas dinding.

"Eh. enggak ... enggak usah, Ma," cegah Surya terburu-buru.

"Kok, enggak usah? Sekarang udah hampir jam 4, loh," desak ibunya.

"Nanti saja makannya, Ma. Selesai urusan rumah saja. Beneran, aku belum lapar, kok," tolak Surya sambil berharap ibunya tidak mendesaknya lagi.

"Mama nggak mau. Sekarang saja. Jangan dibiasakan menunda-nunda makan. Nanti gampang sakit," tegas ibunya.

💋💋💋

Aduh, gimana, nih?
Ketahuan, dong, kalau Surya hari ini menemani Wulan puasa.

Padahal ibunya sudah mulai melunak.
Entahlah, apa yang akan terjadi setelah ini ....

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya.
Silakan tekan bintang jika kamu menyukai tulisanku.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Love love love.
😘

18/3/2022 (20.10)

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang