87. Sesuatu yang Telah Lama Tersimpan

55 7 0
                                    

Kamu sangat berarti bagiku.
Begitu pun restu ibuku.

💓💛

Surya berdiri di ambang pintu balkon dan menatap Wulan yang terlihat melamun dengan tumpukan rajutan di pangkuannya. Dia dekati Wulan dan duduk di sebelahnya. Wulan menoleh dengan raut terkejut karena baru menyadari kehadiran Surya.

Surya mengulurkan lengan ke kepala Wulan dan mengusap-usapnya, lalu mencium keningnya.
"Mikirin apa, Sayang?"

Wulan tak menjawab. Dia meraih jarum renda, lalu mulai menggerakkan kedua tangannya, menusuk dan menarik benang rajut hingga membentuk simpul-simpul tanpa memedulikan kehadiran Surya.

"Kamu marah, Sayang?" Surya kembali bertanya.

Wulan tetap diam dengan raut wajah datar. Kadang Surya ingin Wulan menjadi perempuan yang lebih ekspresif, yang melampiaskan kemarahannya dengan melontarkan omelan-omelan panjang agar dia tahu apa yang sedang menjadi sumber kekesalan Wulan. Dengan begitu, dia bisa memperbaiki kesalahannya atau mengubah hal-hal yang tak Wulan sukai darinya.

"Mau makan sekarang atau nanti?" tanya Surya, "Mas udah kukusin siomay kesukaan kamu."

"Nanti," sahut Wulan.

Hingga lima belas menit kemudian, Surya duduk sambil memainkan ponselnya di sebelah Wulan dengan salah tingkah. Dia sesekali mencium bahu Wulan yang hanya ditanggapi dengan tak acuh, tanpa senyuman atau tawa geli seperti biasanya. Semenjak pulang dari acara pernikahan Upik, sikap Wulan sudah seperti itu, diam dan tanpa reaksi kepadanya.

"Mas, aku nanti pulang ke kos aja, ya," kata Wulan tadi siang setelah mereka bersalaman dengan kedua mempelai dan orang tua mereka. "Aku bareng Ani dan Putra aja. Dina juga."

"Loh, enggak pulang ke rumah Mas?" tanya Surya heran.

"Enggak," jawab Wulan singkat.

"Kenapa, Sayang?"

Wulan hanya diam, tak menjawab.

"Tapi, rajutan kamu masih di rumah Mas. Katanya mau buru-buru diselesaiin," kata Surya lagi.

Wulan mendengkus kesal. Dia lupa bahwa tempo hari dia membawa keranjang berisi pekerjaan rajutan yang belum selesai ke rumah Surya agar bisa dia selesaikan selama akhir minggu.
"Ya, udah."

"Jadinya pulang ke rumah Mas?" tanya Surya memastikan.

Wulan mengangguk, lalu berjalan mendahului Surya menuju mobil Surya diparkir. Mereka pulang hanya berdua karena Dina memutuskan untuk pulang ke kos bersama Ani dan Putra. Sepanjang perjalanan menuju rumah Surya, Wulan sibuk dengan ponselnya dan hanya menjawab dengan kalimat-kalimat singkat ketika Surya mengajaknya mengobrol.

Sepanjang siang hingga malam Wulan menyendiri dengan tumpukan rajutannya. Surya menyibukkan dirinya dengan menonton televisi, bermain PSP, berenang, dan menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.

"Mau Mas bawain ke sini siomay-nya? Keburu dingin, nanti nggak enak." Surya menawarkan dengan nada membujuk.

Wulan meletakkan rajutannya di dalam keranjang, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Surya. Surya bergegas bangkit dari kursinya dan menjejeri langkah Wulan yang berjalan menuruni tangga, lalu masuk ke ruang makan dan duduk di salah satu kursi makan.

Surya membuka tutup panci kukusan dan tersenyum lega ketika melihat uap masih mengepul dari dalamnya, pertanda makanan di dalam panci masih cukup panas untuk dinikmati. Dia meraih dua buah piring dan mengisinya dengan siomay, kentang, gulungan kubis, lalu dia siramkan kuah kacang di atasnya. 

Biasanya Wulan mengisi gelas-gelas air minum mereka ketika Surya menyiapkan makanan. Namun, kali ini Wulan membiarkan Surya mengerjakan semuanya. Surya membawa kedua piring yang sudah terisi ke meja makan dan meletakkan salah satunya di hadapan Wulan. Diusapnya puncak kepala Wulan, lalu diciumnya.

"Makan yang banyak, ya, Sayang. Kalau mau nambah, masih ada di kukusan," ucap Surya.

Wulan mengangguk.
"Makasih, Mas."

Surya tersenyum.
"Sama-sama, Sayang."

Selama mereka makan, Surya berusaha mengajak Wulan mengobrol.
"Kerjaan rajutannya masih banyak yang belum diselesaiin?"

"Enggak."

"Jadi udah hampir selesai semua?"

"Iya."

"Wah, asyik, dong. Nanti Mas ditraktir apa?"

"Terserah," jawab Wulan sambil meletakkan sendok dan garpunya di tengah piring, lalu menghabiskan isi gelasnya. Surya sudah mengosongkan piring dan gelasnya sejak beberapa menit yang lalu.

"Mau nambah lagi, Sayang?" tanya Surya.

"Enggak. Udah kenyang."

"Oke."
Surya meraih kedua piring kosong mereka dan membawanya ke wastafel.

Wulan berdiri dan mengikuti langkah Surya, lalu melingkarkan kedua lengannya di perut Surya. Dia sandarkan kepalanya pada punggung Surya hingga Surya selesai mencuci piring dan gelas mereka. Setelah mengeringkan tangan, Surya berbalik dan mendekap kepala Wulan.

"Kalau Mas ada salah, Mas minta maaf, ya," ucap Surya.

Wulan menengadah menatap Surya, lalu mengangguk.

"Jadi, salah Mas apa?" tanya Surya.

Wulan tersipu dan melepaskan pelukannya, lalu berjalan menaiki tangga dan terus melangkah menuju kamar mandi. Dia mencuci wajah dan menggosok giginya. Surya berdiri di sebelahnya dan melakukan hal yang sama.

"Aku mau pipis," ucap Wulan memberi tanda kepada Surya agar mempercepat kegiatannya dan segera meninggalkan kamar mandi untuk memberinya privasi.

Biasanya Surya akan sengaja berlambat-lambat untuk menggoda Wulan, tapi kali ini dia tak berani melakukannya. Dia segera menyelesaikan menggosok giginya dan beranjak keluar dari kamar mandi, lalu masuk ke kamar tidur tamu. Surya baru ingat tumpukan pakaian kerjanya yang disetrika oleh Wulan tadi pagi dan belum dia susun di lemari pakaiannya.

Surya membawa tumpukan pakaian itu ke kamarnya dengan senyum geli. Wulan mengupah Mbak Yah--penjaga rumah kosnya--untuk menyetrika pakaiannya, tetapi kadangkala ketika dia sedang 'baik', dia membantu menyetrika pakaian kerja Surya.

Surya menyusun pakaian-pakaian yang dibawanya di lemari dengan rapi, lalu menyelipkan tangannya ke dalam laci pakaian dalamnya. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang sudah berada di laci itu sejak setengah tahun yang lalu dan hingga kini masih tertunda memberikannya kepada Wulan karena menunggu restu dari kedua orang tuanya.

Surya menebak diamnya Wulan seharian ini berkaitan dengan ucapan Ani tentang rencana pernikahan mereka, yang sesungguhnya masih mengambang dan tanpa kejelasan. Kadang Surya ingin bersikap masa bodoh dan tak memedulikan restu orang tuanya, lalu secara diam-diam melamar Wulan tanpa sepengetahuan mereka. Namun, dia bertanya-tanya, apakah masa depannya bersama Wulan akan bahagia jika dia melakukannya?

💋💋💋

Bagaimanapun restu orang tua sangat penting.
Apalagi restu dari ibu.

Jadi Surya harus bagaimana?
Menunggu hingga restu itu ada, atau lanjutkan saja tanpa restu orang tua?

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya.
Silakan tekan bintang jika kamu menyukai tulisanku.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Love love love.
😘

6/5/2022 ( 14.14 )

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang