58. Pagi yang Dingin

133 8 3
                                    

Pagiku kali ini terasa dingin.
Sangat dingin.
Bahkan sinar matahari yang terbit pagi ini tak mampu menghangatkan hatiku.

💔💜💔

Minggu ke-34

Wulan mengulurkan lengannya ke atas nakas, menekan tombol untuk mematikan alarm jam weker, lalu menatap Surya yang berbaring di sebelah kirinya. Sebuah guling teronggok dengan nyaman di antara tubuh mereka berdua.

Surya tersenyum.
"Selamat pagi, Cantik," sapanya lembut.

Tak ada lagi usapan di kepala, pelukan, apalagi cumbuan di pagi hari semenjak Wulan membuat aturan pacaran tanpa sentuhan sekitar satu bulan yang lalu. Surya mengira semakin hari akan semakin surut keinginannya untuk menyentuh Wulan. Namun, ternyata hasrat itu semakin menggebu setiap kali dia berdekatan dengan Wulan. Hanya komitmen dan janjinya yang membuat dia bertahan dan mampu menampilkan ekspresi tenang seperti sekarang. Ia seolah tak terpengaruh oleh pesona bibir mungil kekasihnya yang menggemaskan kala sedang merajuk, bahkan sekadar kibasan rambutnya atau aroma tubuhnya saat mereka berdekatan seperti ini.

Wulan membalas senyuman Surya dengan hati berdesir. Ada kalanya dia lupa tentang aturan yang dibuatnya dan hendak meringkuk di atas tubuh Surya seperti kebiasaannya setiap pagi. Mengapa Surya seperti tak keberatan dan tak terpengaruh oleh larangannya? Apakah sesungguhnya Surya lebih menyukai hubungan yang seperti ini? Wulan sangka, Surya sangat menikmati saat-saat bermesraan dengannya, tapi mengapa sekarang dia terlihat tenang dan baik-baik saja tanpa sentuhan sama sekali? Lelaki memang sulit dimengerti, pikir Wulan dalam hati.

"Pengin sarapan apa, Sayang? Roti atau nasi goreng?" tanya Surya.

"Roti aja. Yang gampang."

"Berapa? Dua?" tanya Surya lagi.

Wulan mengangguk.
"Tapi kopinya barengan aja. Sayang kalau nggak habis."

"Ya, udah, sana sholat dulu."

"Oke. Aku mandi dulu, ya, Mas."
Wulan segera bangkit dari ranjang sebelum pengendalian dirinya lepas. Berlama-lama menatap Surya membuatnya ingin mendekat dan mendekap kekasihnya.

"He-em," sahut Surya sembari menarik napas lega. Hampir saja tanpa sengaja tangannya telulur ke paha Wulan. Tadi gaun tidur Wulan tersingkap saat dia terburu-buru berbalik untuk mematikan alarm jam.

Surya bangkit dari ranjang. merapikan bantal-bantal, melipat selimut, serta membuka pintu balkon. Dia raih ponselnya dan ponsel baru Wulan dari atas meja, lalu menyambungkannya ke kabel pengisi baterai. Dia kemudian beranjak ke dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua seperti biasanya. Dibukanya jendela dapur lebar-lebar agar udara segar dari kebun belakang masuk ke dalam rumah.

Wulan sedang melipat mukenanya saat Surya memasuki kamar sembari membawa nampan berisi segelas kopi dan empat tangkup roti bakar.

"Sarapannya Mas taruh di balkon," ucap Surya.

Wulan mengangguk. Dia simpan mukenanya di dalam lemari, kemudian mengikuti langkah Surya menuju balkon.

"Mas mau mandi dulu. Nanti sisain kopinya, ya."

Wulan kembali mengangguk.
"Makasih, ya, Mas."

"Iya, Sayang. Sama-sama."

Sekarang hanya ada anggukan kepala dan senyuman di antara mereka. Saat Surya selesai mandi dan duduk di sebelah Wulan pun, ada jarak sekian sentimeter di antara mereka. Tak seperti sebelumnya yang saling merapat disertai rengkuhan lengan Surya di bahu Wulan, serta sesekali kecupan.

"Mas ...."

Surya menoleh.
"Ya, Sayang ...."

"Mama Papa udah tahu belum kalau aku ...." Wulan menghentikan kalimatnya. Tatapannya terarah ke kubah masjid yang menjulang di seberang jalan.

Surya meletakkan gelas kopi yang sedang dipegangnya di atas meja.
"Belum," jawabnya.
Dia tahu yang dimaksud oleh Wulan, yaitu tentang keyakinannya yang berbeda dari Surya dan kedua orang tuanya.

"Kita sekarang udah jalan 8 bulan lebih, kan, Mas?"
Wulan menatap Surya dan menunggu tanggapannya.

Surya mengangguk dengan perasaan campur aduk. Tinggal 4 bulan lagi waktu yang tersisa untuk menepati janjinya kepada Wulan. Di satu sisi, Surya ingin secepatnya melangkah ke tahap lebih serius dengan Wulan. Di sisi yang lain dia masih gamang untuk meninggalkan keyakinannya dan tak ingin membuat hati mamanya sedih. Namun, dia sangat mencintai Wulan dan ingin segera meresmikan hubungannya bersama Wulan.

Wulan berpaling dan kembali menatap ke arah seberang jalan. Tiba- tiba matanya terasa panas.

"Sayang ...."

Panggilan Surya tidak ditanggapi oleh Wulan. Dadanya terasa sesak, dipenuhi perasaan gundah.

Surya mengulurkan lengannya dan meraih tangan Wulan, lalu digenggamnya erat. Dia tak peduli lagi jika Wulan marah atas pelanggaran aturan yang dilakukannya.

Ada jeda satu menit sebelum kemudian Surya berkata, "Minggu depan aku pulang ke Surabaya, ya. Aku akan berusaha bicara sama Mama Papa."

Wulan menoleh dan mamandang Surya dengan tatapan sendu.
"Kalau mereka marah ... lalu minta kita pisah, gimana, Mas?"

"Aku nggak akan mau," jawab Surya dengan suara bergetar.

"Kalau mereka memaksa?" tanya Wulan lagi. "Mas berani melawan mereka?"

Surya terdiam tanpa kata. Wulan menarik tangannya dari genggaman Surya, lalu mendekapnya erat di depan dada. Cahaya matahari yang mulai muncul dari balik kubah masjid tak mampu menghangatkan hatinya yang tiba-tiba terasa bagaikan disiram butiran salju.

💋💋💋

Hai, Kakak-kakak pembaca.
Kayaknya udah mulai masuk ke bagian sedih-sedih, nih.
Jangan lupa siapin sekotak tisue.

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya.
Silakan tekan bintang jika kamu menyukai tulisanku.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Love love love.
😘

24/2/2022 (7.15)

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang