74. Bukan Bulan Madu

84 9 2
                                    

Aku nggak ingin menikah cepat-cepat, tapi juga nggak ingin berlama-lama.

💖💖

"Mau nonton tivi?" Surya meraih remote televisi dan mengulurkannya ke tangan Wulan.

Wulan menerimanya, kemudian duduk di atas ranjang dan menyalakan televisi. Dia susun bantal-bantal di belakang punggungnya, lalu bersandar dengan santai sambil menonton siaran berita.

Surya mengusap-usap dan mencium kepala Wulan, lalu melirik arloji di tangan kanannya. Pukul 15.45. Masih banyak waktu luang. Mereka berencana menonton bioskop pada pukul 16.50.
"Mas mandi dulu bentar, ya, Sayang."

Wulan mengangguk. Tadi selepas Azhar, mereka berangkat dari rumah Wulan. Namun, mereka mampir dulu ke kamar penginapan Surya agar dia bisa mandi sore sebelum pergi ke bioskop. Pembicaraan mereka berdua tadi pagi berakhir dengan kesepakatan yang dianggap terbaik untuk saat ini.

"Mas Surya gimana? Orang tua Mas inginnya aku yang ikut keyakinan kalian. Sejujurnya Mas inginnya begitu juga atau ingin menepati janji seperti yang berulang kali Mas bilang ke aku? Jangan-jangan Mas juga sebenarnya berharap aku pindah ikut Mas?" tanya Wulan tadi pagi.

Surya menatap Wulan dan menjawab dengan nada membujuk.
"Hingga kini, aku masih berniat untuk menepati janji. Aku nggak akan memaksa kamu untuk mengikuti keyakinanku. Tapi, sepertinya aku nggak bisa menepatinya sebelum batas waktu yang tinggal dua bulan ini. Maafkan aku, ya, Sayang."

"Jadi maunya Mas gimana? Minta diundur?"

"Iya. Kalau kamu dan Ayah membolehkan."

"Mau diundur sampai kapan?"

"Kamu yang menentukan," jawab Surya.

Wulan diam dan termenung.

"Kamu ingin kita menikah kapan?" Surya balik bertanya.

Wulan tak tahu kapan dia ingin menikah. Yang pasti bukan sekarang. Rasanya dia belum siap jika harus menjadi istri seseorang saat ini. Dia masih ingin bergaul dengan teman-temannya, tetapi juga ingin punya pasangan yang pasti. Situasi sekarang sudah sangat ideal baginya. Dia masih bisa berteman dengan siapa saja, tapi dia juga punya Surya yang mencintainya dan dia cintai, yang suatu saat bersedia menikah dengannya.

"Kalau diajak nikah sekarang aku nggak mau. Tapi kalau kelamaan aku juga nggak mau," kata Wulan kemudian.

"Jadi, kalaupun Mas menepati janji sekarang, kamu juga nggak mau diajak nikah sekarang, kan?" Surya bertanya untuk memastikan.

Wulan mengangguk ragu.

"Batas waktu yang tinggal dua bulan lagi, sebenarnya juga nggak darurat, kan, buat kamu?"

Wulan menggeleng.
"Tapi, Ayah ingin aku nggak kelamaan nikah."

"Keinginanmu sebenarnya bagaimana?" tanya Ayah Wulan kemudian ketika Wulan memanggilnya karena Wulan dan Surya ingin menyampaikan hasil pembicaraan mereka berdua. Mereka berdua kembali duduk berhadapan dengan Ayah Wulan di ruang tamu.

"Ayah inginnya aku nikah kapan?" Wulan balik bertanya.

"Kalau kalian berdua mau menikah besok, silakan. Ayah ijinkan. Tapi, ya, sesuai kesepakatan awal, Mas Surya sudah harus mualaf dulu. Sedangkan tadi Mas Surya sudah cerita tentang kesulitannya dalam mencari restu orang tuanya. Jadi, Ayah juga nggak bisa memaksa kalian menikah segera."

"Aku nggak harus nikah sebelum umur 25 tahun, kan, Yah?" tanya Wulan, lalu cepat-cepat menambahkan, "teman-temanku banyak yang nikah umur 26, 27, kok, Yah."

"Idealnya, ya, kalau sudah punya pasangan yang cocok, segera menikah saja. Tapi, kan, kondisi Mas Surya nggak memungkinkan," kata Ayah Wulan sambil menatap Surya. Sebagai seorang ayah, ia senang Wulan mempunyai pasangan yang seperti Surya. Sikapnya terlihat tenang, dewasa, sabar, dan sepertinya bisa mengikuti semua kemauan Wulan yang kadang kekanakan.

"Sekarang Ayah hanya bisa memberi restu dan mendoakan agar kalian segera menemukan jalan keluar. Silakan kalian berdua yang memutuskan hendak dibawa ke mana hubungan kalian. Ayah berharap kalian tetap bersama dan bisa lanjut hingga pernikahan, tapi, ya, sebisa mungkin jangan terlalu lama."

Wulan menghentikan lamunannya dan menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Surya berjalan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya, lalu menghampirinya dan duduk di sebelahnya, kemudian memeluknya.

Wulan tertawa dan mendorong dada Surya agar menjauh.
"Pakai baju dulu, Mas."

Surya mempererat pelukannya.
"Sebentar aja. Mas kangen banget sama kamu. Sejak tadi pagi sebenarnya udah pengin peluk kamu."

Wulan memejamkan mata. Diusapnya dada Surya yang terasa sejuk di telapak tangannya dengan perasaan melayang. Dia tak pernah meragukan perasaannya kepada Surya. Setiap kali Surya memeluknya, dia merasakan sekujur tubuhnya meremang dan dadanya nyeri oleh luapan rasa cinta.

"Sekarang kamu udah selevel sama Ani, ya," gurau Surya, "udah berani check in di hotel. Kita kayak honey moon."

Wulan tertawa dan mencubit dada Surya.
"Sembarangan, ih!"

Surya tersenyum geli dan mengusap-usap bibir Wulan dengan ibu jarinya.
"Boleh cium, Sayang?"

Wulan mengangguk. Surya menunduk, lalu mencium bibir Wulan dengan lembut, tanpa isapan lidah dan gigitan-gigitan kecil seperti biasanya. Mereka hanya berciuman selama beberapa menit saja.

"Makasih, ya, Sayang. Ciumnya cukup segini saja, ya. Menghornati hari Lebaran, ditunda dulu adegan mesranya," ucap Surya sambil tersenyum.

"Nanti kalau udah honey moon beneran, kapan aja boleh sayang-sayangan. Kan, udah resmi. Boleh cium yang sebelah mana saja juga tanpa khawatir kamu jewer," gurau Surya sambil mencubit hidung Wulan.

Wulan tersipu dan melingkarkan lengannya ke punggung Surya. Membayangkan dirinya menginap di hotel bersama Surya ketika bulan madu membuat pipinya merona. Yang biasanya menginap di rumah Surya dengan batasan kemesraan, setelah mereka menikah mereka boleh melakukan apapun tanpa ada larangan. Tanpa ia perlu menjewer telinga Surya ketika hampir kebablasan.

Mungkin saat bulan madu nanti mereka akan bermesraan di kamar hotel seharian, hanya keluar saat mereka perlu makan. Ah, bahkan mungkin mereka akan memesan makanan untuk diantar ke kamar agar mereka tak perlu jeda dari kemesraan mereka. Pipi Wulan terasa panas. Jika ia berada di depan kaca, pasti ia akan melihat pipinya yang merah merona.

Wulan mengusap-usap punggung Surya yang telanjang dan mendadak sekelebat pemikiran melintas di benaknya. Ia mengangkat wajahnya menjauh dari dada Surya, lalu bertanya dengan gusar, "Mas pernah nginap di hotel sama Lucia?"

💋💋💋

Uhuk ....
Udah pernah atau belum kira-kira?
Lalu, kalau iya ... mereka berdua ngapain aja?

Wulan banyak maunya. ya ...
Diajak nikah cepat-cepat nggak mau, tapi minta jawaban buru-buru.
Masih ingin bebas, tapi mengejar-ngejar kepastian.

Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya.
Silakan tekan bintang jika kamu menyukai tulisanku.

Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Love love love.
😘

9/4/2022 (13.30)

Cinta Tak Selalu Indah #3 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang