Ivory selalu memimpikan Neteyam sejak kepergiannya. Mimpi-mimpi itu selalu membuatnya terbangun di tengah malam tanpa bisa tidur lagi. Setelahnya malam akan terasa lebih lambat dari biasanya dan sangat sunyi seakan dunia sudah berakhir. Pola itu terus berulang selama seminggu ini.
Tak terkecuali malam ini. Dengan susah payah Ivory membuka matanya yang bengkak. Suara serak dari makhluk di hutan satu-satunya yang terdengar. Ivory menyilangkan kedua tangan di dada sambil mengambil posisi menyandar di hammock-nya, pasrah harus menjalani malam tanpa tidur untuk kesekian kalinya.
"Nak?" Ninat tahu betapa kacaunya Ivory sekarang. Namun dia tak tahu pola tidur Ivory ikut terpengaruh. Begitu tahu, Ninat sengaja tak tidur semalaman agar bisa menemaninya.
"Tidurlah Mom," kata Ivory datar tanpa menoleh pada lawan bicara.
Ninat pindah ke hammock Ivory dan duduk di sebelahnya. "Kau tidak melakukan apapun selain melamun seminggu ini. Tidak makan, tidak bicara, tidak keluar rumah, bahkan melewatkan ritual penghormatan terakhir untuk Neteyam yang diadakan neneknya. Seluruh rakyat datang kecuali kau."
Kantung mata Ivory menebal. Tubuhnya ceking. Wajahnya memucat menjadi biru terang. Tatapan matanya hampa seakan dia sedang berada di tempat lain. Penampilan Ivory amat menggambarkan perasaannya. Atau bahkan lebih parah.
Beberapa bulan terakhir ini Ivory hidup hanya untuk menunggu kekasihnya dan para sahabatnya pulang. Sekarang setelah tahu mereka tak akan pernah pulang, Ivory merasa dirinya terjebak dalam lubang gelap tanpa masa depan.
"Setidaknya menangis lah, Ivory. Jangan memendam lukamu seperti ini," kata Ninat. "Kau tidak perlu kehilangan kemampuan merasakanmu sama seperti kau kehilangan Neteyam."
Lidah Ivory terasa kelu. Namun perlahan dia menoleh pada Ninat dengan wajah yang mulai menampilkan sebuah emosi. Sebuah kemajuan. Hati Ninat mencelang karenanya.
"Aku sangat ingin menangis. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu." Barangkali itu adalah kalimat terpanjang yang Ivory ucapkan setelah puasa bicara selama seminggu ini. "Mom," ujarnya terdengar putus asa. "Apa yang harus kulakukan?"
Ninat menunjukkan senyum penuh perhatian. "Lanjutkan hidupmu. Kau tidak perlu berpaling dari rasa sakitmu. Kau hanya perlu menjalani hidup seperti biasanya. Pada awalnya pasti sulit. Pasti. Tapi harus kau lewati. Berlarut-larut seperti ini tak akan membuat Neteyam kembali, justru hanya membuat jiwamu meredup."
Ivory mengangguk pelan. Dia menyandarkan tubuhnya dengan gontai pada Ninat. "Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Neteyam," lirihnya. "Atau Kiri, Lo'ak, Spider, dan yang lainnya."
Ninat merangkul bahu Ivory dan mengusap-usapnya. "Kau sudah mempertimbangkan ajakan mereka untuk tinggal bersama Suku Metkayina? Pasti berat bagi kami sebagai orang tua jika kau pergi jauh. Tapi jika dengan pindah ke sana membuatmu tidak merana seperti sekarang, kami tidak akan melarang."
Ivory menggelengkan kepalanya dengan mantap. Tak ada gunanya pindah ke sana jika Neteyam sudah tak ada. Lagipula selain Neteyam, hutan adalah rumahnya. Dia mencintai rumahnya lebih dari apapun dan siapapun. Cukup sekali saja dia kehilangan rumahnya.
"Ya sudah kalau itu maumu. Ayo makan dulu," ajak Ninat dengan penuh harap. Melihat Ivory kembali termenung, Ninat menggenggam tangan Ivory, namun kembali menarik tangannya saat merasakan sesuatu yang kasar dan dingin. "Ivory, apa yang ada di tanganmu?"
Ivory merentangkan telapak tangannya, memperlihatkan sebuah kertas yang terlipat rapi. "Surat lama dari Neteyam. Seharusnya aku tahu Kiri tidak pernah membuang suratnya, dia menyimpannya." Ivory tersenyum lemah. "Aku menulis banyak surat untuk Neteyam. Tapi ini satu-satunya surat yang Neteyam buat untukku, yang pertama dan terakhir."
"Apa kau," Ninat ragu sebentar. "Membawa surat itu tidur bersamamu?"
"Ya. Neteyam dan Seze sudah tak ada untuk dipeluk, ini satu-satunya bagian dari Neteyam yang tersisa untukku," tukas Ivory. "Aku baru ingat, sekarang aku tidak bisa lagi masuk ke Taman Eldest karena pasanganku dan burung cintaku sudah tiada." Ivory tertawa ironis. "Waw, semakin kau memikirkannya, semakin kau menyadari kepergian Neteyam memang semenyedihkan itu."
Ninat tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika ditinggal dengan ayahnya Ivory. Jadi melihat anak perempuannya harus menanggung luka seperti itu membuat hatinya ikut remuk.
"Dimana kau mengubur Seze?" tanya Ninat basa-basi.
"Aku tidak menguburnya." Ivory melirik Ninat. "Aku memberikan bangkainya untuk makan siang Ikran-ku." Saat melihat kengerian meliputi wajah ibunya, Ivory tertawa. "Aku bercanda."
Ninat mengusap dada dengan lega. Seminggu ini Ivory berubah menjadi seseorang yang tak bisa dikenali, jadi bukan tak mungkin dia tega melakukan hal menjijikkan seperti itu.
Malam itu berlanjut dengan Ninat yang membujuk Ivory untuk kembali menjalani hidupnya. Makan, tidur, berbaur dengan rakyat, apapun selain melamun dan tak bergerak kemana-mana. Melihat betapa putus asanya Ninat membuat hati Ivory tersentuh.
"Baiklah, Mom. Besok aku akan keluar." Ivory mengangguk sambil tersenyum tipis. "Tapi, bisa kah kau bernyanyi untukku sampai aku tertidur?"
Ninat tersenyum senang. Dia membelai rambut Ivory dan mulai bersenandung hingga anak gadisnya itu mendapatkan tidurnya kembali. Seperti yang pernah dia bilang, Ivory masih terlalu muda untuk ini semua. Mungkin kondisinya tak akan sesulit ini jika saja dua remaja itu belum menjalin ikatan.
***
Hari ini Ivory bergabung dengan para remaja dari Suku Omaticaya, mereka bermain dan belajar. Walau menghabiskan waktu sendirian terlihat lebih menggiurkan, namun Ivory tahu dia harus mulai mencari teman baru. Bagaimana pun juga Kiri, Lo'ak, Spider, dan Neteyam kini sudah menjadi teman lama untuknya.
Banyak dari mereka yang tidak Ivory kenal. Namun mereka semua berteman dengan cara berkelompok, tidak individual seperti rombongan pertemanannya bersama Kiri, Lo'ak, dan Spider kemarin, sehingga Ivory tak perlu mengenal mereka begitu dalam untuk ikut bersama mereka.
Kebanyakan dari mereka adalah pejuang seperti Neteyam dan Salion. Dan karena Ivory sudah melewatkan segala tantangan yang harus para pejuang lewati, mereka yakin sudah saatnya Ivory menjadi bagian dari mereka—walau sebenarnya waktu Ivory masih tahun depan.
Jika sejak kemarin Ivory berburu menggunakan busur orang tuanya dan terkadang busur Salion, kini Ivory akan memiliki busur dan anak panahnya sendiri, Salion dan beberapa pejuang lainnya membantu Ivory untuk membuat busur dari kayu Hometree.
Namun Ivory mendapati dirinya selalu gagal saat berburu. Jatuh dari Direhorse, anak panah tak pernah tepat sasaran, dan semacamnya. Sangat berbalik banding dengan beberapa bulan terakhir yang berjalan lancar.
"Ini pasti panahku," cetus Ivory frustasi pada Salion. "Panahku tidak sebagus milik orang tuaku dan punyamu. Dan aku harus berhenti menggunakan Direhorse favorit Neteyam, hanya karena Neteyam menyukainya bukan berarti itu cocok untukku. La—"
"Ivory." Salion menyela dengan tegas, membuat Ivory berhenti mengoceh dan menatapnya dengan seksama. Salion menghela nafas, merasa tak nyaman harus mengatakan hal ini. "Emosi adalah hal yang kuat. Kau membiarkan emosimu menahanmu. Tidak ada hubungannya dengan panahnya ataupun hewannya."
Ivory terdiam. Perlahan-lahan telinganya terlipat ke bawah selagi kesedihan menyebar ke seluruh wajahnya. "Ya, kau benar," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Maukah besok kau membantuku, Salion? Aku harus melepaskan emosiku."
Salion mengangguk. "Apapun untukmu."
Mulai sekarang Ivory akan berhenti mengenakan kalung dari Neteyam maupun gelang dari Tuk, dia akan mengenakan aksesoris buatannya sendiri. Dan dia meminta Salion untuk merobohkan tenda yang Neteyam bangun untuk mereka.
Entah cara ini bekerja atau tidak. Tapi ini sebuah permulaan untuk melupakan. Semua orang punya cara masing-masing untuk menangani perasaan mereka. Dan mungkin inilah cara terbaik bagi Ivory.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Letter | Neteyam
FanfictionSejak kecil Ivory memiliki hubungan yang erat dengan keluarga sully. Mereka bermain bersama dan selalu ada untuk satu sama lain. Namun lama kelamaan Neteyam mulai memandang Ivory dengan cara yang berbeda. Sayangnya kemanisan di antara mereka diperta...