Sejak kecil Ivory memiliki hubungan yang erat dengan keluarga sully. Mereka bermain bersama dan selalu ada untuk satu sama lain. Namun lama kelamaan Neteyam mulai memandang Ivory dengan cara yang berbeda. Sayangnya kemanisan di antara mereka diperta...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan semakin lebat dan petir berpartisipasi. Mau tak mau Ivory dan Neteyam berteduh di tempat terdekat, di sebuah gua sempit yang kebetulan hanya pas untuk mereka berdua. Mereka berdiri bersebelahan dalam diam, menatap lurus ke luar gua.
Ivory bertanya-tanya, apa setelah mereka selesai terbang barusan Neteyam kembali ke mode pendiam karena sedih dimarahi oleh Jake. Pasalnya Neteyam bertingkah seperti di hutan tadi, tidak berbicara ataupun melirik Ivory seakan dia tak ada.
Melihat tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti dan Ivory tak mau membiarkan mereka berteduh dalam kondisi canggung seperti ini, Ivory berniat membuka percakapan ketika disaat yang bersamaan Neteyam menyelanya.
"Aku menyukai yang tadi kita lakukan," tutur Neteyam.
"Terbang dan mandi hujan?" simpul Ivory. "Jika itu membuatmu senang, kau harus sering-sering melakukannya. Menyenangkan dirimu juga hal yang penting."
Neteyam tersenyum kecil. "Maksudku, aku senang melakukannya bersamamu."
Pipi Ivory memanas. Dia terdiam sejenak sebelum menjawab dengan pelan, "Aku juga."
Mata Neteyam tertuju pada bibir Ivory yang gemetaran. "Kau kedinginan?"
"Lumayan," jawabnya.
Neteyam bergeser semakin dekat ke sebelah Ivory hingga lengan mereka bersentuhan. Seakan itu tak cukup mendebarkan, ekor Neteyam perlahan-lahan melilit kaki Ivory hingga empunya membelalak.
"Semoga cukup hangat sekarang," tukas Neteyam.
Bukan hangat lagi. Panas. Ivory merasakan sensasi terbakar di bawah kulitnya. Padahal Neteyam tahu betul bahwa ekornya tak bisa sembarang berinteraksi karena bisa memberikan arti lain.
Tentu saja lilitan di kaki Ivory sekarang membuatnya merasakan sebuah gelenyar aneh. Ivory memejamkan mata, berusaha menolak apapun yang dia rasakan sekarang, juga tak ingin Neteyam mengetahuinya.
Namun saat mendapati Neteyam sedang menahan senyum, Ivory segera menyadari bahwa Neteyam sengaja menggodanya karena ingin melihat reaksinya. Oh, Eywa. Ivory tak percaya Neteyam sedang melakukan pendekatan pertamanya.
Walau Ivory tak ingin momen ini berakhir, tak pelak ia merasa jengkel karena Neteyam menempatkannya dalam situasi yang membuatnya rentan. Tak ingin malu sendirian, Ivory pun memikirkan sesuatu.
"Hei," panggil Ivory.
"Ya?" balas Neteyam, masih menahan senyum.
"Aku suka panggilan kesayanganmu untukku, Ivy. Bahkan orang yang menyayangiku tak pernah melakukan itu."
Seketika senyuman Neteyam surut. Pemuda itu menundukkan kepalanya dengan dahi mengernyit, seakan bertanya-tanya bagaimana Ivory bisa mengetahui rahasia kecilnya. Begitu mengingat Tuk, Neteyam mengerang dengan wajah berkerut.
Neteyam menggosok leher belakangnya sambil menyengir. Setelah tawa Ivory mereda, dia berkata, "Waktu aku kecil, Dad memberitahuku tentang bunga-bunga dan artinya. Ivy terdengar familiar dengan namamu."
"Aku menyukainya. Sayang sekali kau tidak pernah menggunakannya di depanku." Ivory menampilkan sebuah senyuman hingga lesung pipinya kelihatan, membawa sensasi kupu-kupu ke benak Neteyam.
Didorong oleh keterpanaannya yang menggebu-gebu, Neteyam berdiri menghadap Ivory dan memandanginya secara terang-terangan. Sekarang dia bisa memandangi Ivory dengan leluasa, tak perlu lagi curi-curi pandang karena takut ketahuan.
Tangan kanan Neteyam menangkup wajah Ivory. Pandangan Neteyam turun ke bibir Ivory lalu kembali ke matanya. "Aku ingin jadi satu-satunya yang memanggilmu Ivy." Suaranya berbisik dengan tenang. "Sebenarnya, aku ingin menjadi yang satu-satunya untukmu."
Ivory tertegun. Dia tak menyangka Neteyam mengambil langkah secepat ini. Untuk sesaat Ivory berpikir, mungkin dia sedang bermimpi atau Neteyam sedang bercanda. Namun kekaguman di wajah Neteyam, yang bisa saja membakar sekujur tubuh Ivory, sudah menjelaskan segalanya.
Neteyam menyeringai melihat wajah Ivory memerah di bawah tatapannya yang intens. Bisa berada sedekat ini dengan Ivory menyadarkan Neteyam bahwa dia menginginkan gadis di depannya ini lebih dari apapun.
Dituntun oleh hatinya yang berdesir, Neteyam membelai wajah Ivory dengan penuh damba.
"Neteyam." Ivory menghela nafas dengan berat, terbuai.
"Aku tahu." Neteyam tersenyum.
Dengan lembut Neteyam menarik dagu Ivory dan mencium bibirnya. Ivory bisa merasakan Neteyam tersenyum saat dia membalas ciumannya. Suara hujan menjadi samar-samar bagi mereka berdua. Yang terdengar di antara mereka hanya lah detak jantung satu sama lain.
Begitu tautan bibir mereka terlepas, mereka terengah-engah. Itu ciuman pertama bagi mereka. Neteyam mengelus bibir Ivory. Sedangkan Ivory menatap mata Neteyam yang sudah lebih dulu menatapnya. Mereka tersenyum untuk satu sama lain.