Bab 1

883 62 3
                                        

Pertemuan pertama Saeyla dan Neteyam terjadi saat mereka masih anak-anak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertemuan pertama Saeyla dan Neteyam terjadi saat mereka masih anak-anak. Tepatnya di pagi hari.

Saeyla sudah bangun sejak tadi. Namun dia masih duduk bersandar di hammock-nya sambil mengepang rambutnya dengan malas-malasan. Dia bahkan tak bereaksi saat orang tuanya mengabari bahwa mereka kedatangan tamu.

Itu Neteyam. Orang tuanya dan neneknya, sebagai Olo'eyktan, Tsahik, dan Tsakarem dari klan Omatikaya, pergi ke hutan bagian lain untuk menghadiri sebuah pertemuan dengan klan Tayrangi. Jadi untuk sementara waktu mereka menitipkan Neteyam pada keluarga kecil Saeyla.

"Nak, ayo kenalan dengan teman barumu," kata orang tua Saeyla, mengantar Neteyam untuk menemui anak gadisnya.

Melihat Saeyla bersikap acuh tak acuh akan keberadaan Neteyam, orang tuanya diam-diam memelototinya, mengode anak tunggal mereka untuk bersikap baik.

Saeyla menyengir melihat itu. Dia pun merubah posisi duduknya di hammock, dari bersandar menjadi bersimpuh.

"Sini." Dengan tangan mungilnya Saeyla menghimbau Neteyam untuk menghampirinya.

Neteyam pun naik ke hammock dan ikut duduk bersimpuh di hadapan Saeyla. Walau Neteyam mengulas senyuman tipis, namun Saeyla menangkap kilat kesedihan di matanya.

"Ada apa? Kau kelihatan sedih," tanya Saeyla. "Kutebak karena penampilanmu yang begitu kosong."

Ini pertama kalinya Saeyla melihat anak seumurannya tak mengenakan aksesoris apapun sehingga penampilan Neteyam terasa ganjil di matanya.

"Apa? Tidak," bantah Neteyam tersinggung. "Orang tuaku, nenekku, dan adik-adikku pergi semua. Tapi aku tidak dibiarkan ikut karena katanya tidak muat. Padahal muat."

"Oh, itu terdengar menyebalkan." Saeyla mengangguk setuju. "Dengar-dengar, bukan hal baru bahwa orang tua bersikap tak adil pada anak sulung."

Neteyam tak merespon ucapan Saeyla. Dia hanya menatap lekat-lekat gadis yang sedang mengepang rambutnya itu. Merasa risih, Saeyla memberi Neteyam tatapan sinis secara terang-terangan.

"Kau juga kelihatan sedih," cetus Neteyam. "Kutebak karena kau tidak tahu cara mengurus rambutmu."

Mata Saeyla membulat mendengar itu. Mulutnya sudah terbuka untuk melawan cemoohan Neteyam. Namun sebelum sepatah kata sempat keluar, Neteyam pindah ke belakang Saeyla dan mengambil alih kepangan rambutnya.

"Biar aku membantumu," tawar Neteyam. "Aku bisa membayangkan rambutmu menjadi lebih cantik jika dihias dengan bunga-bunga kecil."

Saeyla pun mengurungkan niatnya untuk protes. "Baiklah. Kuharap kau bisa membuktikan kau lebih baik dariku."

Neteyam meminta Saeyla untuk tetap diam ketika dia menguap berulang kali. Mendengar itu, Saeyla dengan sengaja menggoyangkan kepalanya dan tertawa mendengar kefrustasian Neteyam.

Tak ingin kalah, Neteyam menjambak ringan rambut Saeyla hingga empunya mengerang. Giliran Neteyam yang menertawai gadis itu. Tanpa sengaja mereka mulai akrab.

"Makasih ya sudah mau berurusan dengan rambutku, aku saja tidak mau," ungkap Saeyla, merasakan tangan Neteyam berselancar di rambutnya.

"Tidak masalah. Kau tidak serius saja rambutmu kelihatan rapi. Apalagi kalau kau bersungguh-sungguh merawatnya."

"Ah, kau hanya ingin menghib—" Saeyla sekali lagi menguap lebar.

"Ya ampun, ternyata kau mengantuk sekali," gumam Neteyam. "Sebentar lagi selesai, setelah itu kau bisa tidur semaumu."

"Kurasa tidak." Saeyla mengendus-ngendus aroma khas yang berseliweran di sekitarnya. "Sa'nok baru menyiapkan sarapan. Aku lebih lapar daripada mengantuk."

Saat sarapan, Saeyla mencolek Neteyam dengan makanannya. Namun Neteyam cemberut, mengatakan Saeyla tak sopan. Tepat ketika Saeyla ingin meminta maaf, Neteyam ikut mencolekkan makanannya ke hidung Saeyla. Alhasil wajah mereka sama-sama cemong.

Setelah sarapan, Saeyla mengajak Neteyam ke halaman belakang pondoknya yang mengarah ke sebuah sungai. Mereka menghabiskan waktu dengan duduk di tepi sungai. Di sana mereka saling bertukar cerita ditemani semilir angin.

Neteyam bercerita tentang kisah cinta Tsu'tey dan Sylwanin. Mereka adalah dua dari ribuan pejuang hebat yang dibunuh oleh Manusia Langit. Cerita mereka membuat Saeyla berkaca-kaca.

Terpancing oleh kesedihan yang Saeyla tunjukkan, Neteyam sesenggukan. "Sylwanin adalah bibiku dan Tsu'tey adalah sahabat dari orang tuaku..."

Saeyla lantas beringsut untuk memeluk Neteyam. "Tidak pa-pa, mereka sudah bersatu di pelukan Eywa."

Kemudian mereka berdua menghibur diri dengan memainkan sandiwara dimana Saeyla menjadi Sylwanin dan Neteyam menjadi Tsu'tey. Saeyla menggunakan aksesoris milik ibunya dan Neteyam menggunakan atribut pejuang milik ayahnya Saeyla.

"Tsu'tey, apa kau marah padaku?" Saeyla sebagai Sylwanin menangkup wajah Neteyam sebagai Tsu'tey.

"Tidak, Sylwanin." Neteyam memegang tangan Saeyla yang berada di wajahnya. "Tidak padamu. Tapi pada Manusia Langit."

Saeyla berusaha menahan tawa melihat wajah memelas Neteyam. Dan Neteyam pun juga begitu. Namun dengan segera mereka kembali ke peran, memasang ekspresi yang seharusnya.

"Tenanglah, Yawntu. Kita akan menghentikan kebodohan Manusia Langit itu bersama-sama."

"Mereka mengambil semuanya dari kita, Sylwanin, beraninya mereka!" erang Neteyam sebagai Tsu'tey. Saeyla tahu Neteyam tidak sepenuhnya berakting saat mengatakan itu.

Lalu sandiwara mereka sampai di bagian akhir, dimana Slywanin dan Tsu'tey pergi mendemo para penjajah. Mereka berdua berteriak dengan semangat seakan mereka memang akan pergi berperang. Lalu...

"Sylwanin! Awas!" jerit Neteyam sebagai Tsu'tey.

Namun semuanya terlambat. Tembakan itu melesat menembus Sylwanin. Saeyla, sebagai Sylwanin, menjatuhkan diri dengan kesakitan. Neteyam, sebagai Tsu'tey, berlari untuk memeluk tubuh tak berdaya gadis itu dengan tersedu-sedu.

Sandiwara mereka diakhiri oleh tepuk tangan tak dikenal.

Saeyla dan Neteyam lantas menoleh ke sumber suara. Mereka berdua berdecit saat mendapati ibu mereka berdiri tak jauh di belakang mereka. Sementara ibunya Saeyla terlihat geli, ibunya Neteyam terlihat terharu.

Saeyla dan Neteyam bertukar pandang dengan wajah memanas. Bergegas mereka melepaskan aksesoris pinjaman yang mereka pakai.

"Mother, rupanya kalian sudah pulang." Neteyam berjalan ke arah ibunya. "Lebih cepat dari dugaanku."

"Ya, aku datang untuk menjemputmu." Neytiri mengangguk. Lalu dia tersenyum menggoda. "Kecuali kau dan teman barumu masih harus melanjutkan pertunjukkan kalian, mungkin aku bisa menjemputmu nanti..."

"Ugh, Mother, jangan begitu. Kami hanya bercanda,"

Neytiri tertawa. Kemudian dia membelai rambut Saeyla dan berkata, "Terima kasih sudah menemani Neteyam. Besok harus giliran kau yang main ke rumah kami. Aku punya banyak aksesoris jika kalian mau menekuni bakat sandiwara kalian."

"Mother!" gerutu Neteyam, membuat Neytiri dan ibunya Saeyla tertawa.

The Last Letter | NeteyamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang