Bab 2

204 31 3
                                    

Pertemuan kedua Saeyla dan Neteyam terjadi ketika Saeyla akhirnya mau berbaur dengan kehidupan desa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertemuan kedua Saeyla dan Neteyam terjadi ketika Saeyla akhirnya mau berbaur dengan kehidupan desa. Tepatnya di siang hari.

Sebelumnya Saeyla sangat jarang keluar rumah, malas untuk bersosialisasi. Itu membuat orang tuanya khawatir bahwa dia akan kesulitan menemukan posisinya di antara para rakyat.

Jadi hari ini mereka menyeret Saeyla ke desa dan memberinya tugas memetik buah-buahan untuk stok makanan di rumah.

Tentunya Saeyla tak sendirian. Ada banyak Na'vi yang bekerja di sekelilingnya. Mulai dari yang seumurannya hingga yang sudah bungkuk.

Saeyla mengedarkan pandangan. Ternyata, tidak ada anak-anak yang sendirian kecuali dirinya, semuanya memiliki teman masing-masing. Berbohong jika Saeyla mengatakan dia tidak minder.

Seketika Saeyla menyesal karena tak merengek pada orang tuanya untuk menemaninya.

"Duarr!"

Saeyla tersentak geli saat seseorang mencengkram lehernya dari belakang. Sebelum Saeyla sempat menoleh, seseorang itu pindah ke hadapannya.

Itu Neteyam. Sama seperti Saeyla, dia sedang menenteng keranjang kecil. Bedanya punya Saeyla berisi buah-buahan dan punya Neteyam berisi ikan.

"Aku baru sadar, ini pertama kalinya aku melihatmu di desa," tutur Neteyam.

"Yeah, aku jarang keluar karena tidak punya teman,"

"Bagaimana mau punya teman kalau kau saja jarang keluar." Neteyam merangkul ringan bahu Saeyla. "Tapi aku temanmu 'kan?"

Untuk sesaat hati Saeyla diisi oleh kehangatan. Ini pertama kalinya seseorang memanggilnya teman. Tidak ingin menunjukkan bahwa ucapan Neteyam mempengaruhinya, Saeyla mengalihkan pembicaraan.

"Kau memancing ikan dengan siapa?" tanya Saeyla.

"Sendirian." Neteyam mengedik pada seperangkat alat panah yang melingkari punggungnya. "Lihat kan? Kita sama-sama bekerja sendirian disaat yang lain bersama seorang teman. Kita kompak bahkan saat kita berpisah," candanya.

Saeyla mencibir dan Neteyam menyengir.

Mereka memutuskan untuk tak langsung pulang. Neteyam mengajak Saeyla ke sebuah sungai kecil yang memiliki air terjun kecil pula. Hanya ada mereka berdua di sana.

Setelah mereka mendapatkan posisi duduk yang nyaman di tepi sungai, Saeyla mengambil buah-buahan dari keranjangnya dan memakannya. Dia menyikut pelan lengan Neteyam.

"Apa?" tanya Neteyam.

Saeyla menganggukan dagunya pada keranjang di pangkuannya. Paham maksud Saeyla, Neteyam mencomot beberapa buah-buahan mungil dan ikut memakannya.

"Ngomong-ngomong, ini tempat yang sangat indah." Saeyla berdecak kagum.

"Di sini lah aku biasanya memancing. Kurasa tidak banyak yang tahu tempat ini." Neteyam tersenyum bangga melihat kekaguman di wajah Saeyla. "Ayahku yang memberitahuku tempat ini."

"Pasti ayahmu juga yang mengajarimu memancing," tebak Saeyla. "Aku sangat ingin belajar memanah. Tapi aku bahkan belum membuat alatnya."

Merasa ini kesempatan untuk menjadi berguna bagi teman barunya, Neteyam tersenyum lebar. "Aku bisa mengajarimu!"

Mata Saeyla mencelang. "Serius?"

Neteyam berdiri. "Kita bisa menggunakan panahku." Anak laki-laki itu menyerahkan seperangkat alat panahnya pada Saeyla.

Namun Saeyla menyuruh Neteyam mencontohkannya terlebih dulu. Jadilah Neteyam menunjukkan pada Saeyla caranya memanah sambil pelan-pelan menjelaskan apa yang sedang dilakukannya.

"Woah, itu cepat!" Saeyla bertepuk tangan saat anak panah Neteyam menembak seekor ikan. "Kau membuatnya kelihatan mudah."

"Ini memang mudah." Neteyam mengulurkan tangannya pada Saeyla, mengajak gadis itu untuk berdiri. "Giliranmu."

Saeyla berdiri dan mulai memegang panahnya dengan cara yang ditunjukkan Neteyam tadi. Dua jari di tengah menarik panah. Lalu arahkan ke sasaran. Telinganya terangkat saat Neteyam mulai memberi aba-aba.

"Postur tegap. Lengan stabil. Tubuhmu rileks saja." Neteyam mengulangi ucapan ayahnya saat mengajarinya kemarin-kemarin.

Setelah mengikuti arahan Neteyam, Saeyla melirik anak-anak laki itu dengan pandangan meminta jawaban, dan Neteyam mengangguk pelan sambil tersenyum.

"1, 2, 3!"

Anak panah Saeyla melesat dari ikan yang dituju. Saeyla sontak meloncat ke sungai dan kejar-kejaran dengan anak panahnya yang hanyut hingga ke air terjun, membuat Neteyam terbahak-bahak.

"Percobaan pertama yang tidak begitu buruk," komentar Neteyam saat Saeyla kembali mengambil posisi setelah mendapatkan anak panahnya. "Ayo kita coba lagi."

Percobaan kedua gagal.

Percobaan ketiga gagal.

Percobaan keempat gagal.

"Ah, sudahlah." Saeyla menyerahkan busur dan anak panah di tangannya pada Neteyam. "Lain kali saja kita lanjutkan."

Saeyla duduk di sebuah gundukan batu. Melihat itu, Neteyam menggelengkan kepala dan dengan sigap mengangkat tubuh gadis itu hingga dia kembali berdiri.

"Tidak ada salahnya gagal, tapi salah kalau kau menyerah." Neteyam mengguncang tubuh gontai Saeyla. "Ayo dong, semangat!"

Melihat usaha Neteyam, Saeyla akhirnya mengiyakan dan langsung mengambil posisi. Neteyam lantas melolong pelan sambil memberikan busur dan anak panahnya pada Saeyla.

"Oke. Sekarang angkat dan tarik busurmu," dikte Neteyam. "Arahkan ke ikan itu. Lalu..."

Saeyla menarik nafas pelan dan membuangnya dengan pelan pula.

"Bidik sasaranmu!"

Saeyla melepaskan anak panahnya.

Mata Saeyla membulat saat ikan yang daritadi diperhatikannya kini tertancap oleh anak panah. Hal pertama yang Saeyla lakukan adalah menoleh pada Neteyam. Dan Neteyam terlihat sama senangnya dengan dirinya.

Mereka berdua berpelukan sambil berputar-putar. Saeyla menarik diri dari pelukan untuk mengambil ikan pertamanya. Ketagihan oleh rasa kemenangan, Saeyla mencoba lagi dan lagi.

Dan dia selalu berhasil di percobaan selanjutnya hingga mendapatkan lima ekor ikan. Mereka berdua kemudian merayakannya dengan bermain di air terjun, sebelum mereka sadar bahwa mereka harus segera pulang.

"Ini untukmu." Saeyla meletakkan tiga ekor ikan di dalam keranjang kecil Neteyam.

"Kenapa?" Dahi Neteyam mengernyit. "Kau tidak suka ikan?"

"Satu ikan sebagai tanda terimakasih, satu ikan sebagai tanda pertemanan kita, dan satu ikan lagi..." Saeyla mengatupkan bibirnya dengan ekspresi ragu.

"Satu ikan lagi untuk?" Neteyam mengulurkan tangannya untuk menggelitiki perut Saeyla. "Ayo katakan."

"Oke-oke." Saeyla menyingkirkan tangan Neteyam dari perutnya. "Satu ikan lagi karena kau teman pertamaku dan aku berharap selalu begitu."

Mendengar itu, Neteyam tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Selama ini dia hanya bermain dengan adik-adiknya, sehingga bisa dikatakan Saeyla juga teman pertamanya dan dia harap akan selalu begitu.

The Last Letter | NeteyamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang