Bab 14

847 142 11
                                    

Awalnya Neteyam meletakkan beberapa perabotan di tenda mereka hanya agar tempat itu tak terlihat kosong dan terasa seperti rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awalnya Neteyam meletakkan beberapa perabotan di tenda mereka hanya agar tempat itu tak terlihat kosong dan terasa seperti rumah. Namun siapa sangka kain di sana ternyata berguna untuk mereka kini?

Setelah tubuhnya kering, Ivory duduk dengan kaki memanjang sambil matanya mengelilingi tenda. "Rasanya sudah lama sekali kita tidak kesini."

Neteyam, yang masih mengeringkan diri, memerhatikan Ivory dengan bimbang. "Dan ini mungkin terakhir kalinya kita ke sini."

Ivory menoleh cepat ke arah Neteyam. Hatinya seakan disengat saat teringat ada kenyataan yang harus dihadapi.

Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka perlu membicarakan tentang kelangsungan hubungan mereka mengingat Neteyam dan keluarganya akan pergi dalam waktu yang tidak diketahui.

"Aku ingin ikut denganmu," kata Ivory pelan.

Neteyam hanya berdiri diam sejenak, memproses ucapan Ivory. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir melengkung ke bawah seolah-olah merespon pada dirinya sendiri.

"Kenapa tidak?" Ivory berdiri dari duduknya, menghampiri Neteyam. "Aku milikmu. Aku harus ikut denganmu."

Neteyam tertawa ironis. "Tidak, kau tidak. Kita belum mating, ingat?"

Ucapan Neteyam yang menyakitkan namun merupakan kenyataan membuat pikiran Ivory berpacu resah. Ivory meraih kedua tangan Neteyam. "Ayo kita mating. Dengan begitu tidak ada yang bisa mencegah kita, mau tak mau aku harus ikut denganmu."

Neteyam menatap Ivory dengan terkejut, merasa rentan mendengar Ivory mengajaknya melakukan hal yang sudah lama ingin ia lakukan. Namun dengan cepat Neteyam kembali ke pemikiran rasionalnya dimana dia menggelengkan kepala dengan tegas.

"Kumohon, biarkan aku ikut." Ivory merasakan air matanya mulai menggenangi kelopaknya. "Aku terlanjur tidak terbiasa dengan ketidakhadiranmu."

"Dengar." Neteyam menangkup wajah Ivory dengan kedua tangannya. "Para iblis itu mengincar keluargaku. Mereka bahkan sudah menangkap Spider. Terlalu bahaya bagimu untuk ikut dengan kami. Pikirkan kedua orang tuamu, Ivy."

Ivory berniat untuk bersikeras hingga Neteyam membiarkannya ikut, namun dari hati terdalamnya dia setuju dengan Neteyam sehingga dia tak bisa berkata-kata. Sebagai gantinya, air mata meluncur membasahi pipinya. "Jadi, kau mengajakku ke sini hanya untuk mengakhiri hubungan kita?"

Neteyam sontak menurunkan tangannya dari wajah Ivory. Dia memalingkan muka dan menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Itu yang terbaik."

"Kau—" Ivory berseru frustasi. Dia menarik lengan Neteyam, memaksa pemuda itu menghadapinya. "Bukankah lucu dan tak adil, kau menyukaiku dalam diam bertahun-tahun, namun menjalin hubungan denganku hanya dalam sekejap mata? Aku sudah memberimu solusi agar aku bisa ikut denganmu!"

Rahang Neteyam mengeras. "Kau tahu apa yang tak adil? Jika aku membiarkanmu bergabung dengan keluargaku walau tahu nyawa kami sedang diincar. Aku melihat sendiri bagaimana keluargaku nyaris dibantai malam tadi, aku tidak ingin mengambil resiko yang akan menempatkanmu di posisi yang sama!"

Ivory berjalan mundur hingga sampai di sudut tenda. Dia duduk memeluk lutut dan menangis di sana. Jika disuruh memilih, Ivory pastinya ingin menjadi kuat dan berbesar hati, namun reaksi emosionalnya sekarang benar-benar di luar kontrol.

Sejak awal Neteyam tahu ini akan jadi percakapan yang sulit. Namun dia tak menyangka akan sesulit ini. Yang ditanggungnya sekarang bukan lukanya saja, tapi juga luka Ivory. Neteyam tak tahu apakah dia mampu menghadapi hari-hari ke depan dengan luka besar menguak di hatinya seperti ini.

Neteyam menghela nafas lelah. Dia duduk di depan Ivory, meletakkan tangannya di bahu gadis itu dan meremasnya. "Kuatlah, Ivory. Yakinlah bahwa yang Ibu Agung tentukan adalah yang terbaik."

Tangisan Ivory perlahan-lahan mereda. Berangsur-angsur pernafasannya menjadi lebih tenang.

"Baiklah, aku akan membiarkanmu pergi. Dengan satu syarat," ujar Ivory dingin. "Berjanjilah untuk tidak pernah menampakkan diri di depanku lagi dan bersikaplah seakan kita tidak pernah tahu satu sama lain. Itu akan memudahkanku untuk melupakan kita."

Neteyam terpejam. "Cukup adil." Suaranya serak seakan tangisannya sudah diujung tenggorokan. Dia kemudian memusatkan matanya pada Ivory. "Tapi aku tahu, aku tidak akan membiarkan diriku melupakanmu."

Ivory tertawa mencemooh sambil menyeka air matanya. "Aku mau pulang." Dia berdiri dari duduknya, melangkah keluar tenda mendahului Neteyam.

"Aku akan mengantarmu," susul Neteyam.

"Tidak perlu. Katamu kita sudah tak ada hubungan lagi kan?" Ivory merasa sama sakitnya dengan Neteyam saat dia mengatakan hal itu.

Neteyam berusaha untuk tidak melakukan  apapun pada Ivory agar memudahkannya untuk melupakan mereka. Namun, dia tak tahan. Neteyam memeluk Ivory dengan erat dan membenamkan wajahnya di lehernya. "Jangan biarkan aku pergi dalam kemarahan seperti ini, kumohon."

Ivory merasakan lehernya basah oleh air mata Neteyam. Sejak kecil mereka berada di lingkungan yang sama, ini benar-benar pertama kalinya Ivory melihat air matanya.

Pelukan dan rintihan Neteyam seketika membuat Ivory merasakan segala sakit yang dirasakannya. Mata hati Ivory seakan terbuka—bahwa pemuda di depannya ini sebenarnya juga ketakutan, dan dia memercayai Ivory sebagai satu-satunya orang yang mengerti dirinya, namun Ivory justru menambah rasa sakitnya dengan menolak untuk mengerti.

Kekecewaan menghantam benak Ivory. Kini dia lebih sakit hati memikirkan perasaan Neteyam dibandingkan fakta bahwa hubungan mereka berakhir.

Ivory membalas pelukan Neteyam yang kemungkinan adalah pelukan terakhir mereka. "Maafkan aku. Baiklah, aku mengerti kalau ini memang perlu dilakukan. I see you."

Ivory menguraikan pelukan mereka. "Kalian akan aman dan bahagia bersama Suku Metkayina. Aku tahu kau bisa. Tak ada yang tak bisa kau lakukan, Mighty Warrior."

Neteyam mau tak mau tertawa pelan. Gagasan bahwa dia dan keluarganya akan bahagia bersama Suku Metkayina kini terasa mungkin.

"Boleh aku menciummu?" tanya Neteyam. Keinginan bersinar di matanya. "Tidak masalah jika kau tidak mau. Aku mengerti. Lagian kita bukan pasangan lagi. Jug—"

Ivory berjinjit dan mencium bibir Neteyam dengan cepat. Wajah Neteyam melembut, namun matanya meredup oleh hasrat. Neteyam memeluk pinggang Ivory dan memangut bibirnya.

Kupu-kupu berkerumun di perut Ivory saat mereka memperdalam ciuman. Bibir mereka bergerak seirama. Rasanya sangat baik, sangat benar, ibarat hati mereka sedang memanjakan rasa cinta satu sama lain.

Neteyam sebelumnya tak tahu bahwa sekedar ciuman bisa menimbulkan sebuah keintiman dahsyat. Mungkin bukan ciuman intinya, tapi Ivory, bibir halus dan aroma manisnya.

Mereka melepas ciuman dengan paksa. Ivory masih terpejam dan Neteyam membelai bibirnya. Kemudian, dahi keduanya menempel dan mereka menatap satu sama lain dalam diam.

Namun pada akhirnya pun mereka harus menarik diri dan pulang. Ini pertama kalinya mereka pulang bersama tanpa bergenggaman tangan.

The Last Letter | NeteyamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang