02. Diusir Sebelum Singgah

144 90 210
                                    

Setalah puas berceramah. Pak Wan keluar kelas dan bergabung bersama guru-guru lainnya di ruang guru. Hari pertama adalah hari spesial, jadi murid-murid diberi kelonggaran untuk menikmati hari ini. Koridor sekolah penuh dengan siswa-siswi yang kembali bertemu setelah sebulan liburan. Mereka bercandagurau dengan banyak topik obrolan. Begitupun dengan kelas 12 MIPA 2. Seperti kelas pada umumnya, mereka tampak bersenang-senang. Apalagi saat menonton anak-anak kelas satu yang sedang mengikuti MPLS.

Rahmi duduk menghadap ke kiri sembari termenung. Di sana, ia melihat Gara yang sedang asik berbicara dengan beberapa teman sekelas, yang tentu saja baru dikenalnya. Gara memang mudah bergaul, Rahmi jelas tahu karena mereka sudah bersama-sama sejak TK dahulu. Namun, tampaknya Gara masih belum sadar bahwa Rahmi berada di sini.

"Mi, ke kantin, yuk!" Mirna berdiri dari duduknya, dan otomatis membuat Gara tertutup dengan badan gadis itu.

Rahmi kemudian menatap jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Nggak dulu. Baru jam sembilan," tolak Rahmi mentah-mentah.

"Tapi aku udah laper."

"Oke, tapi bentaran–"

"Rara!" Panggilan itu mengalihkan atensi Rahmi yang semula menatap Mirna. Kini, anak-anak kelas menatap mereka penuh tanda tanya. "Udah lama nggak ketemu. Gimana kabarnya, sehat?"

Rahmi yang merasa ini terlalu tiba-tiba hanya mengangguk kecil merespon pertanyaan Gara. Tunggu ... sejak kapan Gara menyadari dirinya ada di tempat ini? Bukankah tadi laki-laki itu sedang asik bercengkrama di sebelah sana?

"Kalian saling kenal?" tanya Mirna kemudian. Menatap Rahmi dan Gara secara bergantian.

Gara mengangguk mantap. "Ya, temen masa kecil sekaligus tetangga."

Semuanya yang berada di kelas kini bersorak. "Bjir, kirain apa tadi."

"Eh, kok panggilannya Rara? Agak gimana gitu."

"Iya haha, cocok juga sih."

Rahmi menunduk malu. Ah, sudahlah. Habis sudah citra dingin yang biasanya ia perlihatkan.

"Panggilan sayang ya, Gara?" goda anak-anak kelas dan hanya mendapatkan kekehan kecil dari Gara. "Gue mau ke kantin. Mau ikut nggak?"

Rahmi segera menggeleng. "Nggak dulu, gue mau di kelas aja," jawab gadis itu seadanya. Dia bukannya ingin menolak, jelas sekali ia ingin berlama-lama dengan Gara, tetapi jantungnya tidak bisa diajak kompromi.

Seusai Gara dan yang lain ke kantin, Rahmi menetralkan napasnya perlahan. Sial, ini terlalu tiba-tiba.

"Mi ke kantin, yuk!" ajak Mirna lagi. Ia memang penasaran apa yang terjadi, tetapi perutnya sangat kosong sampai-sampai rasa keponya menjadi berkurang.

"Nggak dulu, Mir. Gue pusing. Sama Zilla aja sana!"

Mirna menghela napas sembari menghentakkan kakinya ke lantai. Wajahnya jelas-jelas kesal, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan memilih mendekati Zilla di bangku depan. "Zilla, ke kantin yuk!"

"Kuy lah, sapa tau ketemu cogan."

Puja menatap Zilla dengan tatapan heran. "Yakali cogan di kantin. Lagian di angkatan kita sama angkatan bawah kita nggak ada yang ganteng. Coba kalau angkatan Reza dulu, pasti banyak cogannya."

Sekedar info, Reza itu adalah kakak kelas yang dua tahun lebih tua dari mereka, dan juga, Reza adalah mantan pacarnya Puja.

"Di mata gue semuanya ganteng," ujar Zilla semangat.

"Woi, nggak ada waktunya buat debat masalah cogan. Gue lagi laper nih," sela Mirna dihiasi dengan wajah tertekuk khasnya.

Zilla mengangguk pelan dan kemudian mereka pergi ke kantin, meninggalkan Puja yang sedang asik nimbrung di grup 'Teater Nusantara'. Sementara Rahmi, dia hanya termenung seperti biasa. Jantungnya terlalu baperan, sih. Diajak bicara sama Gara saja sudah selebay ini.

"Mi," panggil Puja pelan. Gadis itu tampak sumringah saat mendekati Rahmi dan duduk di bangku milik Mirna. "Ada yang nanyain lo."

"Siapa?"

"Anak teater. Si Syawal, kenal kan?" tanya Puja sembari menunjukkan chatnya dengan laki-laki bernama Syawal itu.

"Nggak tuh. Emangnya dia kelas berapa?" tanya Rahmi kebingungan.

"Angkatan kita, IPS 4."

Rahmi tampak mengingat-ingat wajah itu. Seperti tidak asing. "Oh, kayaknya dia teman sebangku gue pas ujian deh. Waktu kelas sepuluh dulu, kan kita dibuat satu kelas sama anak IPS."

"Katanya dia suka sama lo," ujar Puja langsung pada intinya.

"Oke, bilang aja ke dia kalau gue nggak suka," jawab Rahmi santai. Tidak ada ekspresi 'tidak enakan' di wajahnya. Ya, seperti itu. Hanya seperti itu. Datar.

"Kebiasaan deh. Padahal kan bisa PDKTan dulu," bujuk Puja halus.

"Nggak."

"Yakin?"

"Iya," jawab Rahmi masih teguh pada pendiriannya.

"Padahal dia lumayan. Walaupun gak ganteng tapi dia manis, pinter akting, nilainya juga nggak buruk-buruk amat, dan yang paling penting. Dia suka sama lo, Mi." Puja masih belum menyerah. Entahlah, mungkin memang mustahil membujuk Rahmi jika soal berpacaran. Namun, dia akan tetap berusaha sampai Rahmi mengatakan, 'Iya, mau'.

"Nggak!" Dan ya, jawabannya masih sama.

"Kenapa sih, Mi?" Baiklah, Puja memang tidak akan pernah menyerah, tetapi hati Rahmi memang sudah kelewatan keras.

"Ya, gapapa. Gue nggak suka aja sama dia. Mau ganteng kek, manis kek, pinter kek, kalau gue nggak suka, ya nggak suka."

Puja menatap pupil Rahmi, berusaha mencari kebohongan. Namun yang ia temukan malah keseriusan. Rahmi itu, menang sesuatu ya. Terkadang Puja penasaran, siapa lelaki yang bisa meluluhkan hati Rahmi? Akankah lelaki seperti itu ada? Atau mungkin, lelaki itu sudah ada, tetapi Rahmi menyembunyikannya agar tidak ada yang tahu? Hmm, apapun itu, Puja hanya berharap yang terbaik untuk sahabatnya.

Sementara Rahmi masih terdiam. Bukannya dia ingin menutup hati atau bagaimana, tetapi sepenuh hatinya sudah diwarnai dengan warna Gara! Ya, hanya Gara. Jika laki-laki lain ingin masuk dan menetap, tidak lagi ada ruang kosong. Mereka diusir sebelum singgah.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Rahmi meraih tasnya dan segera keluar kelas. Zilla dan Puja sudah memasuki mobil jemputan masing-masing. Sedangkan Mirna sedang mengambil motor matic-nya di parkiran, dan Rahmi, ia akan menunggu Surya, abang laknatnya untuk menjemput.

Tin ... tin ... tin ....

"RAHMI, BANG SURYA BARU AJA CHAT GUE. KATANYA DIA NGGAK BISA JEMPUT, LO!!!" teriak Mirna dari arah belakang.

Mirna sialan! Bikin malu aja.

Wajah Rahmi memerah antara marah dan malu. Ayolah, bagaimana tidak? Mirna berteriak dengan jarak yang cukup jauh darinya. Tentu saja hal itu membuat banyak orang menatap mereka.

Setelah mengikis jarak diantara keduanya. Mirna memberi kode kepada Rahmi agar naik motor bersama, dan Rahmi hanya bisa menghela napas pasrah. "Besok-besok usahain jangan teriak, Mir! Malu dilihat banyak orang."

"Ih, cuma teman seangkatan sama adek kelas, kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Serah deh serah."

***

"RAHMI, BANG SURYA BARU AJA CHAT GUE. KATANYA DIA NGGAK BISA JEMPUT, LO!!!"

Teriakan luar biasa itu mengejutkan Gara. Lelaki itu menatap ke belakang, melihat sumber suara yang berhasil membuat kupingnya berdengung. Di sana, terlihat seorang gadis yang sedang membawa motor menuju kearah temannya yang hanya nampak punggungnya saja. Ya, Gara tahu itu Rahmi. Bisa ditebak, gadis itu sedang menahan malu habis-habisan dan Gara hanya bisa menertawakan sembari menontonnya.

"Gara, cepetan naik!" titah itu membuat Gara tertegun dan mengangguk pelan. Ia kemudian memasuki mobil dan duduk di samping jok pengemudi.

Sudah lama tidak bertemu dengan bang Surya dan keluarga Rahmi, dia jadi rindu.

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang