13. Peran Seorang Dirga

90 59 143
                                    

Langkah kaki terdengar mulai mendekat, suara handle pintu yang terbuka membuat atensi dia teralih. Sosok tampan dengan tali tas yang bertengger di kedua bahunya itu menoleh terkejut mendapati keberadaan seseorang di dalam kelas. Pagi-pagi begini?

"Lo nggak pulang kemarin?" Dia tahu, gadis dengan potongan rambut sebahu itu bukannya tidak pulang dari kemarin, tetapi jelas, Rahmi hadir pagi-pagi buta ke sekolah. Padahal biasanya anak itu selalu datang terlambat.

"Menurut Lo aja sih, Dir," jawab Rahmi acuh tak acuh. Dia mengabaikan Dirga yang kini mulai duduk di kursinya sendiri.

"Hubungan Lo lancar sama Gara?"

Rahmi yang semula asik dengan ponsel kini mengangkat kepala. Badannya menghadap Dirga yang berada di pojok kiri kelas, sementara dirinya sendiri di dinding sisi kanan kelas pada bangku barisan kedua. "Seharusnya kita nggak bahas ini nggak sih, Dir?" Rahmi tidak menjawab. Dia lebih memilih bertanya balik kepada sosok yang kini membuka tas, dan mengambil buku gambar serta pensil untuk menggambar kaligrafi.

"Gue nanya doang. Lo selalu curhat tentang Gara dari dulu ke gue. Kalau Lo lupa itu." Dia tidak menatap mata Rahmi yang kini terlihat sendu. Mereka sama-sama tidak lagi saling bicara, dan memilih melakukan aktifitas masing-masing.

Sampai, suara teriakan Mirna yang memanggil nama Azilla terdengar dari luar kelas.

"Tungguin, anjay!"

Sementara itu Azilla terkekeh geli melihat tingkah Mirna yang seperti anak kecil ketika mengejar dirinya.

"Rahmi! Beneran tebakan gue, Lo datang pagi-pagi banget!"

"Kalau lagi sakit hati dia mah selalu gitu," timpal Mirna yang berdiri di belakang Azilla. Mata gadis itu kemudian menatap Dirga di pojok kiri yang sedang asik menggambar kaligrafi. "Dirga selalu datang pagi-pagi ye, salut, bro."

***

"Oke."

"Tunggu, kok lo mau?" tanya Raju masih belum bisa mencerna jawaban Rahmi dengan benar.

"Ya kan lo nawarin pulang bareng. Kebetulan gue gak bawa motor dan gak dijemput juga. Apa salahnya gue manfaatin lo, 'kan?" jawab Rahmi, yang membuat satu kelas kebingungan, termasuk Gara.

Raju membelalakkan matanya, antara percaya dan tidak dengan jawaban Rahmi barusan. Lalu, dengan cepat, laki-laki itu menjawab. "Oke! Nanti tungguin gue di parkiran," ucap Raju sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas Rahmi.

Jam istirahat hampir berakhir. Teman-teman sekelas tentu saja sudah masuk dan menunggu guru yang akan mengajar jam berikutnya. Karena semuanya berkumpul, tentu saja mereka menyaksikan kejadian barusan. Hal aneh dari Rahmi yang belum pernah mereka saksikan dari kelas sepuluh dahulu.

"Lo rasa ada yang aneh gak sih?" bisik Rawi kepada Yuda yang kini sedang memakan sisa keripik yang ia beli di kantin tadi.

"Mana tau gue. Tapi kayaknya sih iya. Jarang-jarang gue lihat Rahmi welcome gitu ke cowok-cowok, apalagi si Raju yang waktu itu sempet ia tolak buat pulang bareng," jawab Yuda panjang. Sebenarnya dia bodoamat sih, tapi karena Rawi bertanya, ya dia menjawabnya. Walau sedikit panjang.

"Gar, lo gak tau? Lo kan sahabatnya tuh. Sekaligus tetangganya," tanya Rawi kepada Gara yang berada di belakangnya.

Gara menggeleng kecil, tak tahu-menahu tentang tingkah Rahmi hari ini. Aneh memang. Mungkin, nanti Gara akan bertanya.

***

Rahmi sebenarnya tidak lupa bagaimana dia dan Dirga begitu saling mengenal satu sama lain. Selalu bersekolah di tempat yang sama dan dengan kebetulan juga selalu di kelas yang sama, dari SD bahkan sampai SMA.

Dirga tentu tahu fakta dirinya yang menyukai Gara. Mereka berdua dahulunya juga teman satu kelas dan lumayan dekat juga.

Malu sebenarnya. Mengingat sekarang Gara kembali pulang, dan bahkan bisa dibilang lumayan dekat dengan Dirga. Apa jangan-jangan Dirga mengatakan tentang perasannya kepada Gara? Sialan! Tidak boleh!

Rahmi akan mengatakan sendiri. Setidaknya, dia punya cara yang ampuh agar tidak terlalu malu nantinya.

"Si Dirga nggak mungkin cepu kan, ya?"

Beberapa anak dengan seragam putih biru terlihat berlarian sembari terus tertawa di sekitar lapangan.

Sementara Rahmi malah asik duduk sendiri. Sampai akhir kedatangan Dirga mengalihkan atensi gadis kecil itu. "Jadi, kapan Lo bakal ngungkapin perasaan itu ke Gara?"

Teman curhat yang sudah dari SD bersama-sama. Dirga Abimanyu memang sangat dekat dengan Rahmi, seperti tahu luar dan dalam gadis itu. Eittts, dalam hal yang positif.

"Yakali, Dir. Gue masih SMP."

"Jadi, pas SMA Lo bakal bilang ke dia yang sebenarnya?"

Rahmi lagi-lagi terdiam. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan nanti. Akankah dia dan Gara bersatu dalam ikatan yang sama, atau malah sebaliknya?

"Menurut Lo, gue harus gimana sih?"

Laki-laki itu tidak langsung menjawab, memilih menghabiskan air mineral yang tersisa setengah botol lagi. "Kalau suka jujur aja ke dia. Daripada mendem lama kayak gitu."

"Kalau Lo?" Pertanyaan Rahmi jelas membuat Dirga keheranan.

"Kenapa gue?"

Rahmi menghela napas. "Kalau Lo suka sama seseorang bakal langsung ngungkapin nggak?"

Dirga terbatuk-batuk di tempat. "Gue belum suka sama siapapun sih," jawab laki-laki itu gelagapan.

"Ngapain Lo berdua di siang bolong begini?" tanya seseorang mengalihkan perhatian mereka. Raju berdiri di belakang mereka, membawa dua botol air minum rasa coklat, dan salah satunya ia lemparkan kepada Rahmi.

"Ju, Lo suka sama seseorang?" Dirga bertanya walaupun sudah tahu jawabannya. Membuat Raju yang kini duduk di sisi kiri Rahmi tampak gelagapan.

"Ngapain dah? Masih kelas satu SMP juga, bukannya belajar Lo Lo pada, malah mikir cinta-cintaan." Dia jelas terlihat mengalihkan pembicaraan. Rahmi tertawa, benar juga sih ucapan Raju.

Sementara itu Dirga hanya tersenyum kecil, menatap Raju yang kini juga menatapnya. Seolah-olah berkata, 'diam anjir!' sebelum akhirnya senyum Dirga berubah menjadi gelak tawa.

Ketika fokus Rahmi masih terhadap Gara, gadis itu lupa bahwa fokus beberapa laki-laki lain malah mengarah ke arahnya. Cinta yang tidak tahu lagi berapa seginya.

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang