22. Ini Bukanlah Akhir Dunia

74 43 115
                                    

Malam itu, suasana di rumah sederhana milik Martunis tampak senyap. Mereka berempat memang sedang makan malam. Namun, tidak ada suara lain selain dentingan sendok dan piring di meja makan tersebut.

Biasanya, mereka akan sekedar bercanda gurau di meja makan sebelum bahkan seusai makan. Mita dan Ratu juga pasti akan memulai pembicaraan dan membuat suasana menjadi ceria. Akan tetapi, malam ini, mereka tidak berani memulai percakapan. Ayah dan Anak lelaki itu tampak serius dengan makanan dan pemikirannya masing-masing. Membuat Ratu menghela napas panjang. Ia memang tidak menyukai Abang tirinya itu, tetapi, untuk sekarang ia jadi merasa kasihan juga kepada Raju.

"Raju ke kamar dulu," pamit Raju yang sudah selesai dengan makanannya. Laki-laki itu kemudian membawa piring, gelas dan sendok miliknya ke wastafel, dan tak lama setelah itu, ia segera menuju kamarnya yang hanya berjarak sepuluh langkah dari dapur.

Sesampainya di dalam kamar. Ia segera duduk di kursi meja belajarnya. Meja yang tidak pantas disebutkan sebagai meja belajar, karena Raju menggunakan meja itu untuk bermain game.

"Bahkan Arman nyalahin gue juga sekarang," keluhnya pelan.

Laki-laki berusia 17 tahun itu kemudian membungkuk, membuka laci yang berada di bawah mejanya. Laci tersembunyi yang hanya dia yang tahu apa isinya. Dengan hati-hati, Raju mengambil beberapa lembar foto tanpa bingkai. Foto yang menampilkan empat anak kecil sembari bergaya lucu. Siapa lagi kalau bukan ia, Arman, Rahmi dan juga Gara. Sedikit senyuman terlihat pada bibir laki-laki itu. Jujur, ia memang merindukan masa-masa itu, masa-masa di mana mereka begitu dekat. Masa-masa sebelum mereka harus menerima kenyataan yang pahit.

Namun, bukankah semuanya sudah berantakan? Ia selama ini benar-benar tak bisa menerima permintaan maaf keluarga Gara atas apa yang telah mereka lakukan kepada Mamanya. Walau memang, itu bukanlah hal yang disengaja. Akan tetapi tetap saja tidak semudah itu.

"Lo mau gak maafin dia, Lo mau balas dendam ke dia, lo mau ngapain aja gue gak komen. Tapi kalau lo ngomong kayak gitu, gue gak bisa respect, Ju!"

"Semua keputusan emang ada di tangan Lo! Tapi jangan sampe lo nyesel nantinya."

Kata-kata Arman kemarin malam masih terekam jelas diingatan Raju. Arman belum pernah semarah itu kepadanya. Dan, itu sungguh tak disangka-sangka.

Tok.. tok....

"Masuk!" seru Raju membuat orang yang barusan mengetuk pintu memasuki kamar bernuansa biru tua tersebut. "Ada apa?" tanya Raju to the point, tanpa menatap sang lawan bicara.

"Boleh nggak gue peluk lo?" tanya Ratu ragu-ragu. Sementara yang ditanya malah menampilkan wajah keheranannya itu.

"Maksud?"

Tanpa menjawab pertanyaan abangnya. Ratu segera memeluk Raju. Membuat laki-laki itu sempat hendak menghindar. Namun, perkataan Ratu membuatnya terdiam seketika.

"Gue tau lo lagi pengen nangis."

Senyap. Tak ada yang bersuara. Hanya suara gerimis yang terdengar indah di luar sana. Sebelum akhirnya gerimis kecil itu perlahan berubah menjadi hujan deras dengan suara bertalu-talu. Mengingatkan Raju saat hari kepergian Mamanya dahulu.

Laki-laki itu menangis tanpa suara. Menumpahkan air matanya di atas bahu sang adik yang tampaknya juga menangis.

Ratu memang membenci Raju. Namun, ia tak mau melihat Abangnya itu dalam keadaan seperti ini. Mereka memang tidak terlahir dari rahim yang sama. Namun, mereka berdua berasal dari benih yang sama. Jadi, ikatan batin mereka bisa dibilang cukup kuat juga.

"Gue gak tau harus gimana," pasrah Raju yang semakin terisak di pelukan adiknya. "Gue gak bisa apa-apa sekarang. Semuanya memuakkan," rintih laki-laki itu tanpa peduli lagi siapa yang sekarang ia ajak curhat. Karena pada dasarnya, ia dan Ratu tak sedekat itu untuk saling berbagi rasa.

Ratu tak menjawab apapun. Tidak tahu cara menghibur dengan benar. Namun, apapun itu, ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Abangnya. Semoga tidak ada lagi masalah seperti ini terjadi nanti. Sudah cukup sekali! Cukup sekali saja.

Tapi, masalah akan selalu datang. Percuma saja menghindari masalah. Karena semakin kita berlari, masalah itu malah semakin mengejar kita. Lagian, berlari juga tidak ada artinya. Ini kan belum akhir dunia. Bumi masih berputar seperti biasanya, hari terus berganti malam, dan hidup terus berjalan. Jadi, menangis lah jika memang ingin menangis. Tapi jangan pergi! Jangan mencoba untuk menghentikan dunia mu sebelum dunia itu berhenti sendiri.

Apapun masalahnya. Hadapilah! Lagian ini bukanlah akhir dunia. Jadi, tidak akan ada yang berakhir.

***

Klink!

Gara(◕ᴗ◕✿)

Mi, gue minta maaf |

Gue udah anggap lo temen dari dulu. Gue gak bisa balas perasaan lo:) |

Maaf, dan terimakasih. Semoga kedepannya lo jatuh cinta sama orang yang lebih pantas, Mi. |

Kita sahabatan aja. Kayak dulu lagi. Sama mereka juga:) |

We are best friends, and nothing more. |

Gadis itu tersenyum hambar menatap pesan yang baru saja terkirim untuknya. Lidahnya kaku untuk sekedar mengumpat dan memaki nama lelaki itu. Air matanya masih tergenang tanpa niat untuk lepas dari cengkraman. Gadis itu berusaha menepis pemikiran bodohnya untuk memaksa Gara berpikir kembali. Ia tidak mau jadi manusia bodoh karena cinta. Walau hatinya kini sungguh sakit seperti ditusuk ribuan jarum dalam waktu bersamaan.

Jatuh cinta itu benar-benar melelahkan.

Jatuh cinta itu benar-benar memabukkan.

Jatuh cinta itu benar-benar memuakkan.

Namun, itulah cinta. Yang berhasil membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.

Tak ada yang salah dengan dirinya. Tak ada yang salah dengan Gara. Yang salah adalah cinta yang datang tiba-tiba. Singgah di hati yang tak tahu apa-apa. Cinta itu benar-benar sulit di definisikan. Rahmi rasa, baru kali ini ia membenci kata-kata itu. CINTA.

Gadis itu mematikan ponselnya. Ia kemudian menuju meja belajar dan mengambil sebuah buku tebal berwarna merah muda miliknya. Buku yang sering ia tuangkan segala keluh kesah tentang dunia dan hidupnya itu. Buku yang tahu segala rahasia nya.

Dengan tangan lihai dan air mata yang perlahan mulai turun membasahi pipi. Rahmi menuliskan kata demi kata yang mewakili perasaannya hari ini. Marah, benci, kecewa bercampur membentuk beberapa kalimat di dalam buku kesayangannya itu.

Biarkan malam ini ia menangisi dan menertawakan dirinya sendiri. Biarkan ia berlarut dalam kesedihannya malam ini. Karena saat matahari sudah terbit esok pagi, ia harus tampil sebagaimana mestinya. Berlagak baik-baik saja agar tidak membuat orang lain khawatir tentangnya.

"Dicintai dan mencintai? Kedepannya, gue bakal milih dicintai."

About Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang